Syariah

Kajian Hadits: Kaum yang Sesat karena Berdebat

Sen, 22 Januari 2024 | 21:00 WIB

Kajian Hadits: Kaum yang Sesat karena Berdebat

Debat. (Foto: NU Online/Freepik)

Masyarakat Indonesia sedang asyik menikmati acara debat capres-cawapres yang digelar KPU sebanyak lima kali. Di antara penonton, ada yang menanggapi debat tersebut dengan bijak dan santai, namun tidak sedikit juga yang terbakar amarah hingga meluapkannya di media sosial.


Memang aktivitas debat akan menimbulkan pro-kontra bagi para pendukung dan lawannya. Tidak jarang, debat membawa perpecahan. Namun debat juga dapat menguji setajam apa suatu pendapat dan gagasan yang disampaikan.


Sebagai media bertukar pendapat dan mempertahankannya, Rasulullah saw dalam perjalanan dakwahnya juga pernah berdiskusi dan berdebat dengan Ahli Kitab tentang beberapa hal seperti kepercayaan Nabi Ibrahim, kalimatun sawa` (titik temu) antara Islam dan agama Ahli Kitab, dan lain-lain.


Hanya saja, di lain kesempatan, Rasulullah saw pernah bersabda bahwa ciri kesesatan suatu kaum adalah mereka terjebak dalam perdebatan pasca menemukan petunjuk atau hidayah. Hadits tersebut lafaznya adalah:


عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوتُوا الجَدَلَ، ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الآيَةَ: {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}.


Artinya: “Dari Abu Umamah, ia berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapat petunjuk yang ada pada mereka melainkan karena mereka suka berbantah-bantahan.’ Kemudian beliau membaca ayat ini: ‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar’ (Az Zukhruuf: 58).” (HR At-Tirmidzi).


Hadits ini dapat diakses di berbagai kitab hadits induk, seperti Sunan at-Tirmidzi dalam bab Surat az-Zukhruf dan Sunan Ibnu Majah dalam bab menjauhi debat dan bid’ah (Bab Ijtinab ‘anil Jidal wal Bida’) dengan status hasan shahih menurut at-Tirmidzi.


Pada redaksi terakhir hadits, Rasulullah saw menyebutkan ayat Al-Quran surat az-Zukhruf ke-58. Ayat tersebut memiliki latar belakang perdebatan Nabi saw dengan orang-orang Quraisy yang mempertanyakan tuhan mana yang lebih baik, apakah tuhan mereka atau Nabi Isa.


Kemudian Allah berfirman kepada Rasulullah, bahwa pertanyaan tersebut tidak ditujukan murni karena ketidaktahuan, akan tetapi mereka bermaksud membantah tanpa dasar dan tak tentu arah. 


Sekilas membaca hadits di atas, seolah Rasulullah saw melarang aktivitas debat dan beradu pendapat. Dengan lafaz tekstual seperti dalam hadits tersebut, tidak jarang ada yang menyebut debat tidak diperbolehkan dalam Islam.


Al-Qadhi ‘Iyadh sebagaimana dikutip dalam Faydhul Qadhir menjelaskan maksud debat yang dilarang dalam hadits di atas adalah debat dalam rangka mengaburkan fakta, memanipulasi kebenaran dan dilakukan secara fanatis serta membabi buta. Beliau menyebutkan:


المراد التعصب لترويج المذاهب الكاسدة والعقائد الزائفة لا المناظرة لإظهار الحق واستكشاف الحال واستعلام ما ليس معلوما عنده أو تعليم غيره ما عنده لأنه فرض كفاية خارج عما نطق به الحديث


Artinya: “Maksud [larangan debat dalam hadits] adalah fanatisme untuk menyebarkan doktrin yang sesat dan dogma yang salah, bukan berdebat untuk mengungkapkan kebenaran, menyingkap kasus, menyelidiki sesuatu yang tidak diketahui, mengajarkan orang lain apa yang ia ketahui, karena debat yang seperti ini hukumnya fardhu kifayah di luar jenis debat yang disebutkan dalam hadits.” (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, jilid V, hal. 453).


Keterangan Al-Munawi dalam Faydhul Qadhir bahwa tidak semua jenis debat dilarang, hanya saja debat yang dilarang adalah debat bernuansa fanatis dalam rangka mempertahankan pendapat yang salah. 


Lebih jelasnya, Rasulullah saw tidak serta merta melarang debat, hanya debat tertentu saja yang tidak diperkenankan. Debat-debat keilmuan, diskusi akademik, pertukaran ide dalam rangka menjalankan pemerintahan suatu negara termasuk debat yang dibolehkan.


Kesimpulannya, hadits tentang kaum yang sesat karena berdebat adalah debat yang digelar secara membabi buta tanpa ada tujuan mengungkap fakta dan kebenaran, serta tanpa adanya edukasi yang substantif dalam perdebatan tersebut. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences