Syariah

Hukum Menempelkan Stiker Caleg atau Calon Presiden di Rumah Warga Tanpa Izin

Sel, 26 Desember 2023 | 21:00 WIB

Hukum Menempelkan Stiker Caleg atau Calon Presiden di Rumah Warga Tanpa Izin

Pelepasan stiker yang dipasang tanpa izin. (Foto via jatengprov.go.id/)

Salah satu cara efektif para caleg ataupun calon Presiden atau Wakil Presiden dalam berkampanye, sekaligus mampu menjangkau masyarakat luas adalah dengan membuat stiker. Stiker memiliki ukuran yang kecil dan ringan, sehingga mudah untuk dibawa dan dibagikan. Selain itu, stiker juga memiliki desain yang menarik dan mudah diingat, sehingga dapat menarik perhatian masyarakat.


Stiker kampanye biasanya memuat informasi-informasi penting tentang para kontestan Pemilu, seperti foto, nama, nomor urut, partai politik, visi misi, slogan, dan ajakan untuk memilih. Informasi-informasi tersebut dapat membantu masyarakat mengenal lebih dekat para peserta Pemilu tersebut.


Lebih dari itu, stiker kampanye dapat ditempel di berbagai tempat, seperti di kendaraan, dinding, kaca, atau di rumah dan di jendela serta mudah dilihat oleh masyarakat. Untuk itu, menjelang pemilu yang akan digelar pada 14 Februari 2024, stiker-stiker calon legislatif (caleg) mulai marak ditempel di rumah-rumah warga di beberapa wilayah di Indonesia. 


Stiker-stiker tersebut ditempel di pintu pagar, dinding, bahkan di kaca jendela rumah warga, yang biasanya berisi foto dan nama caleg, serta partai politiknya. Pemasangan stiker caleg di rumah warga tersebut biasanya dilakukan oleh tim sukses atau pendukung caleg. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan caleg kepada masyarakat dan meningkatkan elektabilitasnya.


Namun, pemasangan stiker caleg di rumah warga ini sering menimbulkan protes dari warga. Ada beberapa alasan mengapa warga protes terkait pemasangan stiker caleg di rumahnya. 


Pertama, warga merasa terganggu dengan keberadaan stiker caleg yang ditempel di rumahnya. Stiker caleg sering kali ditempel di pintu pagar, dinding, bahkan di kaca jendela rumah warga. Hal ini membuat rumah warga menjadi kotor dan tidak sedap dipandang. 


Kedua, warga merasa tidak nyaman dengan adanya stiker caleg di rumahnya. Warga merasa seolah-olah dipaksa untuk memilih caleg yang bersangkutan. Apalagi jika stiker caleg tersebut ditempel tanpa izin dari pemilik rumah.


Ketiga, warga merasa bahwa pemasangan stiker caleg di rumahnya merupakan bentuk pelanggaran privasi. Warga berhak untuk memilih caleg sesuai dengan keinginannya, tanpa harus dipaksa oleh pihak tertentu.


Lantas bagaimana hukum Islam terkait menempel foto caleg di rumah warga tanpa izin?. Simak penjelasan berikut ini.


Dalam Islam, rumah merupakan milik pribadi, yang merupakan hak eksklusif pemiliknya. Orang tersebut berhak memanfaatkan rumahnya dengan cara dan model apa pun yang diinginkannya. Orang lain tidak berhak untuk mengintervensi pemanfaatan rumah tersebut, sebab mereka bukanlah pemiliknya.


Dengan demikian, rumah merupakan salah satu bentuk hak milik pribadi yang dilindungi oleh undang-undang. Orang lain tidak boleh memanfaatkannya tanpa izin pemiliknya.  Syekh Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr asy-Syafi'i, dalam kitab Kifayatul Akhyar, halaman 238, mengatakan jika seseorang memanfaatkan milik orang lain tanpa izin, maka tindakan tersebut dinamakan sebagai ghasab [mengambil hak orang lain secara zhalim]. 


Artinya, jika seorang memanfaatkan tanah atau rumah seperti membangun bangunan, menanam pohon, atau memasang flyer atau stiker, maka tindakan tersebut disebut ghasab. Sementara itu, perbuatan ghasab adalah tindakan kriminal dalam Islam yang diharamkan.


ﻭﺣﺪﻩ ﻓﻲ اﻟﺸﺮﻉ ﻫﻮ اﻻﺳﺘﻴﻼء ﻋﻠﻰ ﻣﺎﻝ اﻟﻐﻴﺮ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ اﻟﺘﻌﺪﻱ ﻛﺬا ﻗﺎﻟﻪ اﻟﺮاﻓﻌﻲ ﻭﻓﻴﻪ ﺷﻲء ﻭﻟﻬﺬا ﻗﺎﻝ اﻟﻨﻮﻭﻱ ﻫﻮ اﻻﺳﺘﻴﻼء ﻋﻠﻰ ﺣﻖ اﻟﻐﻴﺮ ﻋﺪﻭاﻧﺎ ﻋﺪﻝ ﻋﻦ ﻗﻮﻝ اﻟﺮاﻓﻌﻲ ﻣﺎﻝ اﻟﻐﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﺣﻖ اﻟﻐﻴﺮ ﻷﻥ اﻟﺤﻖ ﻳﺸﻤﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﺑﻣﺎﻝ ﻛﺎﻟﻜﻠﺐ ﻭاﻟﺰﺑﻞ ﻭﺟﻠﺪ اﻟﻤﻴﺘﺔ ﻭاﻟﻤﻨﺎﻓﻊ ﻭاﻟﺤﻘﻮﻕ ﻛﺈﻗﺎﻣﺔ ﺷﺨﺺ ﻣﻦ ﻣﻜﺎﻥ ﻣﺒﺎﺡ ﻛﺎﻟﻄﺮﻳﻖ ﻭاﻟﻤﺴﺠﺪ


Artinya: "Pengertian ghasab dalam syariat Islam adalah menguasai harta orang lain secara sewenang-wenang. Demikianlah pendapat Imam ar-Rafi'i, namun pendapat ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi berpendapat bahwa ghasab adalah menguasai hak orang lain secara aniaya. Pengertian ini menggantikan pengertian yang dikemukakan oleh Imam ar-Rafi'i, yaitu "harta orang lain", dengan "hak orang lain". Hal ini dikarenakan hak mencakup hal-hal yang bukan harta, seperti anjing, kotoran, kulit bangkai, manfaat, dan hak-hak, seperti menghalangi seseorang dari tempat yang dibolehkan, seperti jalan dan masjid.


Pengertian "secara aniaya" dimaksudkan untuk membedakan ghasab dengan tindakan mengambil harta orang lain dari orang kafir yang berperang melawan Islam, atau dari orang yang telah merampas harta orang lain secara sewenang-wenang. Dalam hal ini, tindakan mengambil harta tersebut tidak disebut ghasab, melainkan pengambilan harta secara sah.


Menurut Imam an-Nawawi, ghasab terjadi jika seseorang menguasai harta orang lain, baik berupa harta benda maupun manfaatnya, tanpa izin dari pemiliknya. Hal ini berlaku meskipun orang tersebut tidak berniat untuk menguasai harta tersebut. Hal ini dikarenakan tujuan ghasab adalah untuk memanfaatkan harta yang dirampas tersebut. [Syekh Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr asy-Syafi'i, Kifayatul Akhyar, [Beirut: Jami' al- Huquq Mahfuzah, 2010], halaman 238. 


Sementara itu, Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam kitab Fathul Qarib, halaman  190, menyatakan hukum ghasab adalah haram dan pelakunya wajib mengembalikan harta yang di-ghasab kepada pemiliknya, meskipun ia harus membayar ganti rugi jika harta tersebut mengalami kerusakan atau berkurang nilainya.


(ومن غصب مالا لأحد لزمه ردُّه) لمالكه ولو غرِم على رده أضعافَ قيمته. (و) لزمه أيضا (أرش نقصه) إن نقص، كمن غصب ثوبا فلبسه أو نقص بغير لبس، (و) لزمه أيضا (أجرة مثله) . أما لو نقص المغصوب برخص سعره فلا يضمنه الغاصب على الصحيح.


Artinya: "Dan barangsiapa yang mengghashab harta seseorang, maka wajib mengembalikan kepada pemiliknya, meskipun atas pengembalian barang ghasaban orang yang ghashab itu terkena tanggungan ganti rugi dengan lipat ganda harganya. Dan wajib baginya (orang yang ghashab), untuk menambal kekurangannya, jika terdapat kekurangan pada harta yang dighashab, seperti orang yang mengghashab pakaian, kemudian ia memakainya atau baju itu berkurang, bukan karena dipakai. Juga wajib upah umum atas barang yang dighasab. Adapun bila barang yang dighashab itu berkurang sebab merosotnya/murahnya harga di pasaran (bukan karen penggunaan), maka tidak wajib mengganti rugi menurut pendapat yang shahih."


Dengan demikian bahwa dalam perspektif syariah Islam, tindakan tim sukses (timses) dalam kontestasi politik yang memasang stiker calon legislatif (caleg) atau calon presiden (capres) di rumah seseorang tanpa izin dari pemilik rumah dianggap sebagai tindakan kriminal (ghasab). Selain itu, pemilik tanah memiliki hak untuk mencopot dan membongkar baliho tersebut tanpa harus menunggu persetujuan dari tim sukses terkait atau caleg terkait.


Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, Tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan