Syariah

5 Prinsip Dasar Sistem Pemerintahan dalam Ketatanegaraan Islam Perspektif KH Afifuddin Muhajir

Kam, 23 Februari 2023 | 18:00 WIB

5 Prinsip Dasar Sistem Pemerintahan dalam Ketatanegaraan Islam Perspektif KH Afifuddin Muhajir

Ilustrasi: KH Afifuddin Muhajir (FB Ma'had Aly Sukorejo Situbondo).

Mendamaikan Islam dan Negara meruapakan suatu tema yang senantiasa menarik untuk dibahas khususnya di Indonesia.
 

Sejak awal terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia di tahun 1945, diskursus terkait sistem pemerintahan Islam senantiasa menjadi polemik yang tak berkesudahan. Jika hendak dirangkum, setidaknya ada tiga kelompok pandangan di Indonesia terkait hal ini.:

  1. kelompok yang menghendaki sistem syariat Islam atau khilafah sebagai dasar negara;
  2. kelompok ada yang menghendaki sistem pemerintahan apa saja asalkan berlandaskan nilai-nilai keislaman (islami); dan
  3. kelompok ekstrem yakni memisahkan secara total antara agama dan negara (sekuler).


 

KH Afifudin Muhajir, salah satu tokoh ulama NU dari Sukorejo Situbondo dalam karya berjudul Fiqh Tata Negara; Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam, menjelaskan bahwa tujuan utama terkait pemerintahan Islam ialah terwujudnya syariat Islam serta dibangun atas prinsip-prinsip Islam. Ia mengutip pernyataan Syekh Ali bin Muhammad Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah yang menyebutkan bahwa ada dua tugas utama yang diemban oleh seorang pemimpin atau Imam, yakni:
 

حراسة الدين وسياسة الدنيا
 

Artinya: “Menjaga agama dan mengatur dunia.”
 

Dari pemaparan di atas, penulis memahami bahwa bagi Kiai Afifuddin, tak penting apa yang menjadi model sistem pemerintahannya, asalkan bisa memikul dua tugas tersebut, maka layak dianggap sebagai sebuah sistem pemerintahan Islam.

 

Berikutnya, dalam buku yang sama beliau menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam, harus ada 5 prinsip dasar, yakni:
 

 

1. Kesetaraan

Kesetaraan atau al-musawah adalah prinsip Islam yang menyatakan bahwa semua manusia, adalah keturunan anak Adam yang memiliki derajat, kewajiban, dan hak yang sama. Warna kulit, bahasa, etnis, kedudukan, keturunan, kekayaan dan lainnya tidak bisa dijadikan alasan untuk menggunggulkan satu manusia dibandingkan dengan lainnya.
 

Untuk mendukung prinsip kesetaraan ini, Kiai Afifuddin mengutip ayat Al-Qur'an:
 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
 

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah ​mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS An-Nisa: 1).
 

 

2. Keadilan

Keadilan merupakan prinsip asasi yang sangat ditekankan dalam Islam. Perintah untuk berbuat adil khususnya dalam konteks penegakan hukum dikemukakan berulang kali dalam Al-Qur'an. Di antaranya ialah firman Allah:
 

وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ
 

Artinya: “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (QS An-Nisa: 58).
 

Pada praktiknya keadilan ini bisa dinyatakan dengan memperlakukan manusia antara satu dengan lainnya secara proporsional. Jika berprestasi bagi bangsa dan negara, maka layak diberikan ganjaran berupa hadiah atau pujian, dan jika merugikan bangsa dan negara maka wajib diberi hukuman.
 

Ketentuan ini berlaku bagi siapapun tanpa memandang dia anak siapa, dari golongan yang mana dan berasal dari kelas sosial yang mana. Setiap orang yang memiliki kapabilitas dan integritas dalam posisinya berhak untuk dibela dan setiap orang yang mencederai kebenaran tidak layak untuk dibela.
 

Kiai Afif dalam hal ini memberikan contoh kasus sengketa pencurian di zaman Rasulullah saw ketika Thi’mah bin Ubairiq mencuri baju besi milik tetangganya, yakni Qatadah, dan dititipkan kepada seorang Yahudi bernama Zaid bin Samin. Saat ketahuan, tentu Zaid mengaku bahwa itu hanya titipan dari Thi’mah. Penjelasan ini dibenarkan oleh kaumnya Zaid. Sebaliknya, kaumnya Thi’mah juga membela mati-matian Thi’mah. Hampir saja Rasulullah membela Thi’mah hingga kemudian teranglah bahwa pencuri sesungguhnya ialah Thi’mah yang kemudian dihukum sesuai dengan kejahatannya, tanpa melihat fakta bahwa ia adalah seorang muslim sama seperti Nabi. Di mata hukum, semua yang salah tetap harus dihukum.
 

 

3. Musyawarah

Perintah bermusyawarah tertuang dalam Al-Qur'an: 
 

وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ
 

Artinya: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran: 159).
 

Perintah tersebut pada awalnya berlaku bagi Rasulullah Saw. baik sebagai pribadi, sebagai Nabi, sekaligus sebagai pemimpin kaum muslimin. Kemudian perintah tersebut berlaku pula bagi umat Nabi terlebih mereka yang diberi amanat sebagai pemimpin.
 

Mengutip pendapat Al-Jashash dalam kitab Ahkamul Qur’an, Kiai Afif condong pada pandangan yang menyatakan bahwa perintah musyawarah ini berhubungan dengan berbagai macam persoalan keagamaan dan keduniaan seperti politik, sosial, ekonomi, budaya dan lainnya.
 

Meskipun demikian, pada persoalan-persoalan yang sudah ada ketetapan nash qath’i, maka tidak perlu lagi dimusyawarahkan, cukup dijalani saja. Sehingga musyawarah berlaku pada hal-hal yang sifatnya ijtihadiyah, dengan catatan hasil musyawarah tersebut tidak mencederai syariat Islam.
 

 

4. Kebebasan

Kebebasan atau al-hurriyah merupakan karunia yang melekat bagi tiap manusia sebagaimana ditegaskan dalam ayat Al-Qur'an:
 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ
 

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS Al-Isra: 70)
 

Terkait prinsip kebebasan ini, terdapat pernyataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra:
 

ولا تكن عبد غيرك وقد جعله الله حرا

 

Artinya: “Janganlah kamu menjadi hamba orang lain karena Allah menciptakan kamu dalam keadaan merdeka.”

 

Saat seseorang sudah mengucapkan kalimat tauhid laa ilaaha illa Allah, maka pernyataan tersebut adalah sebuah deklarasi bahwa ia hanya menghamba pada Allah swt dan tidak kepada makhluk-Nya. Adapun penghormatan kepada Rasul, ulil-amri, orang tua dan guru, semuanya adalah bagian dari penghambaan kepada Allah swt yang telah memerintahkan manusia untuk menghormati mereka.
 

Kiai Afif juga memberikan batasan kebebasan ini agar kemudian tidak menjadi kebablasan, yakni kebebasan tersebut harus tidak menodai harkat kemuliaan manusia, tidak mengganggu hak orang lain dan tidak melawan aturan syariat atau aturan yang disepakati bersama.
 

 

5. Pengawasan Rakyat

Dalam syariat Islam, setiap rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk mengawasi, mengontrol, menasihati dan mengkritik pemimpin yang ia pilih jika diperlukan. Dalam bahasa syariat, pengawasan ini disebut sebagai riqayatul ummah. Pengawasan ini ialah bagian dari nasihat dari rakyat kepada pemimpinnya.
 

Di sisi lain, seorang pemimpin haruslah siap untuk menerima kritik dan saran tersebut, sebagaimana diperlihatkan dalam salah satu pernyataan Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra:
 

من راى منكم في اعوجاجا فاليقومه
 

Artinya: “Barangsiapa melihat sesuatu yang melenceng pada diriku, maka luruskanlah.”
 

Tentu saja nasihat dan kritik rakyat kepada pemimpinnya merupakan bagian dari pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi salah satu pilar syariat Islam.
 

Menurut Kiai Afif, kelima prinsip dasar pemerintahan tersebut merupakan hal yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan negara demi terciptnya kesejahteraan umat, baik di dunia maupun di akhirat. 
 

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz Muhammad Ibnu Sahroji