Syariah

Hukum Menimbun BBM di Tengah Kenaikan Harga

Kam, 1 September 2022 | 10:00 WIB

Hukum Menimbun BBM di Tengah Kenaikan Harga

Menimbun BBM di tengah kenaikan harga.

Menimbun barang menjadi salah satu tindakan yang sering dilakukan oleh sejumlah oknum pelaku usaha di waktu-waktu tertentu, dengan maksud meraih keuntungan melebihi waktu lain. Menimbun barang bisa terjadi dalam hal apa saja, termasuk menimbun BBM. Dengan menimbun, pasokan barang di pasar menjadi berkurang, dan harga semakin melejit. Lantas, bagaimana hukum menimbun BBM di tengah kenaikan harga?


Definisi Menimbun

Perlu diketahui, bahwa menimbun dalam istilah fiqih dikenal dengan sebutan al-ihtikar. Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. 


Pertama mazhab Malikiyah, ihtikar dalah menimbun barang untuk dijual, dan mencari keuntungan dengan memanfaatkan ketidakstabilan harga barang tersebut.


Kedua mazhab Hanafiyah, ihtikar adalah menahan barang untuk menunggu harganya menjadi mahal, atau tindakan membeli bahan makanan dan lainnya, kemudian menahannya hingga 40 hari lamanya, agar harganya menjadi mahal.


Ketiga, menurut ulama mazhab Syafi’iya, ihtikar adalah menahan sesuatu yang dibeli pada saat harganya mahal, untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi daripada saat membeli pada orang-orang yang sangat membutuhkannya. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 236-237).


Hukum Menimbun Perspektif Fiqih

Hukum menimbun barang dalam ilmu fiqih bisa berbeda sesuai tujuannya. Bisa haram, makruh, dan mubah. Jika tujuannya dibenarkan secara syariat, maka boleh. Jika tidak dibenarkan, maka haram, atau setidaknya makruh. Berikut klasifikasinya:


Pertama, boleh, yaitu menimbun barang secukupnya untuk keperluan sendiri, atau keperluan keluarganya. Kedua, makruh, yaitu menimbun barang melebihi kadar kebutuhannya, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Ketiga, haram, yaitu menimbun barang di waktu harga mahal untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal, dan ketika orang lain sangat membutuhkan barang tersebut. Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya:


وَحَرُمَ اِحْتِكَارُ قُوْتٍ كَتَمْرٍ وَزَبِيْبٍ وَكُلِّ مُجْزِىءٍ فِي الْفِطْرَةِ وَهُوَ إِمْسَاكُ مَا اشْتَرَاهُ فِي وَقْتِ الغَلَاءِ لَا الرُّخْصِ لِيَبِيْعَهُ بِأَكْثَرَ عِنْدَ اشْتِدَادِ حَاجَةِ أَهْلِ مَحَلِّهِ أَوْ غَيْرِهِمْ إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِهِ بِقَصْدِ ذَلِكَ


Artinya, “Haram menimbun bahan makanan pokok, seperti buah kurma, zabib, dan segala bahan makanan yang bisa dipakai zakat fitrah. Menimbun ialah menahan barang pembelian di waktu harga mahal, bukan di waktu harga murah, untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal ketika penduduk setempat, atau orang lain sangat membutuhkannya, sekalipun waktu membeli bukan dimaksudkan untuk hal itu.” (Zainuddin al-Malibari, Fathul Muin bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmatid Din, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 110).


Selain itu, Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam kitabnya menjelaskan, bahwa termasuk dari menimbun yang diharamkan adalah adanya upaya mempersempit gerakan masyarakat untuk memperoleh suatu barang setelah adanya timbunan, seperti kota-kota kecil yang sulit untuk mengimpor dari luar. Berbeda dengan kota yang memiliki banyak akses untuk bisa mengimpor dari luar ketika di tempat tersebut kesulitan untuk mendapatkannya. Larangan ini berdasarkan salah satu hadits, bahwa Rasulullah saw bersabda:


اَلْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ، وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ


Artinya, “Orang yang mendatangkan barang (dari luar negerinya), itu mendapatkan rezeki. Sedangkan orang yang menimbun itu terlaknat.” (HR Ibnu Majah, Ibnu Rahawaih, ad-Dailami, dan Abu Ya'la). (Wahbah Zuhaili, 4/237).


Jika ditanya, “Apakah menimbun (ihtikar) hanya berlaku untuk makanan-makanan pokok saja, sebagaimana penjelasan di atas? Atau berlaku pada semuanya?”


Maka jawabannya, mayoritas ulama menyebutkan bahwa larangan menimbun yang haramkan hanya sebatas pada makanan-makanan pokok, seperti gandum, atau makanan penunjang, seperti lauk-pauk. Hanya saja, menurut Imam asy-Syaukani tidak hanya makanan saja, namun berlaku untuk semuanya. Ia mengatakan:


وَالحَاصِلُ إِنَّ الْعِلَّةَ إِذَا كَانَتْ هِيَ الْإِضْرَارُ بِالْمُسْلِمِيْنَ لَمْ يَحْرُمْ الاِحْتكِاَرُ اِلَّا عَلَى وَجْهٍ يَضُرُّ بِهِمْ وَيَسْتَوِي فِي ذَلِكَ الْقُوْتُ وَغَيْرُهُ لِأَنَّهُمْ يَتَضَرَّرُوْنَ بِالْجَمِيْعِ


Artinya, “Kesimpulannya, sungguh jika alasan (diharamkanya menimbun) itu adalah membahayakan umat Islam, maka (pada hakikatnya) tidak diharamkan kecuali karena berbahaya bagi mereka, dan (keharaman) dalam hal menimbun berlaku sama, baik berupa makanan pokok maupun yang lain, karena juga bisa membahayakan mereka.” (Ali asy-Syaukani, Nailul Authar min Ahaditsi Sayyidil Akhyar Syarh Muntaqil Akhbar, [Thaba’ah al-Muniriyah: tt], juz V, halaman 278).


Jika ditelusuri lebih dalam, pendapat Imam asy-Syaukani di atas sebenarnya memiliki penguat dari beberapa ulama lain. Di antaranya adalah pendapat Imam az-Zarkasyi yang dikutip oleh Syekh Salim Ba Bashil, ia mengatakan bahwa menimbun baju seharusnya juga masuk dalam kategori ihtikar yang diharamkan.

 

قَالَ الزَّرْكَشِي: وَالتَّخْصِيْصُ بِالْأَقْوَاتِ فِيْهِ نَظَرٌ وَيَنْبَغِي جِرْيَانُهُ فِي الثِّيَابِ الْمُحْتَاجِ إِلَيْهَا لِسِتْرِ عَوْرَةٍ وَدَفْعِ حَرٍّ وَبَرَدٍ

 

Artinya, “Imam az-Zarkasyi berkata: Mengkhususkan (larangan menimbun) pada makanan-makanan pokok saja perlu diangan-angan kembali, dan sudah seharusnya memasukkan pakaian yang dibutuhkan untuk menutup aurat atau menghilangkan panas dan dingin (pada konteks menimbun yang diharamkan).” (Syekh Muhammad Salim Ba Bashil, Is’adur Rafiq, [Darul Ihya’ al-Kitab: tt], halaman 140).


قَالَ السُّبْكِي مِنَ الشَّافِعِيَّةِ: إِذَا كَانَ الْاِحْتِكَارُ فِي وَقْتِ قَحْطٍ، كَانَ فِي ادِّخَارِ الْعَسْلِ وَالسَّمْنِ وَالشِّيْرَجِ وَأَمْثَالِهَا إِضْرَارٌ، فَيَنْبَغِي أَنْ يُقْضَى بِتَحْرِيْمِهِ


Artinya, “Imam Subki, salah seorang ulama mazhab Syafi’iyah berkata: Jika menimbun di masa paceklik, maka melakukan penimbunan madu, minyak, minyak wijen, dan hal-hal lain yang serupa bisa membahayakan. Dengan demikian, harus difatwakan haram menimbunnya.” (Wahbah Zuhaili, 4/238).


Alhasil, dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum menimbun BBM di tengah kenaikan harga adalah haram, jika bertujuan menjualnya lagi dengan harga yang lebih mahal, karena sangat merugikan masyarakat. Wallahu a’lam.

 


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.