Syariah

Hukum Menambah Mahar Setelah Akad Nikah

NU Online  ·  Ahad, 3 November 2024 | 20:00 WIB

Hukum Menambah Mahar Setelah Akad Nikah

Hukum menambah mahar nikah (freepik).

Dalam hukum Islam, mahar adalah hak penuh seorang istri yang harus diberikan oleh suami sebagai bentuk penghormatan dan tanda kesepakatan dalam akad nikah. Mahar ini menjadi menjadi salah satu unsur yang sakral dalam prosesi akad nikah.
 

Namun muncul pertanyaan, bagaimana jika seorang suami berniat menambah jumlah mahar setelah akad pernikahan selesai? Apakah tambahan ini secara otomatis dianggap bagian dari mahar atau sekadar hadiah terpisah?
 

Perbedaan pandangan mengenai tambahan mahar setelah akad menjadi diskursus menarik di kalangan ulama fiqih. Secara umum, ada dua pandangan utama: pertama, menyatakan bahwa tambahan setelah akad menjadi bagian dari mahar; dan kedua, menganggapnya sebagai hibah atau hadiah.
 

Imam As-Syafi'i memiliki pandangan bahwa tambahan mahar setelah akad tidak menjadi bagian dari mahar, melainkan sebagai hibah atau pemberian yang terpisah. Dalam hal ini, jika terjadi perceraian, tambahan tersebut tetap menjadi hak penuh istri. Penjelasan beliau, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Mawardi adalah sebagai berikut:
 

قال الشافعي :وَإِذَا شَاهَدَ الزَّوْجُ الْوَلِيَّ وَالْمَرْأَةَ أَنَّ الْمَهْرَ كَذَا وَيُعْلِنُ أَكْثَرَ مِنْهُ، فَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ، فَقَالَ فِي مَوْضِعٍ: السِّرُّ، وَقَالَ فِي غَيْرِهِ: الْعَلَانِيَةُ
 

Artinya, "Jika seorang suami menyaksikan wali dan calon istri menetapkan mahar dengan jumlah tertentu, lalu diumumkan jumlah yang lebih besar, Imam As-Syafi'i memiliki dua pendapat. Di satu tempat beliau berkata: 'Yang berlaku adalah jumlah mahar yang ditetapkan secara rahasia (sirri'); sedangkan di tempat lain beliau berkata: 'Yang berlaku adalah jumlah yang diumumkan (alaniah)."
 

Pernyataan Imam As-Syafi'i tersebut kemudian dijelaskan konteksnya oleh Imam Al-Mawardi:
 

فَالْمَوْضِعُ الَّذِي جَعَلَ الصَّدَاقَ فِيهِ صَدَاقَ السِّرِّ دُونَ الْعَلَانِيَةِ، إِذَا عَقَدَاهُ سِرًّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ، ثُمَّ أَعْلَنَاهُ تَجَمُّلًا بِالزِّيَادَةِ وَإِشَاعَةً لِلْعَقْدِ، لِأَنَّ النِّكَاحَ هُوَ الْأَوَّلُ الْمَعْقُودُ سِرًّا، وَالثَّانِي لَا حُكْمَ لَهُ وَالْمَوْضِعُ الَّذِي جَعَلَ الصَّدَاقَ فِيهِ الْعَلَانِيَةَ، إِذَا تَوَاعَدَا سِرًّا وَأَتَمَّاهُ سِرًّا بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ، ثُمَّ عَقَدَاهُ عَلَانِيَةً بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ، لِأَنَّ الْأَوَّلَ مَوْعِدٌ، وَالثَّانِي هُوَ الْعَقْدُ، فَلَزِمَ مَا تَضَمَّنَهُ الْعَقْدُ دُونَ الْوَعْدِ 
 

Artinya, "Konteks pendapat Imam As-Syafi'i yang mengatakan bahwa mahar yang berlaku adalah mahar sirri (rahasia) dan bukan yang diumumkan adalah ketika akad dilaksanakan secara rahasia dengan wali dan dua saksi, kemudian diumumkan dengan tambahan jumlah sebagai bentuk kehormatan dan penyebaran berita akad. Nikah yang sah adalah yang pertama, yang dilakukan secara rahasia, sedangkan yang kedua tidak memiliki dampak hukum.
 

Sementara konteks pendapat Imam As-Syafi'i menyatakan bahwa yang dianggap adalah mahar 'alaniah (yang diumumkan) adalah ketika pasangan berjanji secara rahasia untuk menentukan mahar, lalu akadnya dilakukan secara sah dengan wali dan dua saksi, sehingga yang pertama hanya dianggap janji, dan yang kedua adalah akad yang sah. Karena itu, yang berlaku adalah isi akad yang sah, bukan janji sebelumnya." (Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1999 M], jilid IX, halaman 465).
 

Sementara di kalangan ulama Hanabilah, Ibnu Qudamah mencatat pendapat Imam Ahmad mengenai tambahan mahar setelah akad:
 

الزِّيَادَةُ فِي الصَّدَاقِ بَعْدَ الْعَقْدِ تَلْحَقُ بِهِ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ، قَالَ، فِي الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ عَلَى مَهْرٍ، فَلَمَّا رَآهَا زَادَهَا فِي مَهْرِهَا: فَهُوَ جَائِزٌ، فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَلَهَا نِصْفُ الصَّدَاقِ الْأَوَّلِ، وَاَلَّذِي زَادَهَا.
 

Artinya: “Tambahan pada mahar setelah akad menjadi bagian darinya. Imam Ahmad berpendapat demikian, yaitu jika seorang pria menikahi wanita dengan mahar tertentu, lalu setelah melihatnya ia menambah maharnya, maka hal itu diperbolehkan. Jika ia menceraikannya sebelum berhubungan, maka wanita tersebut berhak atas separuh dari mahar pertama dan tambahan yang diberikan.” (Al-Mughni, juz X, halaman 178).
 

Pendapat ini memberikan pemahaman bahwa tambahan mahar setelah akad sah menjadi bagian dari mahar, bukan sekadar hadiah.
 

Pendapat ini selaras dengan mazhab Hanafi yang menyatakan:
 

إِذَا زَادَ الزَّوْجُ الرَّشِيْدُ أَوْ وَلِيُّ الصَّغِيْرِ (الْأَبُ أَوْ الْجَدُّ) عَلَى الْمَهْرِ الْمُسَمَّى شَيْئًا بَعْدَ تَمَامِ الْعَقْدِ وَتَرَاضِيْ الْطَّرَفَيْنِ عَلَى الْمَهْرِ، لَزِمَتْ الزِّيَادَةُ بِالْوَطْءِ أَوْ بِالْمَوْتِ عَنِ الزَّوْجَةِ
 

Artinya: "Jika suami yang berakal atau wali dari anak kecil (ayah atau kakek) menambah mahar yang telah ditetapkan setelah akad selesai, dan kedua pihak sepakat tentang tambahan tersebut, maka tambahan itu menjadi wajib jika terjadi hubungan atau kematian suami."  (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr: tt], juz IX, halaman 6796).
 

Perbedaan pandangan antara Imam Ahmad dan mazhab Hanafi adalah pensyaratan kesepakatan dua pihak. Menurut Imam Ahmad penambahan mahar hanya menjadi hak dari pihak suami, sementara menurut mazhab Hanafi penambahan mahar harus melalui kesepakatan kedua pihak (suami dan istri).
 

Konsekuensi penambahan dianggap sebagai mahar adalah kewajibannya bisa gugur ketika ada sebab yang dapat menggugurkan mahar, seperti talak atau faskh. Berbeda dengan pandangan ulama Syafi’iyah di awal, status penambahan adalah hadiah sehingga tidak terpengaruh oleh sebab-sebab yang menggugurkan mahar.
 

Pandangan yang berbeda antara mazhab Hanbali, Hanafi, dan Syafi'i mengenai tambahan mahar setelah akad menunjukkan bahwa Islam memiliki berbagai sudut pandang yang fleksibel dalam mengatur hak dan kewajiban pasangan suami-istri.
 

Bagi pasangan yang memilih pandangan mazhab Hanbali dan Hanafi, tambahan mahar menjadi bagian dari hak istri. Sementara itu, bagi yang mengikuti mazhab Syafi'i, tambahan tersebut dianggap hibah yang tak bisa diambil kembali. Kedua pandangan ini memberikan solusi yang dapat dipilih oleh pasangan sesuai kondisi yang dihadapi.
 


Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah Batuan, Sumenep.