Syariah

Bagaimana Cara Melontar Jamrah  yang Tertunda?

Kamis, 6 Juni 2024 | 19:00 WIB

Bagaimana Cara Melontar Jamrah  yang Tertunda?

Aktivitas lempar jamrah di area jamarat di Mina, Arab Saudi pada Rabu (28/6/2023). (Foto: NU Online/Mahbib)

Menurut mayoritas ulama, hukum melontar jamrah aqabah dan melontar jamarat pada hari-hari Tasyrik hukumnya adalah wajib. Artinya, jamaah haji yang meninggalkannya wajib membayar dam. Adapun waktu melontar jamrah aqabah, ulama berbeda pendapat. 

 

Menurut Madzhab Syafi'i dan Hanbali, waktu melontar jamrah aqabah dimulai sejak tengah malam hari nahr (10 Dzulhijjah). Namun, yang terbaik adalah setelah terbit matahari, karena Nabi Muhammad saw memerintahkan Ummu Salamah pada malam hari raya Qurban kemudian beliau melontar jamrah aqabah sebelum terbitnya fajar. 

 

Sedangkan menurut madzhab Maliki dan Hanafi, waktunya setelah terbit matahari hari raya Idul Adha. Hal ini berdasarkan hadits:

 

لا ترموا حتى تطلع الشمس

 

Artinya: "Janganlah kalian melontar Jamrah  sehingga matahari terbit."

 

Adapun waktu melontar jamarat pada tiga hari Tasyrik (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah), menurut kesepakatan ulama setiap harinya adalah setelah tergelincirnya matahari atau setelah dzuhur. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas:

 

رمى رسول الله صلّى الله عليه وسلم الجمار حين زالت الشمس

 

Artinya: "Rasulullah saw melontar Jamarat saat matahari telah tergelincir." 

 

Dengan demikian, tidak diperbolehkan melontar jamarat sebelum matahari tergelincir, dan waktu melontar jamarat terus berlangsung sampai matahari terbenam. 

 

Demikianlah waktu-waktu melontar jamarat yang telah ditentukan. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika seseorang tidak dapat melontar jamarat pada waktu-waktu yang telah ditentukan sebagaimana di atas?

 

Dalam madzhab Syafi'i, waktu melontar jamarat itu setiap harinya adalah dimulai sejak tergelincirnya matahari sampai tenggelamnya matahari. Namun ini tidak berakhir sampai selesainya hari Tasyrik. Artinya, jika seseorang tidak dapat melontar Jamrah pada hari pertama maka ia dapat melontar jamrah  di hari berikutnya dan seterusnya sampai berakhirnya hari tasyrik dan ini statusnya adalah ada'.

 

وقال الشافعية: وقت الرمي: من الزوال إلى الغروب، فلو ترك رمي يوم تداركه في باقي الأيام، وعلى هذا يبقى وقت الرمي في أيام التشريق إ لى الغروب من كل يوم، ولكن لو أخر رمي يوم ومنه رمي جمرة العقبة إلى ما بعده من أيام الرمي يقع أداء، فلا يخرج وقت الرمي بالغروب على المعتمد

 

Artinya: "Menurut pendapat mazhab Syafi'i, waktu melontar jamrah adalah sejak tergelincir matahari (zawal) hingga matahari terbenam (ghurub). Jika seseorang meninggalkan melontar jamrah  pada hari itu, maka ia bisa menggantinya di hari-hari berikutnya. Oleh karena itu, waktu melontar jamrah pada hari-hari tasyrik adalah sampai matahari terbenam pada setiap harinya. Namun, jika seseorang menunda lontaran pada satu hari, termasuk lontaran jamrah aqabah, hingga hari-hari berikutnya, maka tetap dianggap sebagai melontar Jamrah yang setatusnya ada'. Jadi, menurut pendapat mu'tamad dalam madzhab Syafi'i, waktu melontar tidak berakhir dengan terbenamnya matahari." (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adilatuh [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H] juz III, halaman 2256). 

 

Penjelasan Syekh Wahbah di atas terkonfirmasi dengan penjelasannya Imam an-Nawawi sebagai berikut:

 

ومتى فات الرمي ولم يتداركه حتى خرجت أيام التشريق وجب عليه جبره بالدم فان كان المتروك ثلاث حصيات أو أكثر أو جميع رمي أيام التشريق ويوم النحر لزمه دم واحد على الأصح

 

Artinya: "Jika seseorang terlewatkan melontar (tidak melontar) dan dia tidak menggantinya sampai berakhirnya hari Tasyrik maka wajib membayar Dam, jika meninggalkan tiga batu lontaran atau lebih atau meninggalkan melontar pada hari-hari Tasyrik dan hari nahr (jamrah aqabah) maka dia dikenakan wajib membayar satu Dam menurut qaul yang lebih shahih." (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Idhah fil Manasik al-Hajj wal Umrah [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, cetakan pertama: 1985], halaman 124).

 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa terlewatkan atau tidak melontar jamrah pada hari pertama (11 Dzulhijjah) atau hari kedua (12 Dzulhijjah) atau bahkan tidak melontar jamrah aqabah (10 Dzulhijjah) masih dapat dilaksanakan pada hari terakhir hari Tasyrik (13 Dzulhijjah) dan statusnya masih ada'. Adapun kewajiban membayar dam itu berlaku jika dia tidak menggantinya sampai berakhirnya hari tasyrik. 

 

Adapun praktiknya di jelaskan dalam buku Moderasi Manasik Haji dan Umrah halaman 169 sebagai berikut: "Jamaah haji yang mengalami udzur syar'i diperbolehkan mengakhirkan melontar jamarah dengan cara melontar Jamrah Sughra, Wustha dan Kubra secara sempurna sebagai qadha lontaran untuk hari pertama. Setelah itu jamaah berbalik lagi menuju posisi Jamrah Ula kemudian memulai lagi melontar tiga jamrah yang sama secara berturut-turut sebagai qadha hari kedua. Setelah itu, jamaah menuntaskan lontaran hari terakhir bagi yang nafar tsani." Wallahu a'lam.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo.