Syariah

Kesetaraan Perempuan Laki-Laki sebagai Pemilih dan Calon yang Dipilih

Sel, 23 Mei 2023 | 18:00 WIB

Kesetaraan Perempuan Laki-Laki sebagai Pemilih dan Calon yang Dipilih

Perempuan dan laki-laki setara sebagai pemilih dan dipilih dalam konteks politik. (Foto: ilustrasi Freepik/NU Online)

Alam demokrasi modern di Indonesia memberikan ruang yang sama bagi seluruh warga negara, laki-laki maupun perempuan untuk aktif sebagai pemilih dan calon yang dipilih. Lalu bagaimana dalam pandangan Islam?


Dalam Islam kadang sering disalahpahami, bahwa perempuan hanya makhluk pelengkap, tidak boleh maju berperan dalam ruang-ruang publik, termasuk dalam dunia politik. Alasannya karena perempuan dianggap kurang sempurna akalnya dibandingkan dengan laki-laki dan alasan-alasan lainnya.


Memang tidak tertolak, dalam masyarakat muslim terdapat asumsi, pemahaman dan tafsir-tafsir agama yang menguatkan anggapan seperti itu. Bahkan dalam produk ijtihad yang dapat kita jumpai di berbagai literatur khazanah keislaman ada pembatasan peran perempuan di ruang-ruang publik, seperti ketidakbolehan perempuan menjadi hakim, baik secara mutlak dalam urusan apa saja maupun secara terbatas.


Padahal bila kita lihat dalam sumber-sumber pokok agama, secara mendasar Islam tidak membeda-bedakan peran publik antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berperan dalam ruang-ruang publik, termasuk dalam dunia politik, secara umum tercover dalam ayat-ayat yang menegaskan kesetaraan dalam melakukan amal shaleh.


Dalam Al-Quran Allah berfirman:

 

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

 

Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS An-Nisa': 124).


Merujuk penafsiran Syekh Muhammad Mutawalli As-Syar'awi (wafat 1998), pakar tafsir Al-Qur'an asal Mesir, maksud ayat adalah Allah swt memberi manusia prinsip universal, yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan:

 

الحق تبارك وتعالى يُعطينا قضية عامة ، هي قضية المساواة بين الرجل والمرأة

 

Artinya, “Allah Al-Haqq tabaraka wa ta'ala memberi kita (manusia) suatu prinsip universal yaitu ketentuan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. (As-Sya'rawi, Tafsirus Syar'awi, [Mesir, Akhbarul Yaum: 1991], jilid XIII, halaman 8194-8195).


Allah swt dalam ayat lain berfirman:

 

وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ

 

Artinya, “Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan  sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al-Mukmin: 40).


Masih merujuk penafsiran Syekh Mutawalli As-Syar'awi, maksud amal saleh dalam ayat adalah segala hal yang menunjang kehidupan manusia.

 

كل ما يعين على حركة الحياة هو عمل صالح

Artinya, “Segala sesuatu yang menolong pergerakan kehidupan adalah amal saleh.” (Mutawalli As-Syar'awi, XIII/1837).


Tentu amal saleh di sini juga bersifat umum, baik amal saleh yang bersifat privat maupun amal saleh yang bersifat publik dan menyangkut urusan orang banyak seperti halnya aktivitas dalam dunia politik praktis. Baik sebagai pemilih maupun orang yang dipilih dalam kontestasi politik di alam demokrasi seperti Indonesia.


Fatwa Ulama Yordania tentang Hukum Pencalonan dan Pemilihan Perempuan sebagai Anggota Parlemen

Ada permohonan fatwa menarik yang diajukan ke Majelis Fatwa Kerajaan Yordania, yaitu mempertanyakan kebolehan laki-laki untuk memberikan suaranya kepada perempuan.


“Apakah boleh seorang lelaki memberikan hak suaranya kepada seorang perempuan dalam pemilihan anggota parlemen, dan apa maksud sabda Nabi saw: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan publik mereka kepada seorang perempuan?”


Kemudian Majelis Fatwa menjawabnya sebagaimana berikut:

 

لا حرج في التصويت للمرأة لشغل العضوية في مجالس النواب أو المجالس البلدية، فليس ثمة دليل ينهى عن ذلك، وحكم الترشح للانتخابات النيابية -وكذا التصويت للمرشح- يعتمد على الصفات التي يتمتع بها المرشح، والتي تؤهله لشغل هذه المسؤولية الكبيرة، من أمانة على العباد والبلاد، والإخلاص في خدمتهم، والرشد في تشريع القوانين، مع القوة الشخصية والمعرفية والجرأة في مراقبة الحكومة في أدائها، قال الله تعالى: إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ. (القصص: 26)

 


Artinya, “Tidak ada dosa dalam memberikan hak suara kepada perempuan untuk menjadi anggota dalam majelis parlemen atau majelis daerah. Sebab dalam hal ini tidak ada dalil yang melarangnya. Hukum mencalonkan diri dalam pemilihan anggota parlemen, demikian pula memberikan hak suar kepada calon, berpedoman pada sifat-sifat yang ada pada calon dan keahliannya untuk menjalankan tanggung jawab besar ini. Yaitu amanah rakyat dan negara. Demikian pula mempertimbangkan keikhlasannya dalam melayani rakyat, kemampuan dalam membuat undang-undang, serta integritas pribadi, kapasitas keilmuan dan mental dalam  mengawasi pemerintah dalam melaksanakan undang-undang. Allah berfirman: “Sungguh sebaik-baik orang yang anda suruh untuk bekerja adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” (QS Al-Qashas: 26).


Sementara berkaitan dengan hadits yang menyatakan: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan publik mereka kepada seorang perempuan”, Majelis Fatwa menjelaskan bahwa hadits itu tidak berlaku secara umum, tapi berlaku secara khusus dalam konteks hadits itu diucapkan oleh Nabi saw.

 

فالحديث له مناسبة خاصة تفهم في ظرفها وسياقها

 

Artinya, “Hadits tersebut punya munasabah khusus yang dipahami dari dhuruf (waktu dan tempat), serta konteksnya.”


Fatwa ini secara lengkap berjudul “Hukum Pencalonan Perempuan dan Memilihnya”, nomor fatwa: 3350, tertanggal 23 Januari 2018.


Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa merujuk sumber-sumber agama Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang setara sebagai calon yang dipilih dan pemilih dalam kontestasi politik praktis untuk menjadi anggota legislatif. Hal demikian juga berlaku dalam jabatan politik di jajaran eksekutif maupun lainnya. Hal yang terpenting adalah memenuhi syarat dan kecakapan untuk melakukan kerja-kerja politik dan bertanggung jawab atas amanah yang diberikan kepadanya.  Wallahu a'lam.


Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online