Syariah

Benarkah Puasa Rajab Tidak ada Dalilnya?

Kamis, 16 Januari 2025 | 06:00 WIB

Benarkah Puasa Rajab Tidak ada Dalilnya?

Ilustrasi hidangan buka puasa. Sumber: Canva/NU Online

Silang pendapat mengenai disyariatkannya puasa pada bulan Rajab seakan tidak pernah usai di kalangan umat Islam, terlebih di era teknologi dan informasi seperti saat ini. Pernyataan para tokoh agama yang membahas puasa Rajab mudah sekali menjadi viral, baik yang mendukung adanya kesunnahan puasa Rajab maupun yang tidak.


Sayangnya, sebagian pihak yang berpendapat bahwa puasa Rajab tidak disyariatkan sering kali terburu-buru menyatakan bahwa tidak ada dalil yang mendukungnya. Mereka menganggapnya sebagai perkara baru dalam agama.

 

Keutamaan berpuasa pada bulan Rajab pun tidak luput dari komentar miring mereka. Bahkan, yang lebih mengejutkan adalah vonis mereka yang menyatakan bahwa orang yang melakukan puasa sunnah di bulan Rajab termasuk pelaku bid'ah yang sesat.


Faktanya, Allah SWT telah menetapkan dua belas bulan dalam satu tahun sejak penciptaan langit dan bumi. Empat di antaranya disebut sebagai bulan haram, dan salah satunya adalah bulan Rajab. Hal ini disebutkan dalam Surat At-Taubah ayat 36. Allah SWT berfirman:


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌۚ 


Artinya, "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram." (QS. At-Taubah: 36)


Muhammad bin Jarir At-Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan empat bulan haram adalah empat bulan yang dihormati dan dimuliakan sejak zaman jahiliyah. Salah satu cara memuliakannya pada masa itu adalah dengan mengharamkan peperangan.

 

Bahkan, jika seseorang bertemu dengan pembunuh ayahnya pada bulan-bulan tersebut, ia tidak akan menyerangnya. Empat bulan yang dimaksud adalah Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram (Abu Ja'far Muhammad Bin Jarir At-Thabari, Jami'ul Bayan 'an Ta'wil Ayil Qur'an, [Turki: Dar Hijr Publishing, 2011], Jilid XI, hal. 440).


Pada masa Islam, keutamaan empat bulan haram ini tetap dilestarikan dengan cara melaksanakan berbagai amal saleh. Salah satu amal shalih yang dianjurkan adalah berpuasa. Nabi Muhammad SAW sendiri diketahui pernah melaksanakan puasa pada bulan-bulan haram tersebut.


Utsman bin Hakim Al-Anshari pernah bertanya kepada Said bin Jubair tentang puasa di bulan Rajab. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan bulan Rajab. Berikut adalah kisah yang diceritakannya:


سَأَلْتُ سَعِيْدَ ابْنَ جُبَيْرٍ، عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ؟ وَنَحْن يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ، فَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُول: كَانَ رَسُوْلُ اللّهِ يَصُومُ حَتْى نَقُولَ: لا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتِّى نَقُولَ: لا يَصُومُ


Artinya, “Saya bertanya kepada Said bin Jubair tentang puasa Rajab. Dan kita pada saat itu sedang berada di bulan Rajab. Said bin Jubair kemudian berkata, ‘Saya mendengar Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW berpuasa hingga kita mengira beliau tidak berbuka. Dan beliau berbuka hingga kita mengira beliau tidak berpuasa”’.”


Dalam menjelaskan hadits ini, An-Nawawi memberikan penjelasan bahwa secara zahir, maksud dari pernyataan Said bin Jubair adalah tidak adanya larangan maupun anjuran khusus dalam melaksanakan puasa pada bulan Rajab, sebagaimana berpuasa pada bulan-bulan lainnya. Namun, hukum berpuasa selain di bulan Ramadhan dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu sunnah. 


Penjelasan ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Daud yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram, di mana Rajab termasuk salah satunya (Abu Zakariya Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim Bin Hajjaj, [Oman: Baitul Afkar Ad-Dauliyah, 2000], hal. 715-716).


Sebagai salah satu motivasi agar umat Islam berkenan menjalankan puasa di bulan Rajab, para ulama menghadirkan hadits Nabi tentang keuntungan yang akan diperoleh di akhirat kelak. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dari Musa bin Imran, sebagaimana dikutip oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman berikut:


سَمِعْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ نَهْراً يُقَالُ لَهُ رَجَبُ أَشَدُّ بَيَاضاً مِنَ اللَّبَنِ وَأَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبَ يَوْماً سَقَاهُ اللهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ

 

Artinya, “Saya mendengar Anas bin Malik berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga ada sungai yang disebut Rajab. Lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Barang siapa berpuasa sehari dari bulan Rajab, maka Allah SWT akan memberinya minum dari sungai tersebut”.’"


Pada hadits berikutnya, Al-Baihaqi juga menghadirkan hadits mauquf riwayat dari Amir bin Syibl berkata:


سَمِعْتُ أَبَا قِلَابَةَ يَقُوْلُ فِي الْجَنَّةِ قَصْرٌ لِصُوَّامِ رَجَبَ


Artinya: "Saya mendengar Abu Qilabah berkata: Di dalam surga ada istana yang disiapkan bagi orang yang sering berpuasa Rajab."

 

Hal yang menarik adalah komentar Imam Ahmad dalam mensikapi hadits mauquf. Menurutnya, meskipun Abu Qilabah dan orang-orang seperti dia adalah seorang tabi'in, ia tidak akan mengatakan hal ini kecuali mendengarnya dari generasi sebelumnya, yaitu para sahabat.

 

Demikian pula, para sahabat tidak akan mengatakan hal serupa jika tidak mendengarnya dari orang yang menerima wahyu, yakni Nabi Muhammad SAW (Ahmad Bin Al-Husain Al-Baihaqi, Syu'abul Iman, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2000], Jilid III, hal. 368).


Menurut sebagian umat Islam, dua hadits di atas dianggap tidak layak dijadikan dasar untuk menjalankan puasa Rajab karena dinilai lemah dan tidak memiliki sanad yang bersambung langsung kepada Nabi Muhammad SAW.

 

Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa hadits tersebut dapat diterima dalam konteks fadhailul a'mal (keutamaan amal). Oleh karena itu, mengamalkannya tidak memerlukan dalil yang sepenuhnya sahih. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Haitami dalam Fatawa-nya berikut:


وَقَدْ تَقَرَّرَ اَنَّ الْحَدِيْثَ الضَّعِيْفَ وَالْمُرْسَلَ وَالْمُنْقَطِعَ وَالْمُعْضَلَ وَالْمَوْقُوْفَ يُعْمَلُ بِهَا فِى فَضَائِلِ اْلاَعْمَالِ اِجْمَاعًا وَلَاشَكَّ اَنَّ صَوْمَ رَجَبَ مِنْ فَضَائِلِ الْاَعْمَالِ فَيَكْتَفِى فِيْهِ بِالْاَحَادِيْثِ الضَّعِيْفَةِ وَنَحْوِهَا وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ اِلَّاجَاهِلٌ مَغْرُوْرٌ

 

Artinya, “Dan benar-benar telah menjadi ketetapan dan kesepakatan bahwa sesungguhnya hadits dhaif (hadits pada level di bawah kategori hasan dan shahih), mursal (hadits yang rangkaian perawinya tidak diketahui pada generasi setelah tabiin), munqathi' (hadits yang rangkaian periwayatnya terdapat generasi yang hilang secara acak), mu'dhal (hadits yang tidak diketahui dua rangkaian periwayatannya), dan mauquf (hadits yang rangkaian periwayatannya hanya sampai sahabat di luar kategori mursal dan mu’dhal) dapat diamalkan dalam konteks fadhailul a'mal. Dan tidak ada keraguan bahwa sesungguhnya puasa Rajab merupakan bagian dari fadhailul a'mal. Sehingga cukuplah kiranya hadits-hadits dhaif dan semisalnya sebagai dasar puasa Rajab. Hanya orang bodoh dan tertipu yang mengingkarinya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawal Kubra Al-Fiqhiyah, [Mesir: Percetakan Abdul Hamid Ahmad Hanafi, 1358 H], hal. 54-55).


Intinya, dalil tentang kesunnahan puasa Rajab adalah valid dan bukan sesuatu yang baru atau mengada-ada. Adapun yang sering menjadi kontroversi adalah terkait keutamaan-keutamaannya.

 

Meski demikian, semuanya tetap dikembalikan kepada keyakinan masing-masing individu muslim, baik yang memilih untuk menjalankannya maupun meninggalkannya. Wallahu a'lam.

 


Muhammad Tantowi, Koordinator Ma'had MTsN 1 Jember