Syariah HAJI 2024

Hukum Haji Mereka yang Tidak Istitha’ah

Sab, 13 April 2024 | 14:21 WIB

Hukum Haji Mereka yang Tidak Istitha’ah

Ilustrasi jamaah haji 2023. (Foto: MCH Kemenag)

Istithaah atau kemampuan merupakan syarat utama kewajiban ibadah hi bagi seseorang. Istithaah atau kemampuan ini menjadi pertimbangan wajib atau tidaknya seseorang melaksanakan haji.


Istithaah atau kemampuan memiliki hikmah syariat yang luar biasa. Di balik syarat istithaah, agama Islam tidak memaksakan umatnya untuk melaksanakan ibadah haji yang memerlukan kesiapan fisik dan kemampuan finansial.


Istithaah atau kemampuan ini disebut secara eksplisit pada Surat Ali Imran ayat 97:


وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًاۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ


Artinya, “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (Surat Ali Imran ayat 97).


Ulama tafsir dan ulama fiqih bersepakat bahwa istithaah atau kemampuan merupakan syarat kewajiban haji bagi seseorang. Secara umum, istithaah atau kemampuan itu terdiri atas dua jenis, yaitu kesiapan fisik dan kemampuan secara finansial.


Kesiapan fisik diperlukan untuk menempuh perjalanan dari kampung halaman menuju Tanah Suci; dan melaksanakan rangkaian manasik mulai wukuf di Arafah, tawaf di Masjidil Haram, sai di Shafa dan Marwah, mabit Muzdalifah, dan lontar jumrah di Mina.


Adapun kemampuan finansial berkaitan dengan biaya perjalanan pergi-pulang, biaya hidup yang terdiri atas konsumsi dan penginapan selama perjalanan dan pelaksanaan manasik haji, dan juga biaya hidup layak keluarga yang ditinggalkan bagi tulang punggung keluarga.


والاستطاعة نوعان: بدنية صحية، ومالية، فلا يجب إلا على من تمكن من الركوب، وأمن الطريق، وقدر على السفر


Artinya, “Istithaah terdiri atas dua jenis: kesehatan fisik dan kemampuan finansial sehingga ibadah haji tidak wajib kecuali bagi orang yang siap berkendara, keamanan perjalanan, dan kuat menempuh perjalanan,” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsir Al-Wasith [Beirut, Darul Fikr, 1442 H]).


Bahkan, kondisi jalan yang aman juga menjadi pertimbangan kewajiban ibadah haji. Artinya, selain faktor internal pribadi jamaah yaitu kesiapan fisik dan kemampuan finansial, faktor eksternal juga menentukan, yaitu ketersediaan layanan transportasi dan kondusivitas perjalanan dari gangguan keamanan.


Di Indonesia istithaah kesehatan bagi calon jamaah haji Indonesia menjadi syarat pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 1445 H/2024 M. Syarat istithaah kesehatan ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Nomor 83 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembayaran Pelunasan Bipih Reguler Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi.


Adapun mereka yang tidak istithaah atau kemampuan baik secara finansial maupun secara kesehatan tidak memenuhi syarat wajib haji. Artinya, mereka yang tidak istithaah tidak terkena kewajiban haji. Tetapi kalau mereka juga melaksanakannya melalui jalan yang tidak terduga, maka ibadah hajinya tetap sah.


فمن لم يكن مستطيعا لم يجب عليه الحج لكن إذا فعله أجزأه


Artinya, “Adapun orang yang tidak istitha’ah, maka haji tidak wajib baginya. Tetapi jika ia kemudian juga dapat melaksanakannya, niscaya pelaksanaan hajinya memadai,” (Syekh Abdulllah bin Hijazi As-Sarqawi,Hasyiyatus Syarqawi ala Tuhfatit Thullab, [Beirut, Darul Fikr: 2006 M/1425-1426 H], juz I, halaman 444).


Demikian keterangan singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga keterangan ini dapat dipahami dengan baik.


Alhafiz Kurniawan, Redaktur Keislaman NU Online