Syariah

Hukum Talak yang Dijatuhkan oleh Suami Waswas

Sab, 10 Februari 2024 | 19:00 WIB

Hukum Talak yang Dijatuhkan oleh Suami Waswas

Ilustrasi: suami-istri2 (via ok.ru).

Assalamu'alaikum wr wb, para asatidz dan para kyai di NU Online yang saya hormati. Saya adalah suami yang ingin menanyakan tentang perceraian. Pertanyaan saya panjang karena memang masih dalam satu rentetan kejadian.
 

Saya pernah ribut dengan istri dan saya marah. Ketika marah saya berkata sesuatu tapi saya agak lupa. Kira-kira begini: "Mending kamu pergi saja". Saya mengatakan itu dalam keadaan sendirian dan tidak niat bercerai.

 

Kemudian kami ribut lagi dan istri mengatakan, "Saya pingin pulang  ke rumah orang tua saya" dan saya jawab; "Ya sudah sana pulang". Saya menjawab seperti itu tidak niat cerai.
 

Kemudian timbul waswas dan akhirnya saya menganggap saya dan istri telah bercerai. Tapi saya lupa apakah ini diucapkan apa hanya dalam hati saya. Kemudian dalam keadaan waswas saya bilang kepada istri: "Kita bukan suami istri lagi", karena saya merasa sudah bercerai. Saya waswas mengucapkan kalimat itu sampai dua kali atau lebih.
 

Kejadian itu berlangsung satu hari saja dari pagi sampai Maghrib. Akhirnya saya mengatakan rujuk kepada istri saya.
 

Kemudian selang beberapa hari saya baru mengetahui bahwa kalau istri yang sudah dicerai tapi masih dalam masa idah dan suami mengatakan talak lagi maka jatuh talak dua dan kalau mengatakan talak lagi maka jatuh talak tiga.
 

Akhirnya was-was itu kambuh lagi, sehingga saya takut apakah perkataan saya menyebabkan istri saya jatuh talak sampai tiga.
 

Saya benar benar takut ustaz karena penyakit waswas saya ini sudah parah dan saya benar-benar tidak ingin pisah dengan anak istri. Terimakasih. 

 

Jawaban

Wa'alaikum salam wr wb. Penanya yang budiman, semoga Allah merahmati kita semua.
 

Dalam ungkapan talak, mazhab Syafi'i membagi menjadi dua, yaitu talak sharih (jelas) dan talak kinayah. Perbedaan keduanya adalah:
 

فالصريح ما لا يحتمل غير الطلاق، والكناية ما تحتمل غيره. ولو تلفظ الزوج بالصريح
 

Artinya, "Talak sharih (jelas) adalah ungkapan yang tidak mengandung arti selain talak. Sedangkan talak kinayah adalah ungkapan yang mengandung arti selain talak". (Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 241).
 

 

Adapan talak kinayah harus disertai dengan niat dan seandainya tidak ada niatan talak maka tidak jatuh talak.
 

والكناية كل لفظ احتمل الطلاق وغيره، ويفتقر إلى النية فإن نوى بالكناية الطلاق وقع، وإلا فلا
 

Artinya, "Dan talak kinayah adalah setiap ucapan yang mengandung arti talak dan selain talak, dan ini membutuhkan niat. Maka apabila ia berniat talak dengan ucapan talak kinayah maka jatuh (talak) dan apabila tidak (niat talak) maka tidak jatuh (talak)."  (Ibnu Qasim Al-Ghazi, 241).


 

Dengan demikian, ucapan anda, "Ya sudah sana pulang", tidak berakibat jatuh talak karena termasuk talak kinayah yang tidak ada niatan menjatuhkan talak.
 

Adapun ucapan anda, "Kita bukan suami istri lagi" dalam keadaan kambuh penyakit was-was, maka tidak berakibat jatuh talak juga. Hal ini karena talak tidak jatuh ketika yang mengucapkan sedang dalam keadaan penyakit was-was yang menyebabkan dia mengucapkan ucapan secara tidak sadarkan diri atau dalam istilah fiqih disebut "maghlubul 'aqli (terkalahkan akalnya)" karena ada penyakit dari alam bawah sadarnya.
 

ومن غُلِب على عقله بفطرةِ خِلْقَةٍ أو حادثِ علةٍ لم يكن سببًا لاجتلابها على نفسه بمعصية: لم يلزمه الطلاق.. وذلك مثل المعتوه والمجنون والموسوس
 

Artinya, "Barangsiapa dilemahkan daya akalnya oleh naluri alamiah atau penyakit yang baru datang dan tidak disebabkan datangnya penyakit tersebut oleh maksiat, maka tidak menyebabkan jatuh talak. Ini seperti orang idiot (dungu/kurang akal), orang gila, dan orang waswas." (As-Syafi'i, Al-Umm, [Beirut, Darul Fikr: 2007], juz V, halaman 270).
 

 

Macam-Macam Orang Waswas

Orang penderita waswas ketika menjatuhkan talak dapat kita kelompokkan menjadi tiga kasuistik, yaitu:
 

Pertama, orang waswas tersebut mengatakan ucapan yang tidak ada hubungannya dengan ucapan talak, akan tetapi dia berhalusinasi bahwa ucapan tersebut dapat menjatuhkan talak. Kasus ini tidak menjatuhkan talak karena salah satu rukun dari talak adalah harus ada ucapan talak sharih ataupun talak kinayah dengan tujuan talak.
 

Kedua, orang waswas menyebutkan talak hanya dalam hati saja dan belum sampai mengucapkannya. Kasus ini juga tidak menjatuhkan talak, karena talak hanya bisa jatuh ketika diucapkan oleh lisan ataupun yang setara dengannya seperti tulisan. Adapun ketika hanya dalam bentuk niat ataupun ucapan dalam hati saja maka tidak jatuh talak. 
 

 

أما الطلاق: فلا يقع إلا بالكلام وما قام مقامه عند العجز عن الكلام، ولا يقع بمجرد النية من غير كلام، فلو نوى طلاق امرأته: لم تطلق اهـ

 

Artinya, "Adapun talak, maka tidak akan jatuh kecuali dengan ucapan dan yang menempati tempatnya ketika tidak mampu mengucapkan, dan tidak jatuh (talak) dengan sebatas niat saja tanpa mengucapkan, apabila dia niat mentalak istrinya, maka belum jatuh talak (selama belum diucapkan). (Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1997], juz  X, halaman 150).
 

Hal ini berdasarkan hadits 
 

قَالَ رسول الله إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ قَالَ قَتَادَةُ: إِذَا طَلَّقَ فِي نَفْسِهِ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ
 

Artinya, "Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku apa yang diucapkan hatinya selama belum dikerjakan ataupun diucapkan". Qatadah mengatakan "Apabila seseorang mentalak istrinya dalam hatinya saja maka tidak jatuh talak". (HR Al-Bukhari).
 

Hal ini juga sebagaimana komentar Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari: 
 

 

لا يقع؛ لأن الوسوسة حديث النفس، ولا مؤاخذة بما يقع في النفس

 

Artinya, "Tidak jatuh talak, karena waswas tergolong haditsun nafs (ucapan dalam hati), dan tidak ada imbas hukum dengan perkara yang terjadi di dalam hati".(Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, [Kairo, Dar Ma'rifah: 2007], juz IX, halaman 392).
 

Ketiga, orang waswas ragu-ragu apakah dia telah menjatuhkan talak ataupun belum dan keraguan ini disebabkan penyakit waswasnya. Dalam kasus ini juga tidak jatuh talak. Hal ini karena status pernikahan dalam taraf yakin dan jatuhnya talak masih dalam taraf keraguan. Tidak mungkin keyakinan bisa digugurkan oleh perkara yang masih bersifat keraguan sebagaimana kaedah fiqih:
 

 

اليقين لا يزال بالشك


 

Artinya, "Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan".

 

إذَا (شَكَّ) أَيْ تَرَدَّدَ بِرُجْحَانٍ أَوْ غَيْرِهِ (فِي) وُقُوعِ (طَلَاقٍ) مِنْهُ (فَلَا) نَحْكُمُ بِوُقُوعِهِ. قَالَ الْمَحَامِلِيُّ بِالْإِجْمَاعِ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الطَّلَاقِ وَبَقَاءُ النِّكَاحِ


 

Artinya, "Apabila orang ragu, yaitu ragu dengan perkara yang lebih unggul ataupun selainnya dalam jatuhnya talak darinya, maka tidak jatuh talak. Imam Al-Mahamili mengatakan ini adalah ijma' karena hukum asalnya tidak adanya talak dan tetapnya pernikahan". (Muhammad Khathib Syirbini, Mughni Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1997], juz IV, halaman 491).


 

Adapun ketika ragu apakah talak yang jatuh adalah talak satu atau talak dua, maka dihukumi jatuh talak satu karena hukum asalnya tidak ada tambahan talak. 
 

 

(أَوْ فِي عَدَدٍ) كَأَنْ شَكَّ هَلْ وَقَعَ عَلَيْهِ طَلْقَتَانِ أَوْ وَاحِدَةٌ (فَالْأَقَلُّ) يَأْخُذُ بِهِ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ


 

Atinya, "Atau ragu dalam hitungannya seperti ia ragu apakah telah jatuh talak dua atau talak satu maka diambil yang paling sedikit karena hukum asalnya tidak ada tambahan talak". (Ahmad Salamah Al-Qalyubi, Hasyiyah Qalyubi wa Amirah, [Beirut, Darul Fikr Beirut:1995], juz III, halaman 344).


 

Walhasil, hukum tidak jatuhnya talak dalam masalah ini adalah ketika talak dijatuhkan dalam keadan penyakit waswasnya sedang kambuh. Akan tetapi ketika dia menjatuhkan talak sharih (jelas) dalam keadaan sadar maka  jatuh talak, begitu juga ketika dia menjatuhkan talak kinayah dengan tujuan talak dalam keadaan sadar maka jatuh talak. 

 

Adapun hukum negara yang tercatat dalam Hukum Kompilasi Islam (HKI) menyebutkan bahwa jatuhnya talak harus melalui sidang di depan majelis hakim sebagaimana dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. 


 

Adanya kebijakan hukum negara ini semakin mengukuhkan batalnya talak yang dijatuhkan ketika dalam keadaan penyakit waswas yang sedang kambuh, karena tidak dilakukan secara sadar dan tanpa alasan yang dapat dilegalkan oleh majelis hukum untuk menjatuhkan talak sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Tahun 1975, yang menyatakan,
 

"Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga."

 

Wallahu 'alam.


 

Ustadz Muhammad Tholchah Al Fayyadl, Wakil Ketua Tanfidziah PCINU Mesir