Syariah

Kajian Hadits: Pungutan Liar dalam Islam

Sab, 27 April 2024 | 14:00 WIB

Kajian Hadits: Pungutan Liar dalam Islam

Ilustrasi pungutan liar (pungli). (Foto: NU Online/Freepik)

Pungutan liar, atau yang sering disebut dengan pungli, merupakan sebuah masalah serius yang merusak tatanan sosial dan ekonomi serta membuat keresahan di tengah masyarakat. Pungli dapat beragam bentuknya, mulai dari pungutan berskala kecil hingga skala besar.

 

Jika diperinci lebih lanjut, pungli merupakan segala bentuk pungutan yang tidak diakui secara resmi oleh hukum. Oleh karena itu, praktik semacam itu disebut sebagai pungutan liar, yang sering kali disertai dengan ancaman kekerasan terhadap korban.

 

Contoh pungutan liar atau pungli bisa bermacam-macam. Misalnya pungli di sektor pelayanan publik dengan meminta uang tambahan di luar biaya yang seharusnya. Pada sektor bisnis, yaitu pungli yang dilakukan oleh oknum kepada para pedagang hingga pungutan pada parkir liar yang menjamur di berbagai tempat di ruang publik.

 

Pungutan liar melahirkan banyak efek negatif, di antaranya adalah merosotnya kepercayaan publik, membuat keresahan di tengah masyarakat, menggerus nilai-nilai keadilan sosial sebab adanya pihak-pihak yang merasa terintimidasi hingga langgengnya tindakan mengemis dan korupsi secara perlahan.

 

Dalam artikel keislaman kali ini kami akan membahas soal pungutan liar dalam teks-teks hadits Nabi. Bagaimana praktik pungutan liar terjadi di masa Nabi, hingga ancaman Nabi terhadap orang-orang yang melakukannya. 

 

Pelaku pungutan liar sendiri identik dalam teks-teks hadits sebagai ‘shahibu maks’ atau ‘صاحب مكس’. ‘Maks’ sendiri dalam bahasa Arab, khususnya dalam kosakata perniagaan merujuk pada makna berkurangnya harga. Sedangkan makna lainnya, ‘maks’ dalam bahasa Arab bermakna pajak yang diambil dari para pedagang yang memasuki suatu wilayah tertentu (Ibrahim Mushtafa, dkk, al-Mu’jamul Wasith, [Kairo: Darud Da’wah, t.t.], jilid II, hal. 881).

 

Adapun hadits yang menyebut kata ‘shahibu maks’ atau pelaku pungutan yang tidak dibenarkan dan memiliki unsur paksaan dapat ditemukan salah satunya dalam Sunan Abu Dawud,

 

Rasulullah saw bersabda:

 

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ   

Artinya, “Tidaklah masuk surga orang yang menarik pungutan liar”.(HR Abu Dawud). 

 

Imam as-Suyuthi memiliki satu karya yang membahas riwayat yang ia miliki terkait pungli, karya ini dihimpun dalam beberapa karya lainnya dan diberi judul ‘Ma Rawahul Asathin fi ‘Adamil Maji` ilas SalathinDzammil Qadha wa Taqalludil AhkamDzammil Maks’ atau ‘Riwayat Pakar terkait Larangan Mendatangi Penguasa: Kritik terhadap Penyalahgunaan Putusan dan Hukum serta Pemungutan Pajak [yang tidak dibenarkan].

 

Riwayat Abu Dawud dinilai Sahih oleh as-Suyuthi. Kemudian riwayat tersebut juga dapat ditemui dalam riwayat Ad-Darimi dalam Sunan-nya, Ath-Thabrani dalam al-Kabir, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, dan Al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim menyebut bahwa kualitas hadits tersebut sahih dalam kriteria Imam Muslim.

 

Menurut al-‘Azhim Abadi dalam ‘Awnul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud, kebiasaan memungut dengan paksaan sebanyak sepersepuluh dari para pedagang merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman Jahiliyah dan merupakan sebuah kezaliman (Al-‘Azhim Abadi, ‘Awnul Ma’bud, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415], jilid VIII, hal. 111).

 

Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah menjelaskan maksud dari pelaku pungutan (shahibu maks) dalam hadits tersebut adalah orang yang mengambil dari para pedagang saat mereka melewati wilayahnya dengan mengatasnamakan zakat (Al-Baghawi, Syarhus Sunnah, [Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983], jilid X, hal. 60). 

 

Artinya pungutan yang diambil oleh orang-orang dalam hadits di atas tidaklah resmi dan tidak memiliki landasan hukum. Di tengah masyarakat kita, uang atau biaya yang diminta oleh oknum tertentu tanpa adanya dasar hukum dan kesukarelaan dari pemberi dapat disebut sebagai pungli. 

 

Senada dengan penjelasan al-Baghawi, Ath-Thahawi menyebutkan pajak sepersepuluh yang diambil oleh para pemungut tersebut berada di luar kewajiban kaum muslimin dan juga secara legal hukum tidak memiliki dasar. Adapun yang dibebankan pada kaum muslimin hanya zakat saja, tidak ada yang lain. (Abu Ja’far Ath-Thahawi, Syarhu Ma’anil Atsar, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1399], jilid II, hal. 31).

 

Selanjutnya terkait ‘tidak masuk surga’ dalam hadits tersebut, Al-Munawi memiliki penafsiran yang cukup moderat dan tidak ugal-ugalan dalam persoalan justifikasi pelaku, meskipun perilaku pungli tetap dinilai meresahkan (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1356], jilid VI, hal. 499).

 

Menurut Al-Munawi, “Pelaku pungli tersebut tidak masuk surga bersama mereka yang masuk surga pertama kali dengan tanpa dihisab. Adapun cara memahami teks hadits ini yaitu ‘mereka tidak masuk surga melainkan dihisab terlebih dahulu atas perbuatannya [memungut uang secara liar].”

 

“Beginilah cara memahami mayoritas teks hadits yang memiliki redaksi ‘Tidak masuk surga seseorang yang melakukan a, b atau c’ sehingga kita tidak berlebihan dalam perihal justifikasi. Adapun orang yang menghukumi pelaku secara tekstual, maka telah melampaui batas dan berbuat zalim.” Ujar Al-Munawi. (As-Suyuthi, Dzammul Maks, penyunting: Majdi Fathi as-Sayyid, [Mesir: Darush Shahabah, 1991], hal. 100).

 

Dari kajian hadits mengenai larangan Nabi terhadap pungutan liar, kita dapat memahami bahwa Islam melarang tindakan yang merugikan dan meresahkan masyarakat, sehingga larangan disampaikan dengan tegas. Pungutan liar dapat menciptakan kerugian dari berbagai sektor, dan paling utamanya adalah sektor perekonomian. Wallahu a’lam

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta.