Syariah

Bagaimana Pandangan Islam terhadap Ilmu Weton?

Rab, 7 Februari 2024 | 06:00 WIB

Bagaimana Pandangan Islam terhadap Ilmu Weton?

Ilmu weton. (Foto ilustrasi: NU Online)

Masyarakat Jawa merupakan satu dari sekian kelompok masyarakat di Nusantara yang sangat memegang ajaran tradisi leluhur. Tradisi ini langgeng hingga saat ini dan tertanam kuat dalam benak mereka. Upaya ini berlangsung turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.


Salah satu tradisi yang dipegang kuat tersebut adalah berkenaan dengan pernikahan. Masyarakat Jawa memiliki konsep yang disebut dengan weton. Konsep ini pada intinya menjadi peneropong masa depan sebuah hubungan pernikahan berdasar dengan tanggal dan bulan dilahirkannya kedua calon mempelai.


Permasalahan sering muncul ketika pihak orang tua atau wali percaya dengan konsep weton dan menggagalkan rencana pernikahan putra atau putrinya dengan alasan ketidakcocokan hitungan weton. Mereka khawatir jika diteruskan akan berdampak tidak baik bagi hubungan pernikahannya.


Menilik masalah tersebut, lantas bagaimana sebenarnya Islam memandang masalah weton?


Pada dasarnya, weton atau neptu merupakan angka perhitungan pada hari, bulan dan tahun Jawa. Weton biasanya digunakan sebagai dasar semua perhitungan Jawa, misalnya: digunakan dalam perhitungan hari baik pernikahan, membangun rumah, pindah rumah (boyongan : Jawa), mencari hari baik pada awal kerja. 


Sebelum menghukumi weton, tentu yang perlu dicek adalah bagaimana asal muasal ilmu tersebut didapat. Dalam pencarian penulis, tidak ada rujukan otoritatif terkait awal mula ilmu ini dikonsepkan.


Karenanya ada dua rincian untuk menjawab kasus ini. Pertama, apabila ilmu weton ini dulunya dibuat atas dasar riset maka ilmu weton termasuk dalam ilmu yang mubah, sebagaimana disiplin ilmu lain yang berbasis riset, seperti ilmu astronomi, kedokteran, prakiraan cuaca dan sebagainya.


Kedua, apabila weton didasarkan atas pendapat seseorang, tanpa didasari riset maka boleh selama yang mengucapkan/membuat adalah orang saleh yang memiliki kecakapan dan kualitas diri yang dapat dikonfirmasi oleh syariat.


ﻭاﻟﺬﻱ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻣﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﻛﺮاﻣﺎﺕ اﻷﻭﻟﻴﺎء ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻠﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻠﻬﻢ اﻟﻠﻪ ﺑﻌﺾ ﺃﻭﻟﻴﺎﺋﻪ ﻭﻗﻮﻉ ﺑﻌﺾ اﻟﻮﻗﺎﺋﻊ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺘﻘﺒﻞ ﻓﻴﺨﺒﺮ ﺑﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺇﻃﻼﻉ اﻟﻠﻪ ﺇﻳﺎﻩ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ


Artinya: "Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini ketetapan adanya karamah bagi para kekasih Allah. Pandangan ini berbeda sama sekali dengan anggapan Muktazilah. Bagi para wali, maka ia mendapat ilham dari Allah untuk mengetahui suatu kejadian di masa depan. Ia diberikan kabar dan ini merupakan kehendak Allah atas dirinya." ('Alauddin Ali bin Muhammad Al-Baghdadi, Tafsir Khazin, Maktabah Syamilah, hal. 353 jil.4)


Pendapat mereka bisa dipakai sebab mendapat legitimasi untuk mengetahui perkara yang akan terjadi di masa depan (mughayyabat) oleh syariat. Sebagaimana termaktub dalam QS Al Jin 26-27.


عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًاۙ اِلَّا مَنِ ارْتَضٰى مِنْ رَّسُوْلٍ فَاِنَّهٗ يَسْلُكُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ رَصَدًاۙ


Artinya: "(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya."


Dua rincian jawaban di atas menghukumi weton fokus dari sisi "disiplin ilmunya" tidak bergantung atas niat maupun keyakinan tiap individu.


Nah, pada kasus yang beredar di masyarakat, weton tidak dapat dihukumi sendiri. Ada faktor lain seperti halnya keyakinan pengguna weton yang terlibat sehingga memberikan konsekuensi yang berbeda. 


Secara hukum asal, meyakini adanya pengaruh dari weton yang dapat berdampak pada ketidakharmonisan rumah tangga adalah haram sebab itu merusak akidah seorang Muslim. Ini artinya ia beranggapan bahwa ada entitas lain selain Allah yang dapat memberikan pengaruh.


Seperti halnya keterkaitan implikasi obat dan orang sakit yang mengonsumsinya. Apabila orang tersebut meyakini bahwa obatlah yang benar-benar memberi kesembuhan maka keyakinan seperti ini juga tidak dapat dibenarkan. 


Dalam konteks hukum kebiasaan, boleh jadi ramalan weton muncul dari kebiasaan yang berulang-ulang dan terbukti. Sehingga keterkaitan nasib pernikahan dengan bulan atau tahun kelahiran calon mempelai tampak begitu erat. 


Pada posisi ini, kita sah mempercayai ramalan weton sebagai suatu hal terulang, seperti mempercayai obat yang memberi implikasi kesembuhan bagi orang yang mengonsumsinya. Hanya saja, perlu diingat bahwa keterkaitan itu tidak bersifat mutlak. Singkat kata, ramalan weton dan pengaruh obat itu omong kosong belaka.   


Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Namun pendapat yang kuat adalah penjelasan Imam Syafi’i sebagaimana dinukil Ibnul Firkah berikut:


  أنه كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا والمؤثر هو الله تعالى فهذا عندي لا بأس به وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات


Artinya: “Apabila ahli nujum  berkata dan meyakini bahwasanya tidak ada yang dapat memberi pengaruh [baik-buruk] selain Allah, hanya saja Allah menjadikan kebiasaan bahwa terjadi hal tertentu di waktu tertentu sedangkan yang dapat memberi pengaruh hanyalah Allah semata, maka ini menurutku tak mengapa. Hal itu menjadi tercela apabila diyakini bahwa bintang-bintang itu atau makhluk lainnya bisa memberikan pengaruh [baik-buruk].” (Ibnu Ziyad, Ghayatut Talkhis Murad min Fatawa Ibn Ziyad, Maktabah Syamilah, halaman 206)


Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan sebab akibat antara weton dan nasib pernikahan dapat kita yakini dalam konteks hukum kebiasaan, yaitu sesuatu yang sah terjadi dan tidak terjadi.  


Apabila pengguna weton meyakini bahwa tidak ada yang dapat memberi pengaruh selain Allah, hanya saja Allah menjadikan kebiasaan bahwa terjadi hal tertentu di waktu tertentu sedangkan yang memberi pengaruh tetap pada Allah, maka mubah. Apabila itu berdasarkan kepastian weton maka haram. 


Seyogyanya sikap yang tepat ialah tetap berbaik sangka kepada Allah bahwa apapun wetonnya pasti itu adalah hari dan bulan yang baik. Posisi weton dan nasib pernikahan sama sekali tidak memiliki pertalian mutlak karena yang menentukan dan berpengaruh adalah Allah SWT. Wallahu a'lam


Ustadz Abdillah Amiril Adawi, Mahasantri PP Al Munawwir Krapyak Yogyakarta