Syariah

Hukum Transplantasi dari Org​​​​​​​an Tubuh Orang Lain Menurut Syekh Al-Buthi

Sel, 6 Februari 2024 | 19:00 WIB

Hukum Transplantasi dari Org​​​​​​​an Tubuh Orang Lain Menurut Syekh Al-Buthi

Ilustrasi: medis (b--b.top).

Transplantasi organ dari tubuh orang lain bukanlah metode yang asing lagi di dunia kedokteran modern. Metode ini telah menjadi salah satu alternatif untuk menyelamatkan kehidupan seorang pasien yang mengalami kerusakan organ.
 

Bagaimana fiqih memandang prosedur kedokteran ini?

 

Terdapat dua persoalan yang melandasi hukum transplantasi organ ini, yaitu hukum menambahkan sesuatu kepada anggota tubuh yang rusak dan apabila sesuatu tersebut berasal dari tubuh orang lain.

 

Dalam hal menggantikan anggota tubuh yang rusak dengan sesuatu yang lain, para ulama sepakat bahwa hal tersebut diperbolehkan apabila sesuatu tersebut bukan berupa emas atau perak. Namun, jika terdapat kondisi darurat, maka mengambil dari emas pun diperbolehkan.

 

Dasar kebolehan tersebut adalah hadits sahabat Arfajah bin As’ad yang oleh Rasulullah saw diperintahkan untuk menambahkan hidung palsu dari emas:

 

أنَّ عرفجةَ بنَ أسعدَ قُطِعَ أنفُهُ يومَ الكُلَابِ فاتَّخذَ أنفًا من وَرِقٍ فأنتَنَ عليهِ فأمرَهُ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فاتَّخذ أنفًا من ذهبٍ

 

Artinya, “Bahwasanya Arfajah bin As’ad hidungnya terpotong di hari perang Kulab. Maka ia mengambil hidung palsu dari perak yang kemudian membusuk. Rasulullah saw kemudian memerintahkannya untuk mengambil hidung palsu dari emas.” (HR. Ibnul Mulaqqin)

 

Adapun jika sesuatu tersebut berupa anggota tubuh orang lain, maka perlu dilakukan perincian. Pertama, apabila pendonor organ masih hidup, maka prosedur transplantasi organ harus mempertimbangkan kelangsungan hidup pendonor.

 

Dokter perlu memastikan bahwa setelah transplantasi organ kehidupan pendonor masih bisa berlangsung dengan normal. Jika syarat ini tidak terpenuhi dalam arti kehidupan pendonor diduga terancam setelah diambil organnya, maka prosedur transplantasi tidak diperbolehkan meski dengan kerelaan pendonor.

 

Alasannya, kehidupan seorang manusia adalah hak Allah swt, bukan milik manusia itu sendiri. Seorang manusia hanya diberikan hak mempergunakan kehidupan tersebut. Dengan demikian, tidak dibenarkan bagi seorang pendonor merelakan organnya diambil jika hal tersebut mengancam kehidupannya sendiri: 

وَعِلَّةُ الحُرْمَةِ وَاضِحَةٌ, هِيَ أَنَّ الإِنْسَانَ لَا يَمْلِكُ الإِيثَارَ فِي نِطَاقِ حُقُوقِ اللهِ عز و جل. وَأَصْلُ الحَيَاةِ حَقٌّ لله سبحانه وتعالى, فَلَيْسَ لِلْإِنسَانِ الَّذِي يَتَمَتَّعُ بِهَا أَن يَهِبَهَا أَو يُؤَثِّرَ بِهَا أَحَدًا غَيْرَهُ

 

Artinya, “Alasan keharaman membahayakan hidup pendonor jelas adanya, yaitu bahwasanya manusia tidak memiliki hak mengorbakan diri dalam area yang termasuk hak-hak Allah. Sementara asal kehidupan itu adalah haknya Allah, maka tidak boleh bagi seseorang yang menikmatinya untuk memberikan kehdupan atau mengorbankan kehidupan dirinya bagi orang lain.” (Said Ramadhan Al-Buthi, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah, [Damaskus: Darul Farabi, 2001], halaman 121).

 

Namun demikian, jika dokter memastikan bahwa kehidupan pendonor akan baik-baik saja setelah transplantasi organ, maka menurut pendapat Syekh Muhammad Sa'id bin Ramadhan Al-Buthi pendonor punya hak untuk merelakan sebagian anggota tubuhnya diberikan kepada orang lain (al-itsar).

 

Kedua, apabila pendonor adalah orang yang sudah mati, maka kewenangan untuk mengorbankan organnya demi orang lain (al-itsar) beralih kepada ahli warisnya.

 

Jika ahli waris mengizinkan maka dokter boleh mengambil organ jenazah untuk ditransplantasikan kepada tubuh pasien. Akan tetapi, jika ahli waris menolak maka organ jenazah dilarang untuk dimanfaatkan.

 

Dalam hal ini Syekh Al-Buthi berbeda pendapat dengan pandangan sebagian ulama yang secara mutlak melarang transplantasi organ dari jenazah dengan alasan menjaga kehormatan mayit.

 

Menurut Al-Buthi, hak-hak maknawi sebagaimana menjaga kehormatan tubuh adalah sesuatu yang bisa diwariskan sehingga keputusannya ada di tangan ahli waris.

 

فَإِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ آلَ حَقُّ كَرَامَتِهِ اَلشَّخْصِيَّةِ هَذَا إِلَى وَرَثَتِهِ. فَهُمْ اَلْمُخََّوَلُونَ فِي رِعَايَاتِهَا وَالمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا أَوِ التَّنَازُلِ عَنْهَا بِالإِيثَارِ ضِمْنَ حُدُودِهِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي سَبَقَ بَيَانُهَا 

 

Artinya, “Apabila seorang manusia mati maka hak kehormatan personalnya berpindah kepada ahli warisnya. Merekalah yang diserahkan dalam urusan merawat, menajaga, ataupun menurunkan standar kehormatan tersebut sebagai pengorbanan membantu sesama sesuai dengan batas-batas syariat yang sudah dijelaskan sebelumnya.” (Al-Buthi, Qadhaya Fiqhiyyah, halaman 132).

 

Peralihan kewenangan tersebut diqiyaskan dengan beralihnya hak dari tertuduh zina (al-maqdzuf) yang telah mati kepada ahli warisnya untuk menuntut hukuman terhadap si penuduh (al-qadzif) atau memaafkannya. 

 

وَلَعَلَّ مِنْ أَبْرَزِ الأَمْثِلَةِ المُنْدَرِجَةِ فِي هَذَا الحَقِّ, مَوْتُ المَقْذُوفِ قَبْلَ مُطَالَبَتِهِ فِي إِقَامَةِ الحَدِّ عَلَى القَاذِفِ, فَإِنَّ الحَقَّ يَنْتَقِلُ إِلَى وَرَثَتِهِ

 

Artinya, “Contoh paling tampak yang masuk ke dalam pewarisan hak ini adalah kasus kematian tertuduh zina (al-maqdzuf) sebelum sempat menuntut hukuman pada si penuduh zina (al-qadzif). Maka haknya tersebut berpindah ke ahli warisnya.” (Al-Buthi, Qadhaya Fiqhiyyah, halaman 132).

 

Serupa dengan hak menuntut atau memaafkan dalam kasus penuduhan zina yang dapat beralih kepada ahli waris tersebut, hak menolak donor atau mengorbankan sebagian organ untuk orang lain (al-itsar) juga dapat diwariskan. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy Banyumas