Syariah

Bahkan Rasulullah Pun Pernah Bersedih

Senin, 20 November 2023 | 17:00 WIB

Bahkan Rasulullah Pun Pernah Bersedih

Bersedih. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Setiap orang yang hidup di dunia ini pernah ditimpa kesedihan. Faktanya, kesedihan adalah salah satu emosi dasar manusia. Kesedihan merupakan reaksi alami terhadap situasi yang tidak menyenangkan atau yang menyebabkan sakit. Kesedihan dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kehilangan orang yang dicintai, kegagalan, atau kekecewaan.


Kesedihan adalah emosi yang normal dan alami. Kesedihan dapat menjadi sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hidup seseorang. Rasa sedih dapat ditandai dengan berbagai gejala, seperti perasaan sedih, kecewa, putus asa, tidak bersemangat, dan mudah menangis.


Pada satu sisi, kesedihan yang berkepanjangan dapat berdampak negatif pada kehidupan seseorang, seperti menurunkan produktivitas, mengganggu hubungan sosial, dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental. Namun, pada sisi lain, kesedihan juga dapat memiliki dampak positif, seperti mendorong seseorang untuk belajar dari kesalahan (introspeksi), menjadi lebih dewasa, dan lebih menghargai hal-hal yang dimiliki.


Pendek kata, setiap orang pernah merasakan kesedihan. Kesedihan adalah emosi yang wajar dan manusiawi. Kesedihan dapat dirasakan oleh siapa saja, termasuk orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, seperti raja, ratu, pangeran, presiden, atau menteri. Bahkan, mereka mungkin lebih rentan mengalami kesedihan karena tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab yang tinggi.


Sebut saja, Raja Henry VIII dari Inggris pernah mengalami kesedihan yang mendalam setelah kematian istrinya, Catherine of Aragon. Kesedihan tersebut membuatnya jatuh sakit dan bahkan sempat meragukan imannya.


Begitu juga, Ratu Elizabeth II dari Inggris pernah mengalami kesedihan yang mendalam setelah kematian suaminya, Pangeran Philip. Kesedihan tersebut membuatnya membatasi aktivitasnya di depan umum selama beberapa bulan.


Presiden Amerika Serikat, Joe Biden pada 2015 silam mengalami kesedihan yang mendalam setelah kematian putranya, Beau BIden yang meninggal karena kanker otak pada usia 46 tahun. Kesedihan tersebut membuatnya sering terlihat murung dan tidak bersemangat.


Pada Maret 2020, ibunda Presiden Joko Widodo, Sujiatmi Notomiharjo, meninggal dunia dalam usia 77 tahun. Kematian ibundanya, membuat Jokowi tampak bersedih dan memohon masyarakat untuk mendoakan ibundanya. "Atas nama keluarga besar, saya ingin memohonkan doa agar segala dosa-dosanya diampuni Allah SWT dan husnulkhatimah," tulis Jokowi di akun Instagram-nya. 


Bahkan Rasulullah saw pun pernah bersedih, ketika istri dan pamannya meninggal dunia. Dalam kitab Ar-Rohiqu al Maktum, karya Shafiyurrahman al-Mubarakfury, halaman 127-128, bahwa tahun 619 M merupakan tahun yang berat bagi Rasulullah. 


Pada tahun tersebut, Nabi Muhammad kehilangan dua orang tercintanya sekaligus, yaitu istri tercintanya, Sayyidah Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib. Kematian kedua orang tersebut memberikan pukulan telak bagi Rasulullah saw. Dua peristiwa ini terjadi dalam jangka panjang waktu yang tidak terpaut lama, sehingga menorehkan duka dan lara di hati Rasulullah.  


Sayyidah Khadijah merupakan istri pertama Rasulullah. Beliau adalah orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah. Khadijah juga merupakan sosok yang sangat mendukung Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam. Kematian Khadijah merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Rasulullah.


Sedangkan Abu Thalib merupakan paman Rasulullah yang selalu melindungi beliau dari gangguan kaum kafir Quraisy. Abu Thalib juga merupakan sosok yang sangat menyayangi Rasulullah. Kematian Abu Thalib membuat Rasulullah kehilangan sosok yang selalu melindunginya.


Kesedihan Rasulullah atas kematian Khadijah dan Abu Thalib sangatlah mendalam. Di tambah lagi, ketika pelindung utama dakwahnya wafat, kafir Quraisy semakin berani dan brutal menyakiti dan mengganggu Rasulullah. 


Mendung kesedihan yang bertumpuk tersebut menjadikan Nabi Muhammad hampir putus asa. Sehingga Nabi pergi ke Thaif, dengan setitik harapan mereka berkenan menerima dakwah atau minimal mau melindungi dan mengulurkan pertolongan dalam menghadapi kaum beliau. Sebab tidak ada lagi, orang yang akan melindungi Nabi dalam berdakwah. Akan tetapi, di Thaif harapan pun jauh dari kenyataan. Masyarakat Thaif, justru menyakiti Nabi dengan brutal, yang tidak pernah beliau alami sebelum itu dari kaumnya.    


Tahun 619 M kemudian dikenal dengan sebutan “Amul Huzni”, yang artinya "Tahun Kesedihan". Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam. Lebih lanjut, kisah Rasulullah yang bersedih ketika istri dan pamannya meninggal dunia menunjukkan bahwa Rasulullah juga manusia biasa yang memiliki perasaan dan emosi seperti manusia lainnya.


Bersedih Boleh, Putus Asa Jangan

Sejatinya, kehidupan manusia tak lepas dari berbagai ujian dan cobaan. Setiap individu pasti pernah mengalami momen-momen sulit yang menguras emosi dan pikiran. Rasa sedih, kecewa, dan putus asa pun kerap menghampiri, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup.


Dalam ajaran Islam, sedih merupakan emosi yang wajar dan manusiawi. Nabi Muhammad sendiri pernah merasakan kesedihan, seperti ketika ditinggal wafat oleh para istri dan sahabat terdekatnya. Namun, Islam dengan tegas melarang umatnya untuk larut dalam kesedihan dan apalagi sampai berputus asa.


Putus asa atau dalam bahasa Al-Qur'an disebut dengan "ya'isa", merupakan sikap yang sangat dilarang bagi seorang Muslim. Pasalnya, putus asa menandakan hilangnya kepercayaan akan kekuasaan Allah swt, sekaligus membuka pintu bagi intervensi setan yang senantiasa mengincar kelemahan iman manusia.


يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ


Artinya; "Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (QS Yusuf: 87)


Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Quran Al-Adzim, Jilid IV, halaman 406 menjelaskan bahwa maksud ayat ini ditujukan kepada orang-orang mukmin yang sedang menghadapi kesulitan dan cobaan. Sejatinya, Allah memerintahkan mereka untuk tidak putus asa dari rahmat-Nya. Sebab, Allah selalu membuka pintu ampunan dan rahmat-Nya bagi para hamba yang bertobat dan berusaha.


Lebih lanjut, dalam ayat ini, Allah juga mengingatkan pada setiap Muslim bahwa orang-orang kafirlah yang akan putus asa dari rahmat Allah. Hal ini dikarenakan mereka telah menutup hati dan pikiran mereka dari hidayah Allah. Pun tidak mau beriman kepada Allah swt. 


Simak penjelasan Ibnu Katsir berikut; 


لَا يَقْطَعُوا رَجَاءَهُمْ وَأَمَلَهُمْ مِنَ اللَّهِ فِيمَا يَرُومُونَهُ وَيَقْصِدُونَهُ (٣) فَإِنَّهُ لَا يَقْطَعُ الرَّجَاءَ، وَيَقْطَعُ الْإِيَاسَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ


Artinya; “Janganlah mereka memutuskan harapan dan cita-cita mereka dari Allah dalam hal-hal yang mereka inginkan dan mereka maksudkan. Karena sesungguhnya hanya orang-orang kafirlah yang memutuskan harapan dan putus asa dari Allah,”.


Sementara itu dalam kitab Tafsir Al-Jami' li Ahkam Jilid IX, karya Imam Al-Qurthubi, halaman 252 mengingatkan orang beriman agar tidak berputus asa dari rahmat Allah. Rahmat Allah adalah kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Rahmat Allah itu tidak terbatas dan selalu ada, bahkan di saat-saat sulit.


أَيْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ فَرَجِ اللَّهِ، قَالَهُ ابْنُ زَيْدٍ، يُرِيدُ: أَنَّ الْمُؤْمِنَ يَرْجُو فَرَجَ اللَّهِ، وَالْكَافِرَ يَقْنَطُ فِي الشِّدَّةِ. وَقَالَ قَتَادَةُ وَالضَّحَّاكُ: مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ.


Artinya; “Maksudnya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. ungkapan ini diriwayatkan dari Ibnu Zaid, yang bermaksud bahwa seorang mukmin selalu berharap akan pertolongan Allah, sedangkan orang kafir putus asa dalam keadaan sulit. Qatadah dan Ad-Dhahhak berkata: "(Janganlah kalian berputus asa) dari rahmat Allah,”.


Oleh karena itu, penting untuk tidak membiarkan diri kita putus asa. Ketika kita menghadapi tantangan hidup yang berat, penting untuk tetap teguh dan terus berusaha. Ingatlah bahwa selalu ada harapan dan selalu ada jalan keluar dari setiap masalah.


Zainudiin Lubis, Pegiat kajian keislaman, tinggal di Ciputat