Sirah Nabawiyah

Syekh Ramadhan Al-Buthi: Wahyu Bukan Hasil Perenungan Nabi

Sel, 13 Juli 2021 | 21:00 WIB

Syekh Ramadhan Al-Buthi: Wahyu Bukan Hasil Perenungan Nabi

Wahyu bukan hasil perenungan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam

Berbicara wahyu, maka harus mengetahui sejarah awal Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam menerimanya. Wahyu yang diterima Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam merupakan fondasi dari seluruh fakta agama, keyakinan dan dan berbagai hukumnya. Memahami dan meyakini wahyu wajib bagi siapa pun sebelum meyakini semua berita gaib dan perintah hukum yang dibawa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam. Sebab, wahyu merupakan satu-satunya hal yang membedakan antara manusia yang berpikir rasional mengandalkan akalnya dan manusia yang menyampaikan pesan dari Tuhan tanpa mengubah, mengurangi, ataupun menambahnya sedikit pun. 

 

Khalwat di Gua Hira
Imam Al-Bukhari merilis riwayat Sayyidah Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ:

 

أَوَّلُ مَا بَدَئَ بِهِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِيْ النَّوْمِ، فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيًا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلْقِ الصُّبْحِ. ثُمَّ حَبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلاَءُ وَكَانَ يَخْلُوْ بِغَارِ حَرَاءَ فَيَتَحَنَّثُ فِيْهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِي ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ. ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيْجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حَرَّاءَ. فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ: اِقْرَأْ. قُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ

 

Artinya, “Permulaan yang menjadi awal Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menerima wahyu adalah mimpi yang baik. Setiap kali memimpikan sesuatu, maka mimpi itu tidak datang kecuali sangat jelas bagaikan sinar fajar. Kemudian, beliau senang menyendiri dan khalwat di Gua Hira. Di sana Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam beribadah dalam beberapa malam sebelum setelahnya kemudian pulang kepada keluarganya dan menyiapkan bekal lagi untuk khalwat. Kemudian pulang lagi kepada Khadijah, lalu kembali mempersiapkan bekal lagi sehingga kebenaran mendatanginya di Gua Hira. Beliau didatangi malaikat yang kemudian berkata, “Bacalah!” Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

 

Setelah itu, Malaikat Jibril mendekap dan memeluk Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam hingga ia merasa payah, lalu melepaskannya dan berkata:

 

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْأِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْأِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

 

Artinya, “1. Bacalah dengan (menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, 4. Yang mengajar (manusia) dengan pena. 5. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq: 1-5). (Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Fiqh Sîrah Nabawiyah, [Bairut, Dârul Fikr: 2013), halaman  77).

 

Demikianlah kejadian yang Allah subhânahu wata’âlâ kehendaki kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagai awal dan persiapan menerima misi besar yang akan mengubah sejarah manusia. Karena itu, sebelum misi mulia dimulai, Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam membersihkan dirinya dari hiruk pikuk duniawi dengan segala kotorannya.

 

Setelah sekian lama Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam menyendiri di Gua Hira untuk membersihkan jiwa dan memperhatikan kekuasaan Alllah, maka Allah subhânahu wata’âlâ memuliakannya dengan mengangkatnya sebagai rasul penutup dari para nabi dan rasul sebelumnya. Kejadian itu ditandai dengan hadirnya Malaikat Jibril ‘alaihissâlam atas perintah dari Allah subhânahu wata’âlâ untuk menyampaikan wahyu kepadanya.

 

Kemudian Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam pulang membawa wahyu itu dengan hati yang gemetar, gelisah dan dipenuhi rasa takut. Ia pulang menemui Sayyidah Khadijah binti Khuwailid radhiyallâhu ‘anhâ dan berkata, “Selimuti aku. Selimuti aku.” Lalu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam diselimuti olehnya hingga kegelisahannya mereda.

 

Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitab Ar-Rahîqul Makhtûm menceritakan kejadian setelahnya. shallallâhu ‘alaihi wasallam memberi tahu Khadijah tentang kejadian itu dan berkata, “Aku sungguh mengkhawatirkan diriku.” Khadijah menukas, “Sama sekali tidak. Demi Allah, selamanya Allah tidak akan menghinakanmu. Engkau selalu menjalin kekerabatan, memikul beban, menolong orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan membantu pihak yang benar”, tegas Khadijah.


Setelah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam tenang, Khadijah mengantarkannya kepada sepupunya, yaitu Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza. Ia penganut Nasrani di zaman Jahiliyah. Dia telah mencatat Injil dalam bahasa Ibrani. Usianya sudah lanjut dan matanya buta.

Khadijah radhiyallâhu ‘anhâ berkata kepada Waraqah, “Wahai sepupuku, dengarlah cerita anak saudaramu ini.”

Waraqah pun bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, “Wahai anak saudaraku, apa yang kau lihat?”  

 

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam lalu menceritakan apa yang dialami dan dilihatnya penuh kejujuran tanpa mengurangi maupun menambahinya. Waraqah lantas berkata, “Itu adalah An-Namus (Jibril atau wahyu) yang turun kepada Nabi Musa 'alaihissalâm . Seandainya, aku masih muda dan kuat, dan andai saja aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu.”

 

Rasulullah bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?”

 

Dia menjawab, “Ya. Setiap kali seseorang membawa apa yang kau bawa, pastilah ia dimusuhi. Apabila masamu itu ku alami, niscaya aku akan menolongmu sekuat tenaga.” Namun, tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dunia. Ia pergi untuk selamanya meninggalkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahîqul Makhtûm, [Bairut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2018], halaman 67).

 

Wahyu Bukan Hasil Perenungan Nabi
Menurut Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, turunnya Malaikat Jibril ‘alaihissalâm langsung kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam menunjukkan hikmah yang sangat luar biasa, yaitu menunjukkan wahyu itu benar-benar dari Allah, bukan hasil perenungan darinya. Al-Buthi berkata:

 

أَنَّ ظَاهِرَةَ الْوَحْيِ لَيْسَتْ أَمْرًا ذَاتِيًا دَاخِلِيًا مُرَدُّهُ إِلَى حَدِيْثِ النَّفْسِ الْمُجَرَّدِ بَلْ هِيَ اِسْتِقْبَالٌ وَتَلَقٍّ لِحَقِيْقَةٍ خَارِجِيَّةٍ لَا عَلاَقَةَ لَهَا بِالنَّفْسِ وَدَاخِلِ الذَّاتِ

 

Artinya, “Sungguh munculnya wahyu itu bukan urusan diri Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam yang bersumber dari bisikan hati, akan tetapi merupakan penerimaan dari luar dirinya yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan diri dan pribadinya.” (Al-Buthi, Fiqh Sirah Nabawiyah, halaman  78).

 

Pernyataan Al-Buthi di atas menolak pemikiran orang yang menganggap wahyu yang diterima Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam hanya merupakan hasil perenungannya saja, sebab beliau memang sering melakukan perenungan. 

 

Selain itu, dalam penjelasan hadits di atas juga disebutkan bahwa Jibril ‘alaihissalâm sampai tiga kali mendekap dan melepaskan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam, dan setiap kali mendekap ia berkata: “Bacalah!” Peristiwa ini menurut Al-Buthi juga menegaskan adanya penerimaan wahyu dari luar diri beliau dan sangat menafikan anggapan orang bahwa wahyu itu tidak lebih hanya khayalannya semata. 

 

Peristiwa dahsyat itu membuat Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam takut dan cemas sehingga segera menghentikan khalwat-nya dan bergegas pulang ke rumah dengan hati gelisah. Menurut Al-Buthi, hal ini memberi gambaran yang jelas bagi siapa pun yang mau berpikir menggunakan akal sehatnya, bahwa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak pernah mendambakan kerasulan yang kemudian dibebankan atas dirinya untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Selain itu juga menunjukkan bahwa fenomena wahyu ini tidak selaras dengan apa pun yang terbayang atau terlintas dalam benaknya. Justru fenomena ini benar-benar sesuatu yang baru dalam hidupnya dan terjadi secara tiba-tiba tanpa pernah diperkirakan. (Al-Buthi, Fiqh Sirah Nabawiyah, halaman  78).
 

Namun di balik kegelisahan yang dirasakan Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam, Allah maha kuasa untuk memantapkan hati dan jiwanya sehingga beliau yakin bahwa sosok yang berbicara dengannya adalah Malaikat Jibril ‘alaihissalâm, salah satu malaikat Allah yang datang untuk mengabarkan bahwa dirinya diangkat menjadi utusan Allah bagi umat manusia. Hanya saja, kebijaksanaan Ilahi menuntut untuk menampakkan pemisahan total antara kepribadiannya sebelum kenabian dan kepribadiannya setelah kenabian; mengungkapkan tidak satu pun akidah atau syariat Islam yang merupakan hasil perenungannya; dan bahwa sebelumnya tidak pernah terlintas keinginan sedikit pun dari Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam untuk menyerukan risalah tersebut kepada umat manusia. Wallâhu a’lam.

 

Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.