Syariah

Hukum Musik dalam Perspektif Syekh Ali Jumah

Senin, 21 November 2022 | 19:00 WIB

Hukum Musik dalam Perspektif Syekh Ali Jumah

Ahli Fatwa Mesir Syekh Ali Jumah menjelaskan kedudukan musik dalam Islam.

Salah satu hal yang tidak bisa terpisahkan dari bagian jiwa manusia adalah musik. Mereka menjadikannya sebagai salah satu wahana untuk bisa menikmati kenyamanan suatu irama. Oleh karenanya, tidak heran jika keberadaan musik mampu menjadi salah satu ikon dalam acara-acara tertentu.


Para ulama lintas generasi dan lintas mazhab pun memiliki pandangan yang berbeda-beda perihal hukumnya. Ada yang menilai bahwa musik bisa berhukum haram, bisa juga memiliki hukum makruh, hingga mubah. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum musik perspektif ilmu fiqih?


Dalam kesempatan ini, penulis akan menjelaskan pandangan salah satu cendikiawan Muslim asal Mesir yang banyak menekuni fiqih perbandingan lintas mazhab, yaitu Syekh Ali Jum’ah dalam Kitab al-Bayan li Ma Yusyghilu al-Azhan fi Fatawa Syafiya wa Qadhaya ‘Ajilah. Dengannya, kita bisa menjadi tahu hukumnya dan alasan-alasan keharaman dan kebolehannya.


Menurut Syekh Ali Jumah, musik adalah setiap ritme atau irama yang keluar dari alat musik yang dimainkan. Oleh karenanya, para ulama berbeda pendapat perihal hukumnya karena tidak ada ketentuan yang jelas baik dari Al-Qur’an, hadits, maupun konsensus para ulama.


وَمَسْأَلَةُ الْمُوْسِيْقِى مَسْأَلَةٌ خِلَافِيَةٌ فِقْهِيَّةٌ، لَيْسَتْ مِنْ أُصُوْلِ الْعَقِيْدَةِ، وَلَيْسَتْ مِنَ الْمَعْلُوْمِ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ، وَلَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِيْنَ أَنْ يُفَسِّقَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَلَا يُنَكِّرُ بِسَبَبِ تِلْكَ الْمَسَائِلِ الْخِلَافِيَّةِ


Artinya, “Persoalan tentang musik merupakan persoalan khilafiyah (berbeda pendapat) dalam ranah fiqih, bukan termasuk ranah pokok akidah, bukan pula bagian dari suatu agama yang setiap muslim tahun tentangnya, sehingga tidak sepantasnya bagi kaum muslimin untuk menuduh fasik sebagian dari mereka pada sebagian yang lain, tidak pula mengingkari mereka disebabkan persoalan yang masih berselisih (hukumnya),” (Syekh Ali Jumah, al-Bayan li Ma Yusyghilu al-Azhan fi Fatawa Syafiyah wa Qadhaya ‘Ajilah, [Darul Ma’arif: cetakan pertama], juz I, halaman 365).


Lebih lanjut, menurut ulama kelahiran Beni Seuf Mesir itu, alasan terjadinya perbedaan pendapat di antara para ulama fiqih karena tidak adanya nash (ketentuan) khusus dari Al-Qur’an, hadits, maupun konsensus para ulama yang mengharamkannya.


Tidak hanya itu, menurut ulama kelahiran Beni Suef Mesir itu, tidak seharusnya umat Islam larut dalam perdebatan hukum-hukum yang masih diperselisihkan oleh para ulama, dan semua orang memiliki hak masing-masing untuk mengikuti salah satu pendapat yang ada, baik yang boleh maupun yang haram. Dengan demikian, tidak layak untuk mempermasalahkannya agar tidak terjadi perpecahan antaraumat Islam.


Syekh Ali Jumah mengutip pendapat Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (wafat 505 H) yang mengategorikan musik dari bagian al-lahwu (permainan-kesenangan). Oleh karenanya, tidak jarang banyak orang-orang menjadikannya sebagai salah satu wahana untuk menenangkan dirinya dari rasa lelah sehingga sudah selayaknya untuk diperbolehkan sepanjang tidak berupa alat-alat yang memang diharamkan seperti gitar, dan seruling:


فَاللَّهْوُ دَوَاءُ الْقَلْبِ مِنْ دَاءِ الْإِعْيَاءِ وَالْمِلَالِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ مُبَاحًا وَلَكِنْ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْهُ كَمَا لَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ الدَّوَاءِ


Artinya, “al-Lahwu (kesenangan-musik) merupakan obat hati dari rasa lelah dan bosan, maka sudah seharusnya untuk diperbolehkan. Hanya saja, lebih baik untuk tidak memperbanyak dengannya, sebagaimana tidak berlebihan dalam mengonsumsi obat,” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 287).


Sementara itu, ada juga ulama yang menegaskan bahwa tempat-tempat nyanyian yang di dalamnya disertai dengan alat-alat musik, hukumnya haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Dr Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, ia mengatakan:


وَتَكُوْنُ مَجَالِسُ الْغِنَاءِ الْمَقْرُوْنَةِ بِالْآلَاتِ الْمُوْسِيْقِيَّةِ حَرَاماً


Artinya, “Tempat-tempat nyanyian yang di dalamnya bersamaan dengan alat-alat musik hukumnya haram,” (Syekh Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatih, [Damaskus, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 215).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum musik masih diperselisihkan oleh para ulama sejak masa dahulu. Lantas, bagaimana cara menggabungkan dua pendapat di atas? Berikut jawabannya.


Menurut Syekh Ali Jumah, setiap musik dan nyanyian yang mengandung unsur mengajak pada hal-hal yang diharamkan, mengandung keburukan, kejelekan, mengajak pada kemaksiatan, maka hukumnya haram. Dan, setiap nyanyian yang di dalamnya tidak ada unsur-unsur tersebut hukumnya boleh sepanjang tidak terjadi percampuran antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram:


وَلِهَذَا نَرَى جَوَازَ الْغِنَاءِ، سَوَاءٌ كَانَ مَصْحُوْبًا بِالْمُوْسِيْقِي أَوْ لَا، بِشَرْطٍ أَلَّا يَدْعُوْ اِلَى مَعْصِيَةٍ أَوْ تَتَنَافِي مَعَانِيْهِ مَعَ مَعَانِي الشَّرْعِ الشَّرِيْفِ، غَيْرِ أَنَّ اسْتِدَامَتَهُ وَالْاِكْثَارَ مِنْهُ يُخْرِجُهُ مِنْ حَدِّ الْاِبَاحَةِ اِلَى حَدِّ الْكَرَاهَةِ وَرُبَّمَا اِلَى حَدِّ الْحُرْمَةِ


Artinya, “Oleh karena itu, saya memandang bolehnya nyanyian, baik disertai musik atau tidak, dengan syarat tidak mengajak pada kemaksiatan atau di dalamnya mengandung nyanyian yang menghilangkan makna syariat yang mulia. Hanya saja, selalu menggunakan dan memperbanyaknya bisa mengeluarkannya pada batas boleh hingga masuk pada batas makruh, dan terkadang bisa sampai pada batas haram.” (Jumah: 1/368).


Demikian penjelasan perihal hukum musik perspekstif Syekh Ali Jumah. Dengan mengetahuinya, semoga tidak lagi menjadikan musik sebagai legitimasi untuk saling menyalahkan sesama, dan semakin menimbulkan kesadaran bahwa perbedaan pendapat antarlama adalah rahmat bagi semua manusia. Wallahu a‘lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur