Syariah

Belajar Jadi Ayah yang Baik dari Nabi Ibrahim

Ahad, 13 Agustus 2023 | 05:00 WIB

Belajar Jadi Ayah yang Baik dari Nabi Ibrahim

Belajar Jadi Ayah yang Baik dari Nabi Ibrahim. (Foto: NU Online/Freepik)

Menjadi seorang ayah yang baik adalah tanggung jawab besar yang mengharuskan seseorang untuk mengambil peran aktif dalam membimbing, mendidik, dan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Teladan terbaik untuk menjadi ayah yang baik dapat ditemukan dalam kisah hidup Nabi Ibrahim, seorang tokoh sentral dalam agama Islam yang menjadi teladan bagi kita dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk menjadi ayah yang baik.


Nabi Ibrahim adalah nabi dan rasul yang memiliki tempat istimewa dalam Islam. Kehidupan dan ajarannya menginspirasi jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Nabi Ibrahim diakui sebagai sosok mulia dalam agama Islam karena kesetiaan, keberanian, dan akhlaknya yang luhur. Mari kita menjelajahi lebih dalam tentang kehidupan dan ajaran Nabi Ibrahim yang begitu penting dalam Islam.


Dalam tulisan ini, kita akan mengulas bagaimana Nabi Ibrahim menjadi teladan dalam belajar menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya, Ismail dan Ishaq as.. Berkat didikan Nabi Ibrahim. kedua putranya ini, menjadi orang yang sukses di masa depan. Ismail menjadi orang yang hebat, dan dikenal hingga saat ini. Begitupun Nabi Ishaq, namanya masyhur hingga hari ini. Berikut ini pelajaran dari Nabi Ibrahim agar menjadi ayah yang baik.


Pertama, mengajarkan anak tentang keteladanan dalam iman dan ketaatan. Ciri utama Nabi Ibrahim adalah imannya yang teguh dalam menyembah Allah swt.. Ia merupakan seorang yang taat dan patuh terhadap perintah Allah meskipun menghadapi cobaan dan kesulitan yang besar. 


Sebagai ayah, beliau mengajarkan pentingnya mengajarkan iman kepada anak-anaknya. Nabi Ibrahim tak hanya mengajarkan iman secara lisan, tetapi juga dengan tindakan dan perilaku sehari-hari. Ini mengajarkan bahwa menjadi ayah yang baik melibatkan membangun fondasi iman yang kuat dalam keluarga.


Hal ini tergambar dalam Al-Qur’an Q.S  As-Saffat [37] ayat 102, yang menjelaskan tentang kesuksesan Nabi Ibrahim dalam mendidik anaknya, Ismail, untuk beriman dan patuh pada perintah Allah. Ismail menjadi anak yang shaleh dan patuh pada perintah orang tuanya, dan juga perintah Allah.  


فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ


Artinya: "Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”


Dalam ayat ini, kita dapat melihat kesediaan Nabi Ibrahim dan putranya untuk patuh kepada perintah Allah, walaupun perintah tersebut amat berat dan membutuhkan pengorbanan yang besar. Mereka menunjukkan kepatuhan tulus tanpa meragukan atau menunda-nunda perintah Allah. Hal ini mengajarkan kita untuk tunduk sepenuhnya kepada kehendak-Nya dan menjalankan apa yang Dia perintahkan kepada kita, sekalipun sulit atau tidak sepenuhnya kita memahaminya.


Kedua, kesabaran dan keteguhan hati. Salah satu pengalaman paling terkenal dalam kehidupan Nabi Ibrahim adalah ketika ia diminta oleh Allah untuk mengorbankan putranya, Nabi Ismail. Meskipun berat hati, Nabi Ibrahim menunjukkan kesabaran dan keteguhan hati yang luar biasa dalam menghadapi ujian ini. 


Sebagai ayah, kesabaran adalah kualitas penting dalam menghadapi tantangan dalam mendidik dan membimbing anak-anak. Keteguhan hati dalam mengajarkan nilai-nilai baik dan perilaku yang benar akan membentuk karakter anak-anak dengan baik. 


Pujian tentang kesabaran atas ujian Nabi Ibrahim, dijelaskan Allah dalam Q.S As-Saffat: 104-110;


وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ. سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ. كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ


Artinya: "Kami memanggil dia, “Wahai Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan, Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar, Kami mengabadikan untuknya (pujian) pada orang-orang yang datang kemudian. Salam sejahtera atas Ibrahim, Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan."


Ketiga, keterbukaan dalam komunikasi. Dalam kisah Nabi Ibrahim, tergambar bagaimana ia membangun hubungan yang kuat dengan putranya, Nabi Ismail, melalui komunikasi yang efektif. Ketika Nabi Ibrahim menerima wahyu dari Allah tentang rencana pengorbanan, ia berbicara terus terang kepada putranya. 


Hal ini menunjukkan pentingnya komunikasi terbuka dan kepercayaan antara seorang ayah dan anak. Sebagai ayah, penting untuk menciptakan lingkungan di mana anak-anak merasa nyaman untuk berbicara tentang perasaan, pikiran, dan masalah mereka. 


Sejatinya, komunikasi yang baik merupakan kunci utama dalam membentuk hubungan yang sehat dan harmonis, terutama dalam konteks hubungan antara orang tua dan anak.


Meskipun perintah ini sangat berat, Nabi Ibrahim tidak langsung menghadap Ismail dengan keras atau dengan memerintah. Sebaliknya, ia mengajak Ismail berbicara dengan lembut dan penuh pengertian. Ia menjelaskan situasi dengan jelas tanpa membuat Ismail merasa terancam.


Dalam percakapan mereka, Nabi Ibrahim tidak hanya menjelaskan apa yang akan terjadi, tetapi juga berbicara tentang mimpi yang ia alami. Hal ini membangun kepercayaan antara ayah dan anak, sehingga Ismail merasa nyaman berbicara tentang situasi yang sulit ini. Lihat jawaban Nabi Ismail atas komunikasi yang baik dari keduanya;


قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ


Artinya: "Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar."


Keempat, memuliakan manusia. Salah satu aspek paling mencolok dalam kehidupan Nabi Ibrahim adalah ajarannya tentang memuliakan manusia tanpa memandang perbedaan-perbedaan dunia. Ini tercermin dalam kisahnya tentang membangun fondasi Ka'bah di Makkah. Menurut tradisi Islam, Ibrahim dan putranya, Isma'il, dibimbing oleh Allah untuk membangun tempat suci itu sebagai rumah bagi penyembahan yang universal. Ini adalah tindakan yang mewakili bahwa setiap orang, tanpa memandang latar belakang, bisa datang dan beribadah.


Ajaran Nabi Ibrahim memiliki relevansi yang mendalam dalam dunia yang semakin terglobalisasi ini. Perbedaan ras, suku, agama, dan latar belakang seringkali menjadi sumber konflik dan ketidakadilan. Namun, ajaran Ibrahim mengingatkan kita bahwa nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan penghargaan terhadap sesama manusia haruslah menjadi pijakan dalam berinteraksi.


Profesor M. Quraish Shihab dan Najwa Shihab, dalam buku Shihab dan Shihab; Bincang-Bincang Seputar Tema Populer Terkait Ajaran Agama, [Ciputat, Penerbit Lentera Hati, 2019] halaman, 74-76 menyatakan bahwa sebagai seorang ayah, dan seorang Nabi, ajaran yang dibawa Nabi Ibrahim erat kaitannya dengan memanusiakan manusia.  Dalam peristiwa kurban, misalnya, dengan digantinya dengan seekor domba, peristiwa ini juga mengajarkan manusia betapa nyawa manusia sangat mahal harganya. 


Dulu sebelum Nabi Ibrahim atau di masanya, yang dikorbankan itu manusia. Anak gadis sering kali dijadikan sebagai sesajen untuk persembahan. Ketika Allah menukar Ismail dengan domba, itu menunjukkan betapa mahalnya nyawa manusia. Allah membatalkan pengorbanan manusia dengan seekor binatang, demi menghormati manusia, demi kecintaan Tuhan pada manusia. 


Sejatinya, kisah Nabi Ibrahim memberikan banyak pelajaran berharga bagi para ayah yang ingin menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka. Iman yang teguh, kesabaran, komunikasi terbuka, mengajarkan ketaatan kepada Allah, dan membangun koneksi emosional adalah aspek-aspek penting dalam menjadi ayah yang baik. Dengan mengambil contoh dari Nabi Ibrahim, para ayah dapat membimbing dan mendidik anak-anak mereka dengan cinta, kebijaksanaan, dan tanggung jawab yang mendalam.


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat