Syariah

Hukum Berhubungan Suami Istri saat Haid dan Konsekuensinya

Rab, 20 Maret 2024 | 11:00 WIB

Hukum Berhubungan Suami Istri saat Haid dan Konsekuensinya

Ilustrasi hukum berhubungan suami istri saat haid. (via khnsaa.ps).

Haid menjadi fitrah bagi setiap perempuan. Untuk Muslimah, haid adalah siklus bulanan yang memberikan bermacam konsekuensi. Salah satunya adalah perihal haramnya hukum berhubungan suami istri saat haid. Keharamannya tercatat dalam Al-Qur’an:
 

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ  قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ  وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ  فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
 

Artinya, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah kotoran. Sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS Al-Baqarah: 222).
 

Dalam kitabAl-Ibanah wal Ifadah maksud ayat dijelaskan:

ثُمَّ بَيَّنَ جَلَّ جَلاَلُهُ فِي الْأيَةِ الْكَرِيْمَةِ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ أَنْ يَأْتِيَ الزًّوْجُ زَوْجَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ. فَإِذَ انْقَطَعَ دَمُّ الْحَيْضِ وَاغْتَسَلَتْ جَازَ لَهُ أَنْ يَقْرَبَهَا مِنَ الْمَكَانِ الَّذِيْ أَمَرَهُ اللهُ تَعَالَى أَنْ يَأْتِيَهَا مِنْهُ
 

Artinya, “Kemudian Allah menjelaskan dalam ayat yang mulia ini bahwa suami tidak boleh menggauli istrinya dalam keadaan haid. Jika darah haidnya sudah terputus (suci) dan ia telah mandi maka boleh bagi suami untuk menggauli istrinya dengan cara yang Allah perintahkan” (Abdurrahman bin Abdullah As-Saqqaf, Al-Ibanah wal Ifadah, [Surabaya, Al-Haramain: 2019], halaman 15).
 

Menurut ayat ini ada dua syarat bolehnya berhubungan suami istri pasca haid, yaitu haidnya sudah putus (suci) dan sudah mandi wajib.
 

Orang yang melakukan hubungan suami istri ketika haid memiliki dua kemungkinan:

  1. Karena kesengajaan, tidak terpaksa, mengetahui tentang keharamannya. 
  2. Karena tidak sengaja, dipaksa, mengetahui keharamannya.


Orang yang melakukannya dengan sengaja mendapatkan dosa besar dan wajib baginya untuk bertobat. Jika ia tidak sengaja maka tidak ada dosa baginya.
 

Al-Khatib As-Syirbini menjelaskan dalam kitab Mughnil Muhtaj:
 

وَوَطْءُ الْحَائِضِ فِي الْفَرْجِ كَبِيرَةٌ مِنْ الْعَامِدِ الْعَالِمِ بِالتَّحْرِيمِ الْمُخْتَارِ، يُكَفِّرُ مُسْتَحِلُّهُ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ عَنْ الْأَصْحَابِ وَغَيْرِهِمْ، بِخِلَافِ الْجَاهِلِ وَالنَّاسِي وَالْمُكْرَهِ لِخَبَرِ «إنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اُسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ»  وَهُوَ حَسَنٌ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ
 

Artinya, “Menggauli istri yang sedang haid di kemaluannya adalah dosa besar bagi suami yang sengaja, mengetahui keharamannya, dan tidak terpaksa. Orang yang menghalalkan perbuatan ini dianggap kafir seperti disebutkan di dalam kitab Al-Majmu’ dari Ashabus Syafi’i dan selainnya.
 

Berbeda dengan orang yang tidak tahu keharamannya, orang lupa, dan terpaksa (maka dimaafkan), karena hadits Nabi: “Sungguh Allah memaafkan dari umatku yang tersalah, lupa, dan yang terpaksa. Ini hadits hasan yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan selainnya).” (Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut: Darul Ma’rifah], jilid I, halaman 173).
 

Berhubungan Suami Istri saat Haid, Apa yang Perlu Dilakukan?

Orang yang melakukan hubungan suami istri ketika haid diwajibkan bertobat dengan banyak beristighfar. Selain itu disunahkan bagi suami untuk membayar tebusan atau kafarat atas perbuatannya. 


Tebusannya adalah mengeluarkan satu dinar emas murni atau setara 4,25 gram emas 24 karat. Kafarat ini diserahkan kepada fakir miskin. Satu dinar dibayarkan jika ia melakukan hubungan suami istri di awal haidnya. Akan tetapi, jika dilakukan di akhir haidnya maka disunahkan mengeluarkan setengah dinar.
 

Sayyid Al-Bakri dalam I’anatut Thalibin menjelaskan:
 

ويسن لمن وطئ في أول الدم وقوته التصدق بدينار، وفي آخر الدم وضعفه التصدق بنصفه
 

Artinya, ”Disunahkan bagi orang yang menggauli istrinya yang haid ketika awal keluar darah dan ketika kuatnya darah untuk bersedekah satu dinar, dan bagi yang menggauli istri di akhir keluarnya darah dan ketika lemahnya darah untuk bersedekah setengah dinar.” (Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2007], jilid I, halaman 125).


Kesimpulannya, berhubungan suami istri ketika haid diharamkan dan termasuk dosa besar bila sengaja, mengetahui keharamannya, dan tidak dalam kondisi dipaksa.


Jika darah haid berhenti atau sudah suci dan sudah mandi wajib, suami diperbolehkan menggauli istrinya.
 

Jika seseorang melakukan hubungan suami istri ketika awal haidnya maka disunahkan bagi suami untuk membayar tebusan sebesar 1 dinar (4,25 gram emas 24 karat) atau yang seharga dengannya. Adapun jika ia melakukannya di penghujung haid maka disunahkan membayar tebusan sebesar setengah dinar. Kafarat ini diberikan kepada fakir miskin. Wallahu a’lam.
 

Ustadz Abdul Kadir Jailani, Pengajar di Pondok Pesantren Darussalam Bermi dan Guru SMAN 1 Gerung Lombok Barat