Sirah Nabawiyah

Syair-Syair Kesedihan saat Ayah Rasulullah Wafat

Jum, 13 Januari 2023 | 12:15 WIB

Syair-Syair Kesedihan saat Ayah Rasulullah Wafat

Ilustrasi: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (NU Online)

Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah Nabi Muhammad wafat di usia muda. Syekh Nawawi Banten dalam kitab Madarijus Su'ud menyebut ada sejumlah perbedaan pendapat soal usia wafatnya Abdullah. Ada yang mengatakan ia wafat pada usia 18 tahun, 25 tahun, 28 tahun, dan 30 tahun.

 

Para ulama juga berbeda pendapat soal usia Nabi Muhammad saw saat ditinggalkan wafat ayahnya. Ada yang mengatakan saat itu Nabi Muhammad masih dalam kandungan Sayyidah Aminah dengan usia kehamilan 6 bulan.

 

Ada juga pendapat Nabi Muhammad saw sudah lahir dan masuk ayunan dengan usia 2 bulan, 7 bulan, dan 28 bulan. Pendapat yang masyhur, saat Nabi Muhammad ditinggal wafat ayahnya adalah tengah berusia 2 bulan dalam kandungan ibundanya.

 

Syekh Nawawi mengisahkan, Abdullah mendapat tugas dari ayahnya Abdul Muthalib agar berangkat ke Madinah, pendapat lain ke Gaza, untuk belanja buah-buahan seperti kurma dan anggur yang akan disuguhkan dalam sebuah acara. Berangkatlah Abdullah bersama rombongan Quraisy yang akan berdagang.

 

Saat perjalanan pulang ke Makkah, kondisi kesehatan Abdullah menurun. Untuk memulihkan stamina, ia kemudian memutuskan singgah ke salah satu kerabatnya, Bani Addi dari suku Najjariyah, berharap kesehatannya bisa kembali normal. Sementara itu, kafilah yang satu rombongan dengan Abdullah tetap melanjutkan perjalanan pulang ke Makkah.

 

Rupanya Allah berkehendak lain, sebulan lamanya Abdullah dirawat Bani Addi tidak ada tanda-tanda akan datangnya kesembuhan, bahkan kesehatannya malah semakin memburuk.

 

Di tempat lain, Abdul Muthalib melihat kafilah yang sebelumnya Abdullah masuk di dalamnya ternyata sudah sampai Makkah. Ia mencari anak kesayangannya itu ternyata tidak ditemukan. Sesaat kemudian akhirnya diketahui bahwa Abdullah tidak ikut rombongan pulang karena jatuh sakit dan sedang dalam perawatan keluarga Bani Addi.

 

Mendengar kabar kurang menyenangkan ini, Abdul Muthalib langsung mengutus anak sulungnya bernama Harits untuk menjenguk Abdullah. Saat sampai di Madinah, betapa kaget dan sedihnya Harits ketika mendapati adiknya Abdullah telah wafat dan dimakamkan di Darut Tababa'ah, pendapat lain di Al-Abwa.

 

Harits tidak lama tinggal di Madinah karena ia harus segera pulang ke Makkah untuk menyampaikan kabar duka ini pada ayahnya, Abdul Muthalib. Saat sampai Makkah, betapa sedihnya Abdul Muthalib mendengar kepergian anaknya yang tercinta, air matanya pun mengalir dengan deras, kemudian mengucapkan syair:

 

أحبتي هان كلُّ شيئٍ في نظري * لمّا رحلتم ولم أقضِ بِكم وطري

غِبتم عن العينِ في قلبي لِبُعدكم * نارُ تلهّبِها يغشَى على البصري

لكنْ قضا اللهِ ربّي لا مردّ له  * ولا حذارَ لِما يجري على القدر

 

Artinya, “​​​​​Kekasihku, segala sesuatu telah hina dalam pandanganku, saat engkau menempuh perjalanan dan tidak memenuhi kebutuhanku.

Engkau telah hilang dari pandanganku, di hatiku terdapat api yang menyala dan menutupi pandanganku sebab engkau jauh.

Tetapi ketentuan Allah tidak bisa dihindari, tidak ada orang yang bisa berlari dari ketetapan-Nya.”


 

Hikmah Wafatnya Sayyid Abdullah

Di balik kesedihan wafatnya Abdullah, ada hikmah besar yang disiapkan Allah untuk Nabi Muhammad, yaitu kemandirian dan adanya ketergantungan kepada Allah, bukan pada manusia. Ulama hikmah mengungkapkan sebuah syair dengan bahar kamil:

 

أخذ الإله أبا الرسول و لم يزل‏ *  برسوله الفرد اليتيم رحيما

نفسي الفداء لمفرد في يتمه‏ * و الدّر أحسن ما يكون يتيما

 

Artinya, “​​​​​Allah telah mengambil ayah Rasulullah, dalam kesendiriannya yang menjadi yatim, Rasulullah selalu berada dalam kasih sayang-Nya.

Jiwaku menjadi tebusan untuk orang yang sendiri dalam ke-yatim-an, dan seindah-indahnya mutiara adalah menjadi yatim.” Wallahu A'lam. (Nawawi Al-Bantani, Madarijus Su'ud, [Semarang: Karya Thoha Putra], halaman 12).

 

Ustadz Muhammad Aiz Luthfi, Pengajar Ma'had Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah, Subang, Jawa Barat