Syariah

3 Perbedaan Rupiah Digital dan Aset Kripto

Rab, 31 Agustus 2022 | 07:30 WIB

3 Perbedaan Rupiah Digital dan Aset Kripto

3 Perbedaan Rupiah Digital dan Aset Kripto

Apakah Rupiah Digital termasuk cryptocurrency? Jawaban singkatnya, iya. 


Ditilik dari bahan penyusunnya, baik Rupiah Digital maupun Bitcoin dan mata uang kripto lainnya non-CBDC (central bank decentralized currency), sama-sama dibangun di atas bahan dasar berupa sandi kriptografi yang terenkripsi di dalam blockchain


Kalau begitu, apakah Rupiah Digital memiliki status hukum yang sama dengan Aset Kripto? 


Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita butuh menelaahnya secara rinci. Demi menjawab pertanyaan itu, berikut penulis hadirkan 3 perbedaan antara CBDC-Rupiah Digital dengan Aset Kripto. 


Pertama, sejak awal gagasan penerbitan disampaikan oleh BI, Rupiah Digital akan diproduksi berbeda dengan aset kripto. Rupiah Digital diproduksi tanpa memakai konsep anonimitas. 


Coba bandingkan dengan bagaimana aset kripto lainnya itu diproduksi. Aset kripto sengaja diproduksi secara private dan anonim. Anonimitas ini yang menjadikan rentan bagi penyalahgunaannya.


Tujuan dari penghilangan anonim ini, adalah untuk mencegah peluang terjadinya tindakan pidana pencucian uang (TPPU) atau aksi kejahatan lainnya. Peredaran Rupiah Digital menjadi bisa terlacak sejak dini, dengan berbekal teknologi ledger yang terdesentralisasi.


Kedua, sebagaimana disampaikan situs resmi Bank Indonesia, bahwa CDBC-Rupiah Digital akan dapat diedarkan dalam infrastruktur DLT (decentralized ledger technology), blockchain, maupun infrastruktur non-DLT. 


Jadi, andaikata warga masyarakat pergi ke pasar dan hanya memiliki mata uang Rupiah Digital di dompet elektronik, maka ia bisa melakukan transaksi dengan Rupiah Digital dan bisa mendapatkan pengembalian, baik berupa uang fisik maupun Rupiah Digital yang berbeda.


Hal ini berlainan dengan aset kripto seperti Bitcoin dan semisalnya, yang hanya berlaku pada DLT-blockchain saja. Itu sebabnya, user yang tidak masuk dalam teknologi blockchain tidak bisa memanfaatkannya. 


Ketiga, Rupiah Digital diproduksi oleh Bank Sentral di Indonesia (BI) yang bertindak selaku pemegang otoritas pencetak uang dan peredarannya kepada masyarakat.


Sebagai pemegang kewenangan mencetak mata uang, maka penggunaan Rupiah Digital dijamin oleh Bank Indonesia sesuai syarat yang ditentukan. Karena adanya jaminan ini, maka Rupiah Digital berlaku sah sebagai harta berjamin. 


Lain halnya dengan Bitcoin dan semisalnya, yang diproduksi oleh individu-individu penambang dan diakui sahnya oleh pihak Platform penerbit, meski pengakuan itu tidak diimbangi dengan adanya ujrah (upah menambang) yang datang dari pihak platform. 


Tidak adanya upah dari penerbit, bahkan pihak penambang justru diminta untuk menjualnya kepada orang lain yang tidak berlaku sebagai pemberi perintah menambang (ja’il), adalah sama dengan perilaku mengalihkan tanggungan kepada pihak yang tidak punya tanggungan. Yang dikehendaki sebenarnya dalam hal ini pelestarian praktik bai’ ma’dum (jual beli barang fiktif), di mana pihak penyuruh tidak bertanggung jawab menggaji pihak yang disuruh. 


Perhatikan syarat sah akad hiwalah atau akad pengalihan tanggungan utang berikut ini.


وشرائط الْحِوَالَة أَرْبَعَة رضى الْمُحِيل وَقبُول الْمُحْتَال وَكَون الْحق مُسْتَقرًّا فِي الذِّمَّة واتفاق مَا فِي ذمَّة الْمُحِيل والمحال عَلَيْهِ فِي الْجِنْس وَالنَّوْع والحلول والتأجيل وتبرأ بهَا ذمَّة الْمُحِيل


Artinya, “Syarat hiwalah ada 4, yaitu (1) ridhanya muhil, (2) menerimanya muhtal, (3) hak yang dialihkan berstatus mustaqirran fid dzimmah (sudah berlaku sebagai tanggungan), dan (4) nilai tanggungan muhil dan muhal ‘alaih adalah sejenis, semacam, baik dilihat dari sisi kontannya atau temponya. Ketika pengalihan itu sudah terjadi, maka muhil sudah tidak memiliki utang lagi kepada muhtal.” (Taqiyyuddin al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Damaskus: Darul Fikr], juz I, halaman 263).


Sementara itu, Imam As-Syairazi menjelaskan:


ولا تجوز الحوالة إلا على من له عليه دين لأنا بينا أن الحوالة بيع ما في الذمة بما في الذمة فإذا أحال من لادين عليه كان بيع معدوم


Artinya, “Tidak boleh melakukan pengalihan tanggungan utang kecuali atas pihak yang memiliki utang. Sebagaimana yang sudah kami jelaskan, bahwa hiwalah pada dasarnya adalah jual beli tanggungan dengan tanggungan. Maka dari itu, apabila terjadi pengalihan tanggungan pada pihak yang tidak memiliki tanggungan, maka itu sama artinya dengan praktik bai’ ma’dum (jual beli barang fiktif). (As-Syairazi, Al-Muhaddzab fi Fiqhil Imam al-Syafi’i, [Damaskus: Darul Fikr], juz II, halaman: 144).


Untuk lebih jelasnya, simak rincian mekanisme penerbitan Aset Kripto berikut dari sudut pandang akad ju’alah (proyek):

  1. Pihak perusahaan atau platform menempati posisi penyuruh (ja’il). 
  2. Pihak penambang menempati posisi pihak yang disuruh (maj’ul lah). 
  3. Amal dari penambang adalah menambang kripto. 
  4. Produk yang didapat dari menambang, adalah cryptocurrency. 
  5. Upah atau ju’lu penambang didapat bukan dari perusahaan yang menyuruh, melainkan dari orang lain dengan atas nama jual beli. 
  6. Karena produk hasil menambang tidak dibeli oleh platform penerbit, maka produk tersebut menempati derajat aset fiktif (ma’dum). 
  7. Transaksi dengan aset ma’dum, sama hukumnya dengan transaksi spekulatif dan judi. 


Nah, jelas bukan? Berbekal uraian di atas, maka tidak heran bila kita sering menemui adanya istilah 'Bandar Kripto' di sejumlah media massa saat memberitakan kerugian bisnis kripto. 


Secara tidak langsung, istilah ini memberi pengakuan bahwa transaksi aset kripto adalah transaksi judi dan gharar sehingga haram hukumnya.


Itulah 3 perbedaan mendasar antara Rupiah Digital dengan cryptocurrency, atau yang saat ini sering dikenal sebagai aset kripto dan diperdagangkan di Bursa Berjangka Komoditi. Wallahu a’lam. 


Ustadz Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim