Syariah

3 Keutamaan Menjadi Petugas KPPS dalam Pandangan Islam

Rab, 14 Februari 2024 | 09:15 WIB

3 Keutamaan Menjadi Petugas KPPS dalam Pandangan Islam

Ilustrasi: Anggpta KPPS di TPS Banjarharjo, Salaman, Magelang sedang menjalankan tugasnya. (NU Online - Ahmad Muntaha AM

Menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024, pamor petugas KPPS melonjak di media sosial. Beragam alasan melatarbelakangi narasi prestise panitia KPPS. Mulai dari statusnya sebagai abdi negara hingga gajinya yang cukup tinggi, sebesar 1,2 juta.

 

Meskipun banyak candaan menyinggung KPPS di media sosial, tapi jasa peran petugas KPPS tidak bisa dianggap kecil. 

 

Sebagaimana tertera dalam buku Panduan KPPS yang diterbitkan oleh KPU, petugas KPPS dibentuk “dalam rangka mewujudkan kedaulatan pemilih, melayani pemilih menggunakan hak pemilih, memberikan akses dan layanan kepada pemilih disabilitas dalam memberikan hak pilihnya.”

 

Artinya, peran petugas KPPS sangat krusial dalam terwujudnya hak-hak demokrasi warga negara sebagaimana diamanat oleh UUD 1945. Tak dapat dibayangkan suatu pemilu dapat berjalan tanpa adanya kerja-kerja dari petugas KPPS di akar rumput.

 

Dari pentingnya peran KPPS, setidaknya ada tiga keutamaan para petugasnya menurut pandangan fiqih Islam.

 

Pertama, jika terlaksananya pemilu adalah suatu kewajiban untuk mewujudkan hak-hak demokrasi, kedudukan petugas KPPS dapat dianggap sebagai syarat yang harus dipenuhi demi berlangsungnya kewajiban tersebut.  Dalam kaidah fiqih disebutkan bahwa: 

 


مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Artinya, “Sesuatu yang tidak bisa sempurna karenanya hal yang wajib, maka sesuatu itu turut menjadi wajib.”

 

Dari sini dapat dipahami bahwa urgensi peran KPPS termasuk dalam upaya mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashlahatul ‘ammah) berupa terselenggaranya hajat pemilu yang menyangkut seluruh hak-hak warga negara. 

 

Kedua, tak berlebihan kiranya apabila kerja-kerja KPPS kemudian bisa digolongkan sebagai fardhu kifayah meski secara lahir berupa kemaslahatan duniawi, bukan agama. Ini karena kemaslahatan umum pemilu tidak dapat dicapai kecuali dengan keterlibatan petugas KPPS di dalamnya.

 

Pengertian tersebut sesuai dengan definisi fardhu kifayah yang dinyatakan oleh Imam Ar-Rafi’i sebagaimana dinukil oleh Imam Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Mantsur fil Qawa’id:

 


وَقَالَ الرَّافِعِيُّ وَمَعْنَاهُ أَنَّ فَرْضَ الكِفَايَةِ أَمْرٌ كُلِّيٌّ تَتَعَلَّقُ بِهِ مَصَالِحُ دِيْنِيَّةٌ وَدُنْيَوِيَّةٌ لَا يَنْتَظِمُ الأَمْرُ إِلَّا بِحُصُولِهَا

Artinya, “Berkata Ar-Rafi’i yang maknanya bahwa fardhu kifayah adalah perkara yang menyeluruh (amrun kulli), yang berkaitan dengan kemaslahatan agama maupun dunia, yang perkara tersebut tidak bisa tersusun kecuali dengan terwujudnya kemaslahatan itu.” (Az-Zarkasyi, Al-Matsur fil Qawa’id, [Kuwait, Syirkah Daril Kuwait :1985], juz III, halaman 33).

 


Status kinerja KPPS dalam ibadah fardhu kifayah ini tak ayal menambah nilai keutamaannya. Pasalnya tidak seperti ibadah-ibadah fardhu ‘ain yang hanya menyangkut tanggung jawab perorangan, ibadah fardhu kifayah mencangkup tanggung jawab komunitas.

 

Berbeda dengan melaksanakan shalat lima waktu yang hanya menggugurkan dosa diri sendiri, melaksanakan kerja-kerja fardhu kifayah sebagaimana yang dilakukan oleh petugas KPPS adalah ibadah yang menggugurkan dosa seluruh warga negara.
 

Keistimewaan ini disampaikan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin:

 


لِلْقَائِمِ بِفَرْضِ الكِفَايَةِ مَزِيَّةٌ عَلَى القَائِمِ بِفَرْضِ العَيْنِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ أَسْقَطَ الحَرَجَ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنِ المُسْلِمِينَ

Artinya, “Bagi orang yang melaksanakan fardhu kifayah terdapat keistimewaan atas orang yang melaksakanakan fardhu ain, dari segi fardhu kifayah menggugurkan dosa dari dirinya sendiri dan dari segenap kaum muslimin” (An-Nawawi, Raudhatul Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1991], juz X, halaman 226]

 

Ketiga, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kerja-kerja KPPS adalah melayani para pemilih, termasuk pemilih dari kalangan disabilitas, maka kerja-kerja itu merupakan kegiatan tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan yang difirmankan dalam surat Al-Maidah ayat 2:

 


وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ

Artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.”

 

Imam Al-Mawardi mengatakan, Allah  swt menggabungkan antara  kebajikan (al-birr) dan ketakwaan (at-taqwa) karena di dalam keduanya terdapat dua keridhaan. Di dalam ketakwaan ada keridhaan Allah swt, sedangkan dalam kebajikan ada keridhaan manusia. 

 


لِأَنَّ فِي التَّقْوَى رِضَا اللهِ, وَفِي الْبِرِّ رِضَا النَّاسِ, وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَ رِضَا اللهِ تعالى وَرِضَا النَّاسِ, فَقَدْ تَمَّتْ سَعَادَتُهُ, وَعَمَّتْ نِعْمَتُهُ

 

Artinya, “Karena sesungguhnya dalam ketakwaan ada keridhaan Allah, dan dalam kebajikan ada keridhaan manusia. Barangsiapa yang mengumpulkan antara keridhaan Allah Ta’ala dan keridhaan manusia, sempurnalah kebahagiaannya, dan menyeluruh kenikmatannya.” (Al-Mawardi, Adabud Dunya wad Din, [Beirut, Darul Minhaj: 2013], halaman 294).

 

Melihat besarnya keutamaan petugas KPPS dalam pandangan fiqih Islam, maka seyogyanya tugas ini dijalankan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip transparansi, tidak memihak, dan bertanggung jawab. 

 

Apabila seorang petugas KPPS telah menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia telah mengumpulkan banyak keutamaan dalam dirinya meski bekerja hanya sehari atau beberapa hari.

 

Melalui tugas-tugasnya menjalankan proses pemilu, seorang petugas KPPS telah berjasa mengambil alih tanggung jawab segenap warga negara demi terselenggaranya kemaslahatan demokrasi. Wallahu a'lam

 

Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy Banyumas