Syariah

Apakah Halal Makanan yang Ditemukan di Jalan?

Rab, 8 Juni 2022 | 18:00 WIB

Apakah Halal Makanan yang Ditemukan di Jalan?

Lantas sebenarnya bolehkah kita mengambil makanan yang tergeletak di jalan, baik untuk dimakan atau diberikan kepada orang lain?

Di antara beberapa permasalahan tentang makanan yang sering dialami oleh banyak orang adalah tentang status makanan yang ditemukan di jalan. Saat menemukan makanan di jalan, kadang terbesit dalam hati kita tentang kehalalan mengambil makanan tersebut.


Sebab jika dibiarkan tergeletak di jalan, kita merasa makanan itu menjadi mubazir, terlebih saat makanan yang kita temukan tersebut masih sangat layak untuk dimakan. Sehingga kita beranggapan alangkah baiknya jika makanan itu kita ambil untuk dimakan atau diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan.


Lantas sebenarnya bolehkah kita mengambil makanan yang tergeletak di jalan, baik untuk dimakan atau diberikan kepada orang lain?


Dalam beberapa kutub at-turats dijelaskan bahwa benda bernilai yang ditemukan di tempat yang tidak bertuan (tidak dimiliki oleh seseorang) seperti jalan raya, masjid, pasar dan fasilitas umum lainnya, maka disebut sebagai barang temuan atau luqathah


Termasuk bagian dari luqathah adalah makanan yang ditemukan di jalan raya. Para ulama’ mazhab Syafi’i secara khusus memberikan ketentuan dalam menangani makanan yang ditemukan di jalan, yakni dengan diberikan dua opsi pilihan bagi penemu makanan tersebut (multaqith):


Pertama, penemu mengonsumsinya dan mengganti dengan nominal harga dari makanan tersebut tatkala pemilik makanan telah diketahui.  


Kedua, penemu menjual makanan tersebut lalu menyimpan uang hasil penjualan makanan itu untuk diberikan kepada pemilik makanan tatkala ditemukan. (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib, Hal. 81)


Berdasarkan dua ketentuan tersebut, dapat dipahami pula bahwa memberikan makanan yang ditemukan di jalan kepada orang yang lebih membutuhkan adalah hal yang diperbolehkan, sebab termasuk cakupan dari opsi pertama di atas karena mengonsumsi makanan yang ditemukan di jalan dengan memberikan makanan tersebut pada orang lain, dalam kajian fikih memiliki illat yang sama yakni itlaf (merusak barang temuan), sehingga memiliki konsekuensi hukum yang sama.


Lalu apakah wajib bagi penemu makanan mencari pemilik makanan atau mengumumkan kepada khalayak luas tentang makanan yang ditemukannya, sebagaimana ketentuan dalam bab luqathah?


Wajib-tidaknya mengumumkan makanan hasil temuan secara umum diperinci berdasarkan jenis makanan yang ditemukan:


• Jika makanan yang ditemukan bersifat remeh-temeh, sekiranya menurut penilaian umumnya orang (‘Urf) pemilik makanan ketika kehilangan makanan tidak akan mencarinya, maka tidak wajib bagi penemu untuk mengumumkannya atau mencari pemilik makanan yang ditemukan olehnya dan ia langsung dapat memiliki makanan tersebut. Misal seperti menemukan sepotong kurma, sesuap nasi dan makanan lain yang terdapat indikasi pemilik makanan sudah tidak membutuhkannya lagi.


• Jika makanan yang ditemukan tergolong bernilai, sekiranya menurut penilaian umumnya orang pemilik makanan ketika kehilangan makanan tersebut pasti akan mencarinya, maka wajib bagi penemu untuk mengumumkannya atau mencari pemilik makanan yang ditemukan olehnya. Seperti menemukan nasi satu bungkus beserta lauk pauk yang masih utuh dan baru, serta makanan-makanan lain terdapat indikasi pemilik makanan masih membutuhkannya.


Dua perincian di atas berdasarkan referensi dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji berikut:


إذا وجد المرء شيئا ضائعا بمعنى اللقطة الذي عرفت ، ينظر:


فإن كان شيئا تافها: أي ليس من شأن الناس عادة - إذا فقدوه - ان يطلبوه ويبحثوا عنه ، كاللقمة والتمرة ونحو ذلك، حسب عرف كل مكان وزمان، فإن الملتقط يتملك ذلك دون ان يعرف به او يتعرف عليه

وقد دل على ذلك: حديث أنس رضى الله عنه قال: مر النبي صلى الله عليه وسلم بتمرة في الطريق، قال: "لولا أني أخاف أن تكون من الصدقة لأكلتها" . (البخاري


وإن كان شيئا ذا قيمة: أي من شان الناس أن يطلبوه إذا فقدوه ويبحثوا عنه، كان على الملتقط تعريفه


Artinya: “Ketika seseorang menemukan barang temuan maka diperinci: Jika barang temuan tersebut adalah harta yang remeh-temeh, sekiranya umumnya orang ketika kehilangan harta tersebut tidak akan mencarinya, seperti sesuap nasi, satu buah kurma dan sesamanya yang disesuaikan kebiasaan setiap tempat dan waktu, maka orang yang menemukan harta temuan sejenis ini dapat memilikinya tanpa perlu mengumumkan dan berupaya mencari tahu tentang barang temuan tersebut.


Ketentuan demikian berdasarkan hadits riwayat sahabat Anas RA, ia berkata: 'Nabi Muhammad SAW lewat di jalan sembari menemukan satu buah kurma, lalu beliau bersabda: 'Kalau saja aku tidak khawatir kurma itu adalah harta sedekah, tentu aku akan memakannya,' (HR Bukhari)


Jika barang temuan berupa harta yang bernilai, sekiranya umumnya orang ketika kehilangan harta tersebut akan mencarinya, maka wajib bagi orang yang menemukannya untuk mengumumkan barang temuan tersebut (ke khalayak umum)” (Musthafa Khin DKK, al-Fiqh al-Manhaji, Juz 7, Hal. 74)


Mengumumkan atas penemuan makanan yang bernilai dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti dengan memberi tahu orang yang berada di sekitar tempat ditemukannya makanan kalau ada makanan yang ditemukan olehnya, atau dengan menempelkan kertas yang berisi pemberitahuan atas ditemukannya makanan di tempat tersebut, serta cara-cara lain yang dipandang efektif dalam memberi tahu kepada khalayak umum tentang ditemukannya sebuah makanan di tempat tersebut. (Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri, Syarh al-Yaqut an-Nafis, Hal. 509, Cet. Darul Minhaj)


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makanan yang ditemukan di jalan raya atau di tempat fasilitas umum lainnya berstatus sebagai luqathah, sehingga hanya boleh dimakan atau diberikan kepada orang lain dengan syarat penemu makanan mengganti dengan uang seharga makanan tersebut ketika pemilik makanan telah ditemukan.


Sedangkan ketika ada indikasi pemilik makanan sudah tidak mencari dan tidak membutuhkannya lagi, karena makanan bersifat remeh temeh, maka penemu makanan dapat langsung memiliki makanan tersebut tanpa perlu mengumumkan pada khalayak umum tentang makanan yang ditemukannya itu.


Namun jika ternyata pemilik makanan menagihnya, meski makanan itu bersifat remeh temeh, maka wajib bagi penemu makanan untuk mengembalikannya atau mengganti dengan nominal harga makanan yang ditemukan olehnya.


Berbeda halnya ketika makanan ditemukan bukan di  fasilitas umum, tapi di tempat yang dimiki oleh seseorang seperti rumah, toko, halaman rumah, dan tempat khusus lainnya, maka dalam keadaan demikian makanan sudah bukan bagian dari luqathah, tapi makanan berstatus milik pemilik tempat ditemukannya makanan tersebut dan penemu makanan wajib mengembalikan atau memberi tahu kepada pemilik tempat tersebut. Wallahu a’lam.


Ustadz M Ali Zainal Abidin, pengajar pada Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember, Jawa Timur