Syariah

Apakah Belut Halal Dikonsumsi?

Rab, 2 Maret 2022 | 09:00 WIB

Apakah Belut Halal Dikonsumsi?

Hukum mengonsumsi belut adalah boleh dan halal, sebab hewan belut masih termasuk kategori ikan yang kehalalannya secara tegas disebutkan dalam nash hadits.

Belut merupakan salah satu hewan yang secara bentuk mirip dengan ular. Hanya saja kulit belut halus, tidak memiliki sisik sebagaimana ular. Hewan belut pada umumnya berada di tepi sungai dan ladang sawah yang banyak lumpurnya.


Pada siang hari, ia membuat lubang yang terpenuhi air sebagai tempat persinggahannya guna menjaga diri dari para pemburu. Sedangkan saat malam atau saat sepi dari manusia, biasanya belut keluar dari sarangnya untuk mencari makanan berupa ikan-ikan kecil dan cacing. 


Belut juga tergolong hewan yang sering hidup di perairan, ia tidak bisa tahan lama hidup di daratan, kalaupun ia terkadang berada di lelumpuran, namun dapat dipastikan lumpur yang ia tempati tersebut basah dipenuhi oleh resapan air.


Di samping itu, belut tergolong salah satu menu kuliner yang digemari oleh masyarakat dari berbagai latar belakang. Sering kita lihat di berbagai warung-warung lalapan di samping jalan raya, kerap menyediakan belut goreng pada salah satu menu-nya.


Lantas sebenarnya, halalkah mengonsumsi hewan belut ini?


Salah satu ulama’ masjidil haram yang berasal dari Pulau Jawa, Syekh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Jawi membuat karangan risalah kitab yang membahas secara tuntas tentang hukum mengonsumsi belut yang diberi nama as-Shawa’iq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayani hilli al-Belut wa Raddi ‘ala man Harramah atau yang biasa dikenal dengan Kitab al-Belut. 


Konon, kitab ini dikarang bermula dari banyaknya ulama dan masyarakat Hijaz pada saat itu yang salah paham dalam menggambarkan hewan belut. Banyak dari mereka yang menganggap belut sama dengan ular yang dominan hidup di daratan, sehingga menurut mereka belut dihukumi haram.


Pemahaman tersebut disanggah oleh Syekh Muhammad Mukhtar dengan mengarang kitab risalah tentang belut sebagaimana di jelaskan di atas.


Hewan belut sendiri, jika berdasarkan sifat, bentuk dan ciri-cirinya terdapat berbagai nama dalam beberapa literatur kitab klasik yang mengakomodir sifat dan bentuk dari hewan belut ini. Diantaranya adalah Hayyat al-Ma’ (حَيَّةُ المَاءِ), Jirrits (الجِرِّيْثِ), dan Ankalis (الأنْكَلِيْسِ). Berkaitan dengan nama yang terakhir ini, terdapat hadits mauquf dari Sahabat Ali bin Abi Thalib Karrmallahu Wajhahu:


فِي حَدِيْثِ عَلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّهُ بَعَثَ إلَى السُّوْقِ فَقَالَ : لَا تَأْكُلُوْا الأَنْكَلِيْسَ هُوَ: سَمَكٌ شَبِيْهٌ بِالْحَيَّاتِ رَدِيْئُ الْغِذَاءِ وَهُوَ الَّذِيْ يُسَمَّى الْمَارْمَاهِيْ . وَإِنَّمَا كَرَّهَهُ لِهَذَا لَا لِأنَّهُ حَرَامٌ


Artinya, “Dalam Hadits Sayyidina Ali, beliau mengutus seseorang ke pasar kemudian beliau berkata; ‘Janganlah engkau memakan Ankalis.’ Ankalis ialah hewan yang mirip ular yang buruk makanannya, ia disebut juga dengan marmahi (dalam bahasa persia). Sayyidina Ali melarang belut karena faktor ini (mirip ular dan buruk makanannya), bukan karena Ankalis adalah hewan yang haram (dikonsumsi),” (Ibnu Atsir, An-Nihayah fi Gharibil Atsar, [Beirut, Maktabah al-‘Ilmiyyah: 1979 M], juz I, halaman 183).


Bahkan jika merujuk pada penamaan belut dengan nama hayyat al-Ma’, kehalalan mengonsumsi hewan ini tergolong hukum yang telah disepakati oleh para ulama’, sebagaimana disebutkan dalam redaksi berikut:


إِنَّ السَّمَكَ لَهُ أَصْنَافٌ مُخْتَلِفَةٌ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ صُوَرِهِ وَمِنْهُ مَا يُقَالُ حَيَّةَ الْمَاءِ لِكَوْنِهِ عَلَى شَكْلِ الْحَيَّةِ يَحِلُّ أَكْلُهُ بِالْإِتِّفَاقِ


Artinya, “Ikan ada berbagai macam jenis yang berbeda-beda sesuai dengan beragam bentuknya, di antaranya adalah ular air (belut) disebut dengan ular air karena bentuknya mirip ular. Hukum mengonsumsi ular air ini halal berdasarkan kesepakatan para ulama,’” (Syekh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Jawi, Kitab al-Belut, [Kediri, Maktabah Pesantren Lirboyo: halaman 6).


Banyaknya istilah nama untuk belut dalam berbagai literatur arab klasik ini dikarenakan nama “belut” belum dikenal oleh para ulama zaman dahulu dan merupakan nama yang hanya masyhur di kalangan masyarakat Jawa.


Tidak heran jika Syekh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Jawi menanyakan persoalan belut ini pada para gurunya di mekkah yang tidak pernah mengetahui hewan yang dinamai belut. Dalam kitabnya, beliau menjelaskan:


ثُمَّ أَخْبَرْنَا بَعْضَ مَشَايِخَنَا الأَعْلَامَ وَالْجَهَابِذَةَ العِظَامَ مِنْ عُلَمَاءِ مَكَّةَ المُشَرَّفَةِ أَوْصَافَ الْبَلُوْتِ المَذْكُوْرَةِ وَسَأَلْنَاهُمْ عَنْ حُكْمِهِ فَقَالُوْا إِنْ كَانَ هَذَا صِفَتُهُ فَهُوَ حَلَالٌ لِأَنَّهُ مِنَ الصَّيْدِ البَحْرِيِّ


Artinya, “Selanjutnya kami menceritakan pada sebagian guru-guru kami yang alim dan tokoh-tokoh arif yang agung dari Ulama’ Makkah al-Musyarrafah, tentang sifat-sifat hewan belut, lalu kami tanyakan tentang hukum (mengonsumsinya), maka mereka menjawab: “jika hewan belut ini (sifatnya sebagaimana yang engkau jelaskan), maka hukumnya adalah halal, sebab tergolong bagian dari binatang buruan lautan” (Mukhtar bin ‘Atharid: 13).


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum mengonsumsi belut adalah boleh dan halal, sebab hewan belut masih termasuk kategori ikan yang kehalalannya secara tegas disebutkan dalam nash hadits.


Kehalalan mengonsumsi belut ini juga memastikan kehalalan menjual atau membeli makanan belut sebagaimana yang sering kita amati di berbagai rumah makan dan warung lesehan. Wallahu a’lam.


Ustadz M Ali Zainal Abidin, anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur.