Syariah

Ketentuan Bagi Hasil pada Akad Muzara’ah atau Pola Tani Tumpangsari

Jum, 3 Januari 2020 | 06:00 WIB

Ketentuan Bagi Hasil pada Akad Muzara’ah atau Pola Tani Tumpangsari

Nisbah bagi hasil pada akad muzaraah ditetapkan berdasar nisbah taksiran besaran modal yang dikeluarkan masing-masing.

Hampir dapat dipastikan bahwa sistem muzara’ah dilaksanakan menyerupai sistem musaqah. Perbedaan hanya sedikit pada jenis tanaman dan model pelaksanaannya. Jika musaqah, tanaman sudah ada di area lahan. Sedangkan pada akad muzara’ah, kondisi tanamannya belum ada sehingga pihak petani penggarap harus menanamnya sedari awal, bahkan menyemaikan benihnya. Nah, yang jadi bahan perdebatan adalah terkait soal lahan yang dipergunakan untuk menanam.

Pada akad musaqah, obyek tanamannya merupakan tanaman menahun, kecuali pada Mazhab Hanafi yang boleh berupa tanaman usia pendek (tanaman musiman), asalkan berbuahnya tidak sekali petik langsung habis. Penulis menggambarkan, semisal cabe, tomat, mentimun, semangka, dan lain-lain. Namun, keberadaan tanaman-tanaman ini harus dijadikan sebagai tanaman utama, dan bukan sekadar sebagai tanaman sampingan semata.

Adapun pada akad muzara’ah, obyek tanamannya bukan termasuk tanaman utama. Istilah kasarnya, tanaman yang ditumpangsarikan di area tanaman utama. Apa itu tumpangsari? Tumpangsari adalah pola tanam yang dalam satu area tanaman, ditanam secara bersama-sama dua atau lebih jenis tanaman. Satu di antaranya adalah tanaman utama. Sisanya merupakan tanaman sampingan.

Nah, tanaman sampingan inilah obyek dari akad muzara’ah itu. Oleh karena itu pula, maka obyek muzara’ah juga disebut sebagai obyek substitusi/obyek tambahan. Imam Malik, sebagaimana dikutip Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, Juz II, halaman 278, membahasakannya sebagai:

لأَِنَّهَا زِيَادَةٌ ازْدَادَهَا عَلَيْهِ

Artinya, “Karena tanaman muzaraah merupakan tanaman substitusi, yang berfungsi menambah hasil tanaman dari akad musaqah,” (Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman 278).

Dengan demikian, jika tanaman muzara’ah ini berhasil, maka ada pendapatan tambahan bagi petani sekaligus pemilik lahan. Jika tidak berhasil, maka pemilik lahan juga tidak mengalami kerugian disebabkan produksi tanaman utama tidak terganggu.

Karena obyek muzara’ah adalah obyek substitusi atau tambahan/sisipan, maka syarat utama yang harus dipenuhi terkait dengan jenis tanamannya adalah: tanaman substitusi tidak boleh berupa jenis tanaman yang merugikan tanaman utama. Ini adalah kunci utama dalam memahami muzara’ah.

Lho, apa ada jenis tanaman seperti ini? Penulis pernah memiliki sedikit pengalaman dalam dunia ini. Suatu misal, tanaman bawang merah yang disubstitusikan pada area ladang cabe dan ditanam persis di bibir mulsa. Tanaman bawang merah tidak bersifat mengganggu tanaman utama, yaitu cabe. Justru malah sebaliknya, yaitu obat/pestisida yang dipergunakan untuk pemeliharaan cabe, kelak mendapat ganti biayanya dari hasil tanaman bawang merah.

Sistem pertanian refugia, yang dikembangkan di Jerman, justru malah terbukti mampu menjaga tanaman pokok dari serangan hama selama masa pertumbuhannya. Di Indonesia sendiri, ada kebiasaan dari petani peladang tadah hujan di wilayah Kediri, yaitu menumpangsarikan tanaman tomat dengan cabe. Para petani di sana seolah menemukan, tumpangsari keduanya ini justru bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) karena hama yang menyerang cabe justru lari ke tanaman tomat sehingga budidaya cabenya bisa selamat. Inilah contoh praktis dari praktik akad muzara’ah itu.

Karena obyek tanamannya harus berupa tanaman substitusi, sehingga harus ada tanaman utamanya, maka praktik muzara’ah ini tidak berlaku bagi area yang belum ada tanamannya sama sekali (area kosong). Dilihat dari sudut fiqih, jika ada seorang pemodal hendak menanami “area yang kosong” milik petani lain, maka disyaratkan harus adanya akad sewa-menyewa (ijarah). Yang disewa adalah lahan tempat menanam itu.

Dalam ketentuan akad sewa-menyewa lahan, maka syariat menggariskan: 1) harus ada harga sewa yang maklum (diketahui bersama) dan 2) harus ada kesepakatan, kapan berakhirnya akad sewa tersebut. Tidak boleh menerapkan akad sewa-menyewa dengan harga sewa berupa nisbah bagi hasil panenan, seperti setengah, sepertiga, seperempat, seperlima, dan seterusnya.

Pemberian harga sewa berupa nisbah bagi hasil panenan adalah sama dengan menerapkan akad ijarah, akan tetapi harga sewanya ghairu ma’lum (tidak diketahui/majhul). Akad seperti ini disebut akad yang fasid (rusak).
 

Ketentuan Bagi Hasil pada Muzara’ah Shahihah
Maksud dari muzara’ah shahihah adalah akad ini diambil sesuai ketentuan yang dibenarkan oleh syariat. Obyek tanaman yang jadi garapan adalah tanaman substitusi (tambahan). Ciri utamanya, berupa adanya tanaman pokok di area tanaman itu yang dikerjakan mengikut akad musaqah. Tanaman utama memiliki jenis tanaman yang tidak sekali panen langsung habis.

Karena menanam pasti membutuhkan jasa adanya lahan, maka dalam hal ini keberadaan manfaat lahan (jasa lahan) harus dapat dihitung sebagai modal. Itulah sebabnya, akad muzara’ah juga disebut sebagai akad syirkah (akad kerjasama). Yang berarti dalam hal ini, kedua orang yang saling berakad harus sama-sama mengeluarkan modal, dan modal itu menghendaki pencampuran (khalath).
 
Modal dari pemilik lahan, adalah harga harta manfaat dari lahan yang hendak ditanami itu. Untuk itu, jika menghendaki bahwa syirkah tersebut adalah mengikuti model syirkah ‘inan yang dibolehkan dalam Mazhab Syafii, maka nilai manfaat dari lahan ini harus dapat dihitung dengan  besaran harga (qimah). Untuk itu pula, proses penghitungan ini harus ada proses penetapan nilai yang disepakati (taqwim).

Hal yang sama juga berlaku untuk pemodal (rabbul mal). Modal yang dikeluarkannya harus dapat dikalkulasi dengan rupa uang/naqdin (qimah). Benih tanaman, pestisida, upah pekerja, pupuk, yang kelak dimasukkan dan dipergunakan, harus dapat dikalkulasi sebagai uang. Mengapa? Karena dalam syirkah ‘inan, semua modal harus berupa barang yang sejenis sehingga mudah ditentukan nisbahnya.

Jika nisbah modal masing-masing adalah komposisi 3:4 (misalnya), maka demikian pula dengan nisbah bagi hasilnya, yaitu komposisi 3/7 untuk petani dan 4/7 untuk pemilik lahan, atau sebaliknya, atau juga dengan nisbah yang lain.

Sekali lagi, yang dicatat adalah bahwa nisbah bagi hasil tersebut ditetapkan berdasar nisbah taksiran besaran modal yang dikeluarkan masing-masing. Pendapat ini, sudah masyhur di kalangan Mazhab Syafii dan dijelaskan dalam bab syirkah ‘inan. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur