Syariah

Hukum Shalat Nisfu Sya’ban

Rab, 21 Februari 2024 | 16:00 WIB

Hukum Shalat Nisfu Sya’ban

Ilustrasi: Sya'ban2 (NU Online).

Shalat Nishfu Sya’ban adalah shalat sunah yang dilaksanakan pada malam 15 bulan Sya’ban. Shalat ini termasuk dari salah satu shalat yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Dari perbedaan pendapat tersebut, kita juga mendapati perbedaan sikap pada masyarakat secara umum. Ada yang mengamalkan dan ada yang tidak mengamalkan.  

 

Malam Nisfu Sya’ban merupakan salah satu waktu yang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan doa, karena termasuk waktu mustajabah (dikabulkannya doa) dan juga waktu diangkatnya amal hamba kepada Allah swt.
 


Pada malam Nisfu Sya’ban, banyak masyarakat kita melakukan berbagai macam ritual ibadah, mulai dari memperbanyak doa, istighfar, membaca Yasin hingga melaksanakan shalat Nisfu Sya’ban. 

 


Shalat Nisfu Sya’ban dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, melaksanakan shalat 100 rakaat, dengan salam pada setiap dua rakaatnya, kemudian pada setiap rakaat setelah membaca Al-Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat Al-Ilkhlash 11 kali.
 

 

Cara kedua melaksanakan shalat 10 rakaat, setiap rakaat setelah membaca Al-Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat Al-Ikhlash 100 kali.

 

Dalam menyikapi pelaksanaan shalat Nisfu Sya’ban terdapat perbedaan pendapat diantara ulama. Banyak ulama yang menyatakan bahwa shalat ini termasuk dalam bid’ah yang dilarang dan harus dihindari. Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa shalat ini bukan bid’ah dan dapat diamalkan. 

 

Di antara ulama yang menyatakan bahwa shalat ini adalah bid’ah yang dilarang yaitu Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’. Berikut ini redaksinya: 
 


(الْعَاشِرَةُ) الصَّلَاةُ الْمَعْرُوْفَةُ بِصَلَاةِ الرَّغَائِبِ وَهِيَ ثِنْتَى عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلَّي بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمْعَةٍ فِي رَجَبَ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ ومُنْكَرَانِ قَبِيْحَتَانِ وَلَا يَغْتَرَّ بِذِكْرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوْتِ الْقُلُوْبِ وَاِحْيَاءِ عُلُوْمِ الدِّيْنِ وَلَا بِالْحَدِيْثِ اْلمَذْكُوْرِ فِيْهِمَا فَاِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ 

Artinya “(Kesepuluh) adalah shalat yang dikenal dengan shalat Ragha'ib, yaitu shalat 12 rakaat antara Maghrib dan Isya' pada malam Jumat pertama bulan Rajab, dan shalat pada malam pertengahan Sya'ban sebanyak seratus rakaat. Dua shalat ini adalah bid’ah yang diingkari dan tercela, dan jangan sampai tertipu dengan penyebutannya dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumiddin dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan di dalamnya, karena semua itu tidak sah.”( Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2000], juz V, Halaman 65)

 

 

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan bahwa shalat Nisfu Sya’ban baru dilaksanakan pada tahun 448 H. Berawal dari kedatangan seorang pria asal Nablus yang dikenal dengan nama Ibnul Hayy, ia adalah seorang qari’ yang baik. Pada malam pertengahan Sya'ban, dia melaksanakan shalat di Masjid Al-Aqsha, kemudian ada seorang laki-laki shalat di belakangnya dan terus bertambah, sampai pada saat khatam Al-Qur’an, ternyata sudah ada jamaah yang banyak dibelakangnya.
 

Pada tahun berikutnya, kegiatan ini kembali dilakukan dan menyebar di Masjid Al-Aqsha dan rumah-rumah penduduk, Kemudian kegiatan ini secara rutin terus dilakukan seolah-olah menjadi kesunahan hingga saat ini. (Murtadha Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2016], juz III, halaman 705)

 

Sedangkan ulama yang memperbolehkan pelaksanaan shalat Nisfu Sya’ban di antaranya adalah Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’. Berikut ini redaksinya: 
 


وَأَمَّا صَلَاةُ شَعْبَانَ فَلَيْلَةُ الْخَامِسَ عَشَرَ مِنْهُ يُصَلِّي مِائَةَ رَكْعَةٍ كُلُّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِيْمَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد إِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً وَإِنْ شَاءَ صَلَّى عَشْرَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ مِائَةَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد فَهَذَا أَيْضًا مَرْوِيٌّ فِي جُمْلَةِ الصَّلَوَاتِ كَانَ السَّلَفُ يُصَلُّوْنَ هَذِهِ الصَّلَاةَ وَيُسَمُّوْنَهَا صَلَاةَ الْخَيْرِ وَيَجْتَمِعُوْنَ فِيْهَا وَرُبَّمَا صَلَّوْهَا جَمَاعَةً 

 

Artinya “Adapun shalat Sya'ban, maka dilaksanakan pada malam tanggal 15 dari bulan Sya’ban. Yaitu shalat 100 rakaat, setiap dua rakaat dilakukan salam dan pada setiap rakaat setelah Al-Fatihah, membaca surat qul huallahu ahad (Al-Ikhlash) 11 kali, dan jika mau, ia. bisa melaksanakan shalat 10 rakaat, setiap rakaat setelah membaca Al-Fatihah, membaca surat qul huallahu ahad (Al-Ikhlash) 1000 kali. Hal ini juga diriwayatkan dalam kumpulan shalat-shalat yang diamalkan oleh ulama Salaf dan menyebutnya sebagai shalat kebaikan, mereka berkumpul dalam melaksanakannya. Terkadang dilakukan secara berjamaah.” (Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [semarang, Karya Toha Putra], juz I, halaman 203).
 


رُوِيَ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ حَدَّثَنِي ثَلَاثُوْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنَّ مَنْ صَلَّى هَذِهِ الصَّلَاةَ هَذِهِ اللَّيْلَةَ نَظَرَ اللهُ إِلَيْهِ سَبْعِيْنَ نَظْرَةً وَقَضَى لَهُ بِكُلِّ نَظْرَةٍ سَبْعِيْنَ حَاجَةً أَدْنَاهَا اْلَمغْفِرَةُ

Artinya “Diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa dia berkata: "30 sahabat Nabi saw mengatakan kepada saya bahwa siapa pun yang melaksanakan shalat ini pada malam (Nisfu Sya’ban) ini, maka Allah akan melihatnya 70 kali dan mengabulkan70 kali kebutuhan untuk setiap pandangan, yang paling rendah adalah pengampunan (dosa).”( Al-Ghazali, Ihya’, juz I, halaman 204).
 


Menurut Imam Al-Kurdi, Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat dalam menilai hadits yang dijadikan dasar pelaksanaan shalat Nisfu Sya’ban.
 

 

Menurut pendapat yang memperbolehkan, meskipun hadits yang dijadikan dasar dianggap lemah (dha’if), namun karena banyaknya riwayat, hadits ini menjadi bisa diamalkan dalam fadhailul a’mal (keutamaan amal).

 

Sedangkan pendapat yang melarang mengatakan bahwa hadits ini palsu, sehingga tidak dapat diamalkan sama sekali. Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam kitab I’anatut Thalibin menyampaikan: 
 


قَالَ الْعَلَّامَةُ الْكُرْدِي وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيْهَا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لَهَا طُرُقٌ إِذَا اجْتَمَعَتْ وَصَلَ الْحَدِيْثُ إِلَى حَدٍّ يُعْمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلِ الْاَعْمَالِ. وَمِنْهُمْ مَنْ حَكَمَ عَلَى حَدِيْثِهَا بِالْوَضْعِ وَمِنْهُمْ النَّوَوِي وَتَبِعَهُ الشَّارِحُ فِي كُتُبِهِ 

 

Artinya “Al-Allamah Al-Kurdi mengatakan: "Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini (shalat Nisfu Sya’ban). Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa terdapat beberapa jalur riwayat yang jika digabungkan maka haditsnya mencapai tingkat hadits yang dapat diamalkan dalam keutamaan amal. Di antara mereka ada pula yang berpendapat bahwa haditsnya palsu, termasuk Imam An-Nawawi dan diikuti oleh ulama yang mensyarahi dalam kitab-kitabnya.” (Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2007], juz I, halaman 460).
 


Uraian di atas kiranya cukup untuk menjelaskan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait pelaksanaan shalat Nisfu Sya’ban. Perbedaan pendapat seperti ini sering terjadi di antara ulama. Karena itu, hendaknya hal ini tidak dijadikan alasan untuk saling menyalahkan, namun justru sebagai dasar untuk bersikap toleran terhadap amalan yang berbeda, selama masih ditemukan pendapat dari ulama yang diakui kredibilitasnya. 

 

Salah satu solusi bagi yang ingin melaksanakan shalat di malam Nisfu Sya’ban adalah dengan melaksanakan shalat sunah dengan niat sunah mutlak, dan tidak terikat dengan tata cara tertentu yang telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam. 


 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Blitar Jawa Timur