Syariah

Habib Ali Al-Jufri: Tajdid atau Kontekstualisasi Islam adalah Ken​​​​​​​iscayaan

Sel, 23 Agustus 2022 | 22:15 WIB

Habib Ali Al-Jufri: Tajdid atau Kontekstualisasi Islam adalah Ken​​​​​​​iscayaan

Kontekstualisasi Islam ala Habib Ali Al-Jufri.

Selasa, 23 Agustus 2022 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar kuliah umum oleh Habib Ali al-Jufri. Tema yang diangkat adalah Kajian Keislaman antara Konservatif dan Inovatif. Al-Dirasat al-Islamiyah baina al-Ta`shil wa al-Tajdid. Pembahasan dalam tema ini sangat mendalam, sehingga Habib Ali menegaskan bahwa topiknya ini untuk kalangan akademisi, bukan kalangan umum. 


Habib Ali memulai pembahasan dengan pentingnya membatasi mushthalahat atau istilah-istilah yang digunakan selama ini. Misalnya istilah tajdid haruslah jelas dalam term apa. Apabila berbicara secara umum tentang tajdid atau pembaharuan, maka secara fardhu kifayah orang-orang Islam diharuskan untuk melakukan pembaharuan. Misalnya pembaharuan dalam fatwa, sebab dari masa ke masa ‘sebab’ atau pokok masalah yang menyebabkan adanya suatu hukum akan terus berubah-ubah, sehingga muncullah istilah fiqh al-nawazil. Apabila tidak ada tajdid di dunia ini, maka kita semua berdosa. Tajdid dalam hal ini identik dengan kontekstualisasi Islam di era sekarang.


Al-Jufri juga menyoal tentang kebenaran, apakah ia relatif atau mutlak. Dalam hal ini ia mencontohkan kasus dalam hadis shalat Asar di Bani Quaizhah:



لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيظَةَ

Artinya, “Janganlah salah seorang pun shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR al-Bukhari).


Akhirnya para sahabat pun melaksanakan shalat Asar di lokasi yang Rasulullah Saw tegaskan namun waktunya telat. Kendati Rasulullah Saw sudah menegaskan demikian, ternyata sebagian sahabat ada yang melaksanakan shalat Asar di tempat lain, namun di waktu yang tepat. Para ulama, kata Habib Ali, menyimpulkan bahwa orang yang salah maupun benar dalam ijtihad akan mendapatkan dua pahala.


Namun apabila melihat lebih luas, ada satu pelajaran penting yaitu, “Kebenaran memang satu, namun jalan menuju kebenaran itu beragam”, “al-haqqu wahid wa al-thariq muta’addid”. Kendati berucap demikian, Habib Ali tidak setuju terhadap pemikiran yang meyakini bahwa segala sesuatu itu relatif. 


Pembaharuan dalam Islam menurut Habib Ali haruslah berpegang pada asas Islam itu sendiri. Kita dapat melihat sendiri bagaimana efek dari modernisme yang selanjutnya disusul dengan post-modern yang menghasilkan masyarakat yang individual liberalis, berpikir bebas sehingga menimbulkan masalah-masalah yang kita hadapi saat ini. Islam mendukung pembaharuan, akan tetapi harus berpegang pada asas keislaman yang kuat, tentunya dengan pemahaman yang komprehensif. 


Dalam diskusi yang sangat menarik dan dihadiri oleh para mahasiswa dan akademisi, Habib Ali berharap dengan adanya generasi akademisi muslim yang menguasai keilmuan Islam, mengaji kepada para ulama, dan memahami maqashid syariah, dapat memproduksi hukum furu’ dari hukum yang ashl, namun ia juga dapat menuangkan dan mengaplikasikannya di tengah masyarakat umum.

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah dan Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta