Syariah

Ancaman bagi Pelaku Pencabulan dalam Hadits

Sab, 7 Oktober 2023 | 19:00 WIB

Ancaman bagi Pelaku Pencabulan dalam Hadits

Foto ilustrasi (NU Online/Freepik)

Beberapa pekan lalu kita dikagetkan dengan berita wafatnya seorang bocah sebab diremas buah zakarnya. Pelecehan seksual terhadap anak-anak merupakan kekejian yang semua orang di dunia ini sepakat bahwa perbuatan tersebut merupakan sebuah kejahatan. Begitu pun dengan Islam yang memandang bahwa pelecehan seksual terhadap anak merupakan sebuah perbuatan dosa.


Islam menaruh perhatian terhadap segala aspek kehidupan manusia di semua umur termasuk kepada anak-anak, bahkan jauh sebelum mereka lahir ke dunia. Pelecehan terhadap anak-anak yang masih polos dan tidak mengerti perilaku apa yang dilakukan orang terhadap mereka merupakan tindakan yang tak senonoh yang melanggar batas.


Pelanggaran batas ini biasa disebut dalam bahasa Arab sebagai tindakan yang fahisy (فاحش). Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh al-Qadhi ‘Iyadh, bahwa makna fahsy (فحش) sendiri adalah tindakan keluar dari batas. (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, [Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1392 H], jilid XV, hal. 78).


Perbuatan cabul yang dikenal sebagai tindakan fahsy ini dikecam dalam Islam melalui hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya:


إِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيء


Artinya, “Sesungguhnya Allah amatlah murka terhadap seorang yang keji lagi jahat.” (HR al-Tirmidzi).


Dalam hadits lain dengan makna yang serupa, Imam Abu Dawud meriwayat sebuah hadits Nabi Muhammad saw. dalam Sunan-nya:


إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَاحِشَ الْمُتَفَحِّشَ


Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang keji dan ucapan keji”. (HR Abu Dawud).


Tindakan pencabulan dilarang keras dalam Islam bahkan ia bertentangan dengan syariat yang mana di antara tujuannya adalah untuk menjaga harga diri atau kehormatan seseorang (hifz al-‘ardh). 


Tindakan keji berupa merendahkan harga diri dan kehormatan sendiri diharamkan dalam Islam. Ibnu ‘Umar ra. pernah menceritakan suatu peristiwa ketika Nabi melarang perendahan terhadap kehormatan seseorang. Pidato tersebut tercatat ketika peristiwa haji Wada : 


عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى أَتَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَقَالَ فَإِنَّ هَذَا يَوْمٌ حَرَامٌ أَفَتَدْرُونَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ بَلَدٌ حَرَامٌ أَفَتَدْرُونَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهْرٌ حَرَامٌ قَالَ فَإِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا 


Artinya, “dari Ibnu'Umar ra. ia berkata ‘Nabi saw. bersabda ketika berada di Mina, ‘Apakah kalian mengetahui, hari apakah ini?’. Orang-orang menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui’. Beliau bersabda, ‘Ini adalah hari haram (suci)’. Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kalian mengetahui, negeri apakah ini?’. Mereka menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui’. Beliau berkata, ‘Ini adalah negeri haram’. Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kalian mengetahui, bulan apakah ini?’. Mereka menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui’. Beliau berkata, ‘Ini adalah bulan haram. Sungguh Allah telah mengharamkan darah kalian, harta-harta kalian dan kehormatan kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini’.”


Mengenai efek yang ditimbulkan, perilaku kekerasan seksual dan pencabulan terhadap anak juga akan menimbulkan dampak negatif seperti trauma terhadap anak. Anak-anak sebagai korban cenderung sulit melaporkan sebab merasa takut akan ancaman pelaku. Hal tersebut juga merupakan dampak negatif sebab anak merasa tidak berdaya (powerlessness) untuk mengungkapkannya.


Depresi, merasa bersalah dan menyalahkan diri, menjauh dari sosial, insomnia, kecemasan dan disfungsi sosial juga akan berdampak pada anak-anak yang menjadi korban pencabulan dan pelecehan seksual. 


Terkait dengan merendahkan atau merenggut kehormatan orang lain, terdapat beberapa keterangan dalam hadits-hadits Nabi saw. Misalnya adalah tindakan merenggut kehormatan seseorang merupakan perbuatan yang lebih buruk dari pada riba. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:


الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا، أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ


Artinya, “Riba memiliki 73 pintu, paling ringan dosanya seperti seseorang menikahi ibunya sendiri, dan sungguh tingkatan riba yang paling parah setingkat dengan seseorang yang melecehkan kehormatan seorang Muslim.” (HR. Al-Hakim).


Poin hadits di atas jelas sekali bahwa merenggut kehormatan seseorang merupakan sebuah perbuatan buruk yang selevel dengan riba yang paling parah. Alasannya adalah apabila zina, maka ada indikasi bahwa kedua pelaku sama-sama ridha, beda dengan pelecehan seksual atau tindak pencabulan yang dapat merenggut kehormatan.


Meskipun hadits ini terdapat dalam kitab al-Mustadrak, Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini namun sampai pada keterangan jumlah pintunya saja sebanyak 73, adapun redaksinya tidak dijelaskan. Al-Hakim sendiri sebagai periwayat hadits ini menyebutkan keshahihannya sesuai syarat Imam al-Bukhari dan Muslim, sedang al-Dzahabi tidak mengomentarinya sama sekali dan al-Baihaqi menyebut sanadnya shahih.


Mengenai perenggutan terhadap kehormatan dan harga diri seseorang, terdapat suatu kisah yang ditulis oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra tentang pelecehan seksual yang dilakukan beberapa penjual emas Bani Qainuqa’, yang membuat Rasulullah saw. kecewa dan membatalkan perjanjian di antara mereka. Kisahnya adalah:


قال الشّافِعِىُّ فى رِوايَةِ أبى عبدِ الرَّحمَنِ البَغدادِىِّ عنه: لَم يَختَلِفْ أهلُ السّيرَةِ عِندَنا؛ ابنُ إسحاقَ، وموسَى بنُ عُقبَةَ، وجَماعَةُ مَن رَوَى السّيرَةَ، أن بَنِى قَينُقاعَ كان بَينَهُم وبَينَ رسولِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - موادَعَةٌ وعَهدٌ،
فأَتَتِ امرأةٌ مِنَ الأنصارِ إلَى صائغٍ مِنهُم ليَصوغَ لَها حُليًّا، وكانَتِ اليَهودُ مُعاديَةً لِلأنصارِ، فلَمّا جَلَسَتْ عِندَ الصّائغِ عَمَدَ إلَى بَعضِ حَدائدِه فشَدَّ به أسفَلَ ذَيلِها وجَنْبَها وهِىَ لا تَشعُرُ، 
فلَمّا قامَتِ المَرأَةُ وهِىَ فى سُوقِهِم نَظَروا إلَيها مُتَكَشِّفَةً، فجَعَلوا يَضْحَكونَ مِنها ويَسخَرونَ، فبَلَغَ ذَلِكَ رسولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم -فنابَذَهُم، وجَعَلَ ذَلِكَ مِنهُم نَقضًا لِلعَهدِ. وذَكَرَ حَديثَ بَنِى النَّضيرِوما صَنَعَ عُمَرُ بنُ الخطابِ فى اليَهودِىِّ الَّذِى استَكرَهَ المَرأَةَ فوَطِئَها


Artinya, “Imam Syafii mengatakan pada riwayat Abu ‘Abdirrahman al-Bahgdadi: “Menurut pendapat kami, para penulis sejarah (Ibnu Ishaq, Musa bin ‘Uqbah, dan sekelompok orang yang meriwayatkan kisah tersebut) sepakat bahwa ada perjanjian antara Bani Qaynuqa' dan Rasulullah Saw. 


Kemudian seorang wanita dari Anshar datang ke toko perhiasan mereka untuk menempa perhiasan yang dimilikinya. Konon, orang-orang Yahudi sangat memusuhi kaum Anshar, sehingga ketika perempuan tersebut duduk bersama si penjual perhiasan, dia meraih sebagian besinya dan menariknya ke bagian bawah dan sisinya tanpa si perempuan itu sadari. 


Seketika wanita itu pun berdiri dan pakaiannya terbuka. Para penempa perhiasan itu pun melihatnya perempuan tersebut dan mulai menertawakan serta mengolok-oloknya.  Hal ini sampai kepada Rasulullah Saw. dan keluarganya, maka beliau menegur mereka dan menyatakan bahwa kasus tersebut merupakan pelanggaran terhadap perjanjian di antara mereka.” (Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, [Markaz al-Hijr, 2011], jilid XIX, hal. 61).


Kisah di atas dapat kita bayangkan bagaimana dua kelompok masyarakat yang berbeda (Islam dan Yahudi) menjalin suatu perjanjian dan akibat kasus pelecehan yang dilakukan oknum dalam suku tersebut akhirnya Nabi saw. pun membatalkan perjanjiannya. Betapa Nabi saw. sangat mengecam perbuatan tersebut karena melecehkan harga diri seseorang. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences