Syariah

Apakah Cek Khodam Sama dengan Meramal? Begini Penjelasannya

Sab, 29 Juni 2024 | 10:00 WIB

Apakah Cek Khodam Sama dengan Meramal? Begini Penjelasannya

Ilustrasi cek khodam. (Foto: NU Online/Freepik)

Belakangan ini sedang ramai di dunia maya tentang adanya fenomena cek khodam secara online. 
Bermula dari live streaming yang dilakukan oleh beberapa akun di media sosial Tik Tok kemudian berkembang ke Instagram sampai ke media X.

 

Khodam sendiri memiliki ragam pengertian. Salah satu definisi khodam adalah pembantu atau pengawal yang ada pada diri manusia, sebab kata khodam sendiri diambil dari bahasa Arab. Sedangkan dalam istilah Jawa, khodam disebut dengan perewangan.  (Nur Prabawa Wijaya, Master Khodam: Seni Berkomunikasi dengan Khodam Diri dan Orang Lain [Jakarta: Indonesia 8, 2010] halaman 6)

 

Di sisi lain, khodam sering dikait-kaitkan dengan sesuatu yang sifatnya mistik, gaib, supranatural dan di luar nalar. Seperti halnya khodam ditafsirkan dengan jin atau malaikat yang menjadi pengikut manusia.

 

Berkaitan dengan ini, sebagian masyarakat meyakini bahwa dengan cara mengecek khodam dapat membantu mengenali jati diri dan dapat membantu menyelesaikan masalah. Selain itu, ada sebagian orang yang meyakini bahwa dengan mengetahui khodam dapat memprediksi nasib yang akan menimpa seseorang di masa depan.

 

Pertanyaannya selanjutnya, apakah tindakan semacam itu sama seperti meramal? Berikut penjelasannya:

 

Cek Khodam dan Meramal

Cek khodam identik dengan memprediksi sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh panca indera manusia. Begitu pun juga dengan meramal, keduanya secara praktik tidak jauh berbeda.

 

Dalam Islam, sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal gaib dan apa saja yang tidak bisa dijangkau oleh panca indera hanya bisa diketahui secara pasti oleh Allah, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:

 

قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗوَمَا يَشْعُرُوْنَ اَيَّانَ يُبْعَثُوْنَ

 

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tidak ada siapa pun di langit dan di bumi yang mengetahui sesuatu yang gaib selain Allah. Mereka juga tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml [27]: 65)

 

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Azhim menjelaskan bahwa pada ayat tersebut Allah menegaskan sekaligus memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memberitahukan kepada umatnya, kalau hal-hal yang gaib hanya Allah yang tahu.

 

يَقُولُ تَعَالَى آمِرًا رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُولَ مُعَلِّمًا لِجَمِيعِ الْخَلْقِ أَنَّهُ لَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ السَّمَوَاتِ والأرض الغيب إلا الله. وقوله تعالى: إِلَّا اللَّهُ اسْتِثْنَاءٌ مُنْقَطِعٌ أَيْ لَا يَعْلَمُ أَحَدٌ ذَلِكَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّهُ الْمُنْفَرِدُ بِذَلِكَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: وَعِنْدَهُ مَفاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُها إِلَّا هُوَ [الأنعام: 59] الآية

 

Artinya: “Firman Allah swt pada ayat tersebut merupakan perintah kepada Rasulullah Saw, bahwasanya dia (Nabi Muhammad) hendaknya memberitahu kepada seluruh makhluk bahwa tidak ada seseorang pun dari penduduk langit dan bumi yang dapat mengetahui perkara gaib kecuali Allah swt. 

 

Kemudian, lafadz إِلَّا pada ayat tersebut merupakan huruf istitsna munqothi (pengecualian), yakni bahwasanya tidak ada sesorang pun yang mengetahui hal gaib kecuali Allah. Karena sesungguhnya Dia itu tunggal, tidak ada yang bisa menyekutukannya. Sebagaimana juga, dalam firman-Nya yang lain diterangkan, “Kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahuinya selain Dia.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1998] juz 6, halaman 187)

 

Bagi umat Islam, mendatangi tukang ramal telah dilarang oleh Rasulullah saw. Sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami,

 

عَنْ ‌مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ: ‌قُلْتُ: ‌يَا ‌رَسُولَ ‌اللهِ، ‌أُمُورًا ‌كُنَّا ‌نَصْنَعُهَا ‌فِي ‌الْجَاهِلِيَّةِكُنَّا ‌نَأْتِي ‌الْكُهَّانَ! ‌قَالَ: ‌فَلَا ‌تَأْتُوا الْكُهَّانَ. قَالَ: قُلْتُ: كُنَّا نَتَطَيَّرُ! قَالَ: ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُهُ أَحَدُكُمْ فِي نَفْسِهِ، فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ

 

Artinya: “Dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami, ia mengatakan: bahwasanya aku berkata, wahai Rasulullah, banyak hal yang dulu kami lakukan semasa jahiliyah, salah satunya adalah mendatangi peramal. Rasulullah menjawab, janganlah kalian mendatangi peramal. Selanjutnya aku berkata, kami juga dulu bisa memperkirakan hal-hal buruk yang akan datang. Kemudian, Rasulullah menjawab kembali, hal yang demikian adalah prasangka yang ditemukan dalam diri seseorang, maka jangan sampai hal tersebut memengaruhi kalian.” (HR. Muslim no. 537)

 

Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan maksud dari كنا ‌نأتي ‌الكهان yang bermakna “kami (dulu) mendatangi peramal” dalam hadits di atas, bahwasanya terdapat tiga jenis peramal yang diyakini oleh orang Arab pada waktu itu: Pertama, dari golongan jin; Kedua, melalui pengkajian iklim; Ketiga, ahli nujum atau orang-orang yang dipercaya sebagai orang sakti mandraguna.

 

‌كُنَّا ‌نأتي ‌الْكُهَّان قَالَ القَاضِي كَانَت الكهانة فِي الْعَرَب ثَلَاثَة أضْرب أَحدهَا يكون للْإنْسَان ولي من الْجِنّ يُخبرهُ بِمَا يسترقه من السّمع من السَّمَاء وَهَذَا الْقسم بَطل من حِين بعث الله نَبينَا صلى الله عَلَيْهِ وَسلم الثَّانِي أيخيره بِمَا يطْرَأ أَو يكون فِي أقطار الأَرْض وَمَا خَفِي عَنهُ مِمَّا قرب أَو بعد وَهَذَا لَا يبعد وجوده لكِنهمْ يصدقون ويكذبون وَالنَّهْي عَن تصديقهم وَالسَّمَاع مِنْهُم عَام الثَّالِث المنجمون وَهَذَا الضَّرْب يخلق الله تَعَالَى فِيهِ لبَعض النَّاس قُوَّة مَا لَكِن الْكَذِب فِيهِ أغلب وَمن هَذَا الْفَنّ العرافة وصاحبها عراف وَهُوَ الَّذِي يسْتَدلّ على الْأُمُور بِأَسْبَاب ومقدمات يَدعِي مَعْرفَته بهَا وَقد يعتضد بعض هَذَا الْفَنّ بِبَعْض فِي ذَلِك بالزجر والطرق والنجوم وَأَسْبَاب مُعْتَادَة وَهَذِه الأضرب كلهَا تسمى كهَانَة وَقد أكذبهم كلهم الشَّرْع ونهى عن تصديقهم وإتيانهم ذَاك شَيْء يجده أحدكُم فِي نَفسه فَلَا يصدنكم مَعْنَاهُ ان كَرَاهَة ذَلِك تقع فِي نفوسكم فِي الْعَادة وَلَكِن لَا تلتفتوا إِلَيْهِ وَلَا ترجعوا عَمَّا كُنْتُم عزمتم عَلَيْهِ قبل هَذَا

 

Artinya: “Berkenaan dengan kalimat كنا ‌نأتي ‌الكهان pada hadits tersebut, Al-Qadhi berkata, bahwasanya dalam Arab jahiliyah terdapat 3 jenis peramal: Pertama, seorang tokoh manusia memiliki teman atau pengikut dari golongan jin yang bertugas untuk mencuri informasi dengan mendengar (tentang takdir) dari langit. Kemudian, peramal jenis ini tidak eksis lagi setelah Nabi Muhammad saw diutus menjadi seorang nabi.

 

Kedua, menyakini kebenaran dari apa yang disampaikan oleh jin tersebut, akan tetapi kemudian disesuaikan dengan iklim yang terjadi di sekitar atau melihat fenomena dalam belahan bumi lain ataupun memperhatikan hikmah dari kejadian tersebut, entah itu dalam waktu sebelum meramal atau setelahnya. Hal ini, praktiknya tidak jauh berbeda. Akan tetapi sebagian dari mereka membenarkan dan sebagiannya lagi tidak. Maka, dalam hal ini dilarang untuk membenarkannya.

 

Ketiga, ahli nujum. Yakni, Allah swt menganugrahkan kepada sebagian manusia kesaktian. Akan tetapi, praktik dari orang seperti ini lebih cenderung bohongnya daripada benarnya. Salah satu tipuan dari kegiatannya, bahwa ahli nujum seolah-olah meminta bantuannya temannya (khodam) sebagai pemberi ramalan atas beberapa perkara tertentu, menyimpulkan beragam sebab, mengklaim bahwa pengetahuannya tentang peristiwa yang terjadi bersumber dari kemampuannya.

 

Selain itu juga, praktik ini menggunakan sya’ir, ritual khusus, rasi bintang dan kebiasaan masyarakat sebagai alat meminta bantuan dalam menjalankannya. Dan semua yang telah disebutkan di atas dinamakan sebagai ramalan.” (Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dibaj ‘ala Shahih Muslim bin al-Hajjaj, [Saudi: Dar Ibnu ‘Affan, 1996] juz 5, halaman 245)

 

Dengan demikian, cek khodam sama saja dengan meramal yang dilarang oleh Rasulullah sebagaimana hadits di atas. Bagi umat Islam, sebaiknya tetap menjalani aktivitas normal dengan cara berdoa dan berikhtiar yang selanjutnya adalah tawakal atau memasrahkan semua urusannya kepada Allah. Wallahu a‘lam.

 

Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Mahasantri Ma’had Aly Jakarta.