Sirah Nabawiyah

Peristiwa Tragis Khalifah Abbasiyah Al-Mutawakkil Alallah di Bulan Syawal

Rab, 25 Mei 2022 | 12:30 WIB

Peristiwa Tragis Khalifah Abbasiyah Al-Mutawakkil Alallah di Bulan Syawal

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Kecurangan dalam berpolitik seringkali menjadi bumerang bagi pelakunya sendiri. Hal ini sudah dibuktikan sejak era pemerintahan Islam klasik, dan tentu tidak menuntut kemungkinan terjadi di setiap zaman. Seperti yang dialami Al-Mutawakkil Alallah. Akibat perbuatan curang pada putranya sendiri, Al-Muntashir Billah, khalifah kesepuluh dari Dinasti Abbasiyyah ini harus meregang nyawa di tangan anaknya sendiri. 


Memiliki nama lengkap Ja’far bin Al-Mus’tahsim bin Ar-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi bin A-Manshur al-‘Abbasi dan dijuluki Al-Mutawakkil Alallah, khalifah kelahiran 205 H ini (ada pula yang mengatakan 207 H) resmi dilantik sebagai khalifah kesepuluh di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada Dzulhijjah tahun 232 H. 


Ia dikenal sebagai sosok khalifah yang sangat dermawan, terutama terhadap para penyair. Tak segan-segan ia menghadiahkan sejumlah harta kepada penyair setelah mereka melantunkan untaian bait-bait puisi indah di hadapannya. Pernah sekali waktu Ali bin Jahm membacakan syair gubahannya di hadapan sang khalifah, lalu ia diberi hadiah berupa dua butir mutiara. (Jalauddin as-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, 2017: 225)


Beberapa bencana

Imam As-Suyuthi melaporkan bahwa pada masa kekhalifahan Al-Mutawakkil sempat terjadi beberapa bencana dan peristiwa ganjil. Pada tahun 240 H terdengar suara menggelegar di Kota Khalath yang menyebabkan banyak penduduknya meninggal. Tahun 142 terjadi gempa besar wilayah Tunis dan beberapa daerah sekitarnya. Gempa serupa juga pernah terjadi di Khurasan, Ray, Naisabur, Thubristan, dan Ashfahan.


Hal yang tidak kalah aneh juga terjadi di wilayah Halb dengan munculnya seekor burung besar berwarna putih yang tidak diketahui dari mana berasal. Herannya lagi, burung itu menyerukan takwa kepada Allah, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah, Allah! Allah! Allah!”


Pada masa kekuasaan Al-Mutawakkil juga sempat terjadi goncangan besar yang dirasakan di seluruh belahan bumi yang meruntuhkan kota-kota, benteng-benteng, dan jembatan-jembatan. Bancana ini terjadi pada tahun 245 H. (Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, 2016: 270-280)


Fanatisme sang khalifah

Al-Mutawakkil merupakan khalifah berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan akidahnya ini, pada 234 H ia kemudian menghapus peraturan yang sudah ditegakkan Khalifah Al-Makmun (khalifah ketujuh Dinasti Abbasiyah) yang mengharuskan setiap orang untuk meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Sebagaimana diketahui, akibat pengaruh filsafat Yunani yang dipelajarinya, Al-Makmun terseret pada paham rasionalis ini.


Dikisahkan, pada masa Al-Makmun inilah terjadi yang namanya peristiwa Al-Miḫnah pada tahun 218 H, yaitu semacam ujian untuk menyeleksi orang-orang tidak mau mengatakan Al-Qur’an sebagai makhluk. Akibat pandangannya ini kemudian terjadi insiden-insiden kekerasan bahkan sampai merenggut nyawa para ulama yang bersikukuh berpendapat bahwa Al-Qur'an bukan makhluk, melainkan kalâmullâh. 


Salah satu ulama besar yang menjadi korban dalam insiden ini adalah Imam Ahmad bin Hambal yang harus mendekam dipenjara dan dicambuki hanya karena mempertahankan pendapatnya. (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Niahâyah, 2018: juz V, h. 289-290)


Namun sayang, Al-Mutawakkil adalah khalifah yang fanatik terhadap keyakinannya. Akibatnya, banyak rakyat yang merasa tertekan dengan sikapnya ini. Salah satu kefanatikannya ini dibuktikan dengan melarang orang-orang untuk berziarah ke makan Sayyidina Husein. Tidak cukup sampai di situ, ia juga memerintahkan untuk menghancurkan makam putra Sayyidina Ali itu beserta bangunan-bangunan yang berada di sekitarnya hingga rata dengan tanah pada tahun 236 H.


Kelakuan sang khalifah ini mendapat protes dari berbagai pihak, salah satunya oleh beberapa penyair yang diekspresikan melalui bait-bait syair mereka berikut,


            
*  قَتْلَ ابنِ بِنْتِ نبيِّها مظلوما تَاللهِ إنْ كانت أُميَّةُ قَدْ أَتَتْ


        هذا لَعَمْرُكَ قَبْرُهُ مهدوما   *   فَلَقَدْ أَتَاهُ بنو أبيه بمِثْلِهِ


أسفوا على ألا يكونوا شاركوا * في قتله فتتبعوه رميمًا


Artinya, “Demi Allah, andai Bani Umayyah telah datang dengan membunuh anak dari putri nabinya dengan cara yang zalim, maka anak-anak dari kerabat ayahnya telah melakukan hal yang sama dengan menghancurkan kuburnya. Mereka merasa menyesal kerana tidak ikut langsung membunuh pada masa hidupnya. Hingga harus membongkar tulang-tulangnya.”


Hal serupa pernah dilakukan Al-Mutawakkil yang berakhir dengan dibunuhnya Ya’qub bin as-Sikkit, pakar bahasa Arab yang juga pengajar privat kedua putra Khalifah, Al-Mu’tazz dan Al-Mu’ayyad. Sekali waktu saat mengajar kedua putranya, Al-Mutawakkil bertanya kepada Ya’qub, “Siapa yang lebih kau senangi, kedua puteraku atau kedua putra Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein?” Ya’qub menjawab, “Qanbar (mantan budak Ali) lebih aku sukai dari keduanya.”


Mendengar jawaban mengecewakan ini, sang khalifah murka dan menyuruh orang-orang Turki untuk menginjak-injak perut Ya’qub sampai mati. Versi lain mengatakan lidah Ya’qub dicabut hingga akhirnya meninggal. Ya’qub sendiri merupakan penganut Syi’ah Rafidhah. Peristiwa keji ini terjadi pada tahun 244 H.


Kecurangan politik

Sekali waktu Al-Mutawakkil melantik putranya, Al-Muntashir, kemudian Al-Mu’tazz, lalu Al-Muayyad. Hanya saja, karena kecintaannya kepada Qabihah, sang istri yang juga ibu dari Al-Mu’taz, ia menyuruh Al-Muntashir untuk mundur dan menunggu giliran setelah Al-Muntashir. Keputusan subjektif ini tidak diterima oleh Al-Muntashir dan mendapat tentangan dari mejelis yang dibentuk oleh Al-Mutawakkil sendiri.


Akibat protes dengan keputusan sang ayah, Al-Mutawakkil berencana untuk menurunkan posisi Al-Muntashir, mengancam, serta mencemoohnya. Secara kebetulan, peristiwa ini bersamaan dengan ketidaksenangan orang-orang Turki terhadap Khalifah. Mereka pun menemukan momennya untuk menghabisi Khalifah dan menyepakati agar Al-Muntashir membunuhnya.


Setelah melakukan perencanaan matang, bersama lima orang Turki, Al-Muntashir masuk ke tempat Al-Mukawakkil saat ia sedang bersenang-senang. Mereka pun membunuhnya dan dibunuh juga seorang menteri bernama Al-Fath bin Khaqan. Peristiwa tragis ini terjadi pada bulan Syawal tahun 247 H. Sang khalifah wafat di usianya yang ke-40 tahun, dan berkuasa selama 4 tahun 10 bulan 3 hari. (Jalauddin as-Suyuthi, Tarîkhul Khulafâ, 2017: 223-225)


Satu bulan setelah kewafatannya, seseorang bermimpi bertemu dengan Al-Mutawakkil. Dalam mimpi tersebut ia mengaku telah mendapat ampunan dari Allah swt karena telah menghidupkan sunnah. “Allah telah mengampuniku berkat sedikit sunnah yang aku hidupkan,” katanya. “Saya menunggu anakku, Muhammad (Al-Manshur), anak saya, akan kuadukan dia di hadapan Allah,” imbuhnya. (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Niahâyah, 2015: juz IX, h. 374)


Dari peristiwa ini kita mengambil hikmah bahwa dalam berpolitik, seorang pemimpin seharusnya bersikap adil kepada siapapun. Keluarga, dalam hal ini, tidak jarang menyebabkan seseorang pemimpin kurang objektif dalam mengambil keputusan. Mencintai keluarga sudah kewajiban setiap orang, tapi jangan sampai kecintaannya membuat abai terhadap kemaslahatan umat. (Muhamad Abror)