Sunnatullah
Kolomnis
Salah satu perbuatan yang bernilai sunnah atau juga dikenal dengan istilah tabarru’ dalam kitab-kitab fiqih sangat banyak macamnya, salah satunya adalah wakaf. Wakaf merupakan bentuk sedekah jangka panjang yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh penerima, tetapi juga memberikan pahala yang terus mengalir bagi pemberinya. Dalam praktiknya, wakaf bisa berupa tanah, bangunan, atau harta lain yang diserahkan untuk kepentingan umat dengan ketentuan bahwa manfaatnya tetap berkelanjutan.
Ketika seseorang mewakafkan tanah, masjid, sekolah, atau kitab-kitab ilmu di sebuah lembaga pendidikan misalnya, pada hakikatnya ia tidak hanya melakukan ibadah sunnah yang pahalanya terus mengalir kepada dirinya, namun juga sedang membangun peradaban. Karena aset yang diwakafkan tetap terjaga, sementara manfaatnya terus mengalir, menghidupi ilmu, menumbuhkan kebaikan dan ketakwaan, serta menopang kehidupan banyak orang.
Praktik wakaf pada hakikatnya sudah terjadi sejak zaman dahulu dan terus berkembang hingga saat ini. Karena itu, tidak heran jika kita sering menemukan label “tanah wakaf” label “Al-Qur’an wakaf” atau “kitab-kitab wakaf” juga sering dijumpai di perpustakaan pondok pesantren dan lembaga pendidikan lainnya. Semua itu menunjukkan bahwa wakaf merupakan salah satu praktik yang sudah lumrah terjadi, bahkan di sekitar kita sekalipun.
Nah, dalam kesempatan ini, penulis akan menjelaskan ketentuan dasar wakaf dalam Islam yang meliputi syarat dan rukun wakaf. Mengetahui ketentuan yang ada di dalam wakaf sangatlah penting, agar praktik wakaf menjadi sah dan dibenarkan secara fiqih. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan semua ini dengan rinci, sehingga dapat memudahkan pembaca untuk memahami dan mengaplikasikannya.
Definisi Wakaf
Merujuk penjelasan Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H), wakaf memiliki definisi secara bahasa dan syariat. Secara bahasa, wakaf berarti al-habs yang artinya menahan atau menghentikan. Adapun secara syariat, wakaf didefinisikan sebagai menahan suatu harta yang masih dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghilangkan zatnya, dengan cara menghentikan hak pemilik asal dalam menguasai atau mengalihkan kepemilikannya. Harta tersebut kemudian diperuntukkan bagi kepentingan yang dibolehkan dalam Islam, baik untuk kepentingan sosial, keagamaan, maupun kesejahteraan umat secara luas.
Dalam kitabnya, Imam Ibnu Hajar menyebutkan:
كِتَابُ الْوَقْفِ هُوَ لُغَةً الْحَبْسُ. وَشَرْعًا حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ فِي رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرِفٍ مُبَاحٍ
Artinya, “Kitab wakaf, secara bahasa berarti menahan. Sedangkan secara syariat, wakaf adalah menahan suatu harta yang bisa dimanfaatkan serta zatnya tetap utuh, dengan menghentikan hak kepemilikan atas harta tersebut untuk ditasarufkan pada kepentingan yang diperbolehkan.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid XXV, halaman 307).
Rukun dan Syarat Wakaf
Syekh Dr. Musthafa al-Khin, Syekh Dr. Musthafa al-Bugha, dan Syekh Ali as-Sarbaji dalam kitab kodifikasinya mengatakan bahwa wakaf memiliki empat rukun yang harus dipenuhi agar wakaf menjadi sah. Rukun-rukun tersebut adalah pihak yang mewakafkan, harta yang diwakafkan, pihak yang menerima manfaat wakaf, dan lafal atau pernyataan wakaf itu sendiri. Beberapa rukun tersebut sebagaimana disebutkan:
لِلْوَقْفِ أَرْبَعَةُ أَرْكَانٍ، وَهِيَ: الْوَاقِفُ، وَالْمَوْقُوْفُ، وَالْمَوْقُوْفُ عَلَيْهِ، وَالصِّيْغَةُ. وَلِكُلِّ رُكْنٍ مِنْ هَذِهِ الْأَرْكَانِ الْأَرْبَعَةِ شُرُوْطٌ. فَإِذَا تَحَقَّقَتْ هَذِهِ الشُّرُوْطُ كَانَ الْوَقْفُ عَلىَ أَكْمَلِ وَجْهٍ
Artinya, “Wakaf memiliki empat rukun, yaitu al-waqif (pihak yang mewakafkan), al-mauquf (harta yang diwakafkan), al-mauquf ‘alaih (pihak yang menerima manfaat wakaf), dan as-sighah (lafal atau pernyataan wakaf). Setiap rukun dari keempat rukun ini memiliki syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka wakaf dianggap sempurna.” (al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid V, halaman 12).
Adapun syarat dari masing-masing empat rukun di atas adalah sebagai berikut:
1. Wakif
Setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak mewakafkan hartanya, yaitu pertama keabsahan ucapannya. Maksudnya, wakif harus berupa orang yang merdeka, baligh, dan berakal. Kedua, memiliki kemampuan untuk melakukan kebaikan atau berderma (ahliyyatut tabarru’), sehingga tidak sah jika dilakukan oleh orang yang berada dalam status mahjur ‘alaih (ditangguhkan keuangannya), karena safih (tidak bijak dalam mengelola harta), atau karena bangkrut (muflis).
Ketidakabsahan wakaf oleh orang yang tidak ahliyyatut tabarru’ disebabkan ketidakmampuan mereka dalam mengelola harta secara mandiri. Oleh karena itu, segala bentuk hibah, termasuk wakaf, yang dilakukan oleh mereka tidak sah, dan hartanya tidak boleh diserahkan ke tangan mereka. Sedangkan larangan terhadap orang safih bertujuan untuk melindungi kepentingan dirinya sendiri, adapun larangan bagi orang yang bangkrut bertujuan untuk menjaga hak-hak para krediturnya.
Ketiga, harus dilakukan atas kehendak sendiri (ikhtiyar), sehingga wakaf yang dilakukan secara terpaksa dianggap tidak sah. Hal ini karena kehendak sendiri merupakan salah satu syarat utama dalam sebuah taklif (pembebanan hukum syariat). Oleh sebab itu, seseorang yang dipaksa untuk berwakaf tidak dianggap memiliki kehendak yang sah dalam melakukan tindakan hukum tersebut, sehingga wakafnya menjadi batal.
2. Maukuf
Terdapat empat syarat agar harta yang diwakafkan bisa sah, yaitu pertama, harus berupa benda yang jelas dan dapat ditentukan, sehingga mewakafkan manfaat saja tanpa ada bendanya tidak sah, baik manfaat tersebut bersifat sementara maupun selamanya. Begitu juga wakaf tidak sah jika benda yang diwakafkan tidak jelas atau tidak dapat ditentukan.
Kedua, harta yang diwakafkan harus sepenuhnya dimiliki oleh wakif dengan kepemilikan yang sah dan dapat dipindahtangankan. Selain itu, harta tersebut harus memberikan manfaat atau kegunaan. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh mewakafkan sesuatu yang bukan miliknya. Ketiga, wakaf hanya berlaku untuk benda yang manfaatnya dapat terus digunakan tanpa harus menghabiskan zatnya (baqau ‘ainihi). Karenanya, tidak sah mewakafkan sesuatu yang hanya bisa dimanfaatkan dengan cara dikonsumsi, seperti makanan dan sejenisnya.
Keempat, manfaat dari benda yang diwakafkan harus bersifat halal dan tidak mengandung unsur haram. Karena itu, wakaf tidak sah jika berupa benda yang manfaatnya bertentangan dengan syariat, seperti alat yang digunakan untuk maksiat dan sejenisnya. Sebab, wakaf adalah suatu bentuk ibadah (qurbah), sedangkan perbuatan maksiat bertentangan dengan tujuan tersebut.
3. Maukuf ‘Alaih
Penerima wakaf atau maukuf ‘alaih, terbagi menjadi dua bagian, yaitu pertama, penerima yang ditentukan secara spesifik (mu’ayyan). Kedua, penerima yang tidak ditentukan secara spesifik (ghairu mu’ayyan). Untuk yang pertama, penerima wakaf merupakan individu atau kelompok yang telah ditentukan secara spesifik, maka syarat yang harus dipenuhi adalah kemampuan untuk memiliki wakaf tersebut saat wakaf diberikan. Dengan kata lain, penerima harus benar-benar ada dalam kenyataan saat akad wakaf dilakukan.
Karenanya, tidak sah mewakafkan sesuatu kepada anak yang ternyata tidak ada atau belum lahir. Tidak sah pula mewakafkan harta kepada fakir miskin dari keturunan seseorang, padahal saat mewakafkan tidak ada seorang pun dari mereka yang fakir. Begitu juga tidak sah mewakafkan harta kepada janin dalam kandungan, kepada orang yang sudah meninggal, kepada hewan, atau kepada benda mati seperti rumah, dan lainnya.
Adapun yang kedua, yaitu penerima wakaf yang tidak ditentukan secara spesifik (ghairu mu’ayyan), maka syaratnya adalah barang yang diwakafkan tidak digunakan untuk tujuan maksiat. Jika wakaf ditujukan untuk mendukung kemaksiatan, maka wakaf tersebut tidak sah. Sebab, wakaf bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan maksiat berlawanan dengan tujuan tersebut,
يشترط في الموقوف عليه غير المعين: كالفقراء، والمساجد والمدارس وغيرها، حتى يكون الوقف عليه صحيحاً شرعاً شرط واحد، وهو: أن لا يكون في ذلك الوقف وقف على معصية من المعاصي، لأن الوقف عندئذ إنما يكون إعانة على فعل المعاصي وتثبيتاً لوجودها، والوقف إنما شُرع للتقرب إلى الله تعالى، فهو والمعصية إذاً ضدّان لا يجتمعان
Artinya, “Disyaratkan dalam penerima wakaf yang tidak ditentukan secara spesifik, seperti orang fakir, masjid, sekolah, dan lainnya, agar wakaf tersebut sah menurut syariat, hanya satu syarat, yaitu: Tidak boleh ada unsur wakaf untuk maksiat. Sebab, jika wakaf digunakan untuk mendukung perbuatan maksiat, maka hal itu berarti membantu pelaksanaannya dan memperkuat keberadaannya. Sementara itu, wakaf disyariatkan sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, sehingga wakaf dan maksiat adalah dua hal yang saling bertentangan dan tidak dapat bersatu." (al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid V, halaman 15).
Berdasarkan ketentuan ini, wakaf untuk kepentingan fakir miskin, ulama, qari, para mujahid, Masjidil Haram, masjid-masjid, sekolah, perbatasan wilayah Islam (tsughur), rumah sakit, serta untuk biaya kafan jenazah, semuanya termasuk wakaf yang sah. Bahkan, wakaf semacam ini sangat dianjurkan dalam Islam, karena agama mendorongnya dan menjanjikan pahala bagi yang melakukannya.
4. Sighat
Shighat dalam pembahasan wakaf adalah pernyataan atau ungkapan yang menunjukkan maksud wakaf dengan jelas. Namun jika seseorang tidak dapat berbicara, maka pengganti dari ungkapan tersebut adalah isyarat yang dapat dipahami atau tulisan juga dapat digunakan. Keberadaan shighat ini menjadi syarat utama bagi keabsahan dan pelaksanaan wakaf.
Adapun dalam praktiknya, sighat terbagi menjadi dua bagian, ada sighat sharih, yaitu ungkapan yang tegas dan jelas, seperti contoh: Saya wakafkan rumah ini untuk fakir miskin, dan ada juga sighat kinayah, yaitu ungkapan tidak langsung dan memiliki makna lain, seperti contoh: Hartaku adalah sedekah untuk fakir miskin.
Karena shighat yang sharih sudah jelas dalam menunjukkan maksud wakaf, maka tidak diperlukan niat tambahan. Cukup dengan mengucapkannya, wakaf pun menjadi sah, sebagaimana aturan dalam akad-akad lain yang menggunakan lafal tegas dan jelas. Adapun sighat kinayah, karena masih mengandung kemungkinan makna lain, maka sighat ini harus disertai dengan niat agar wakaf menjadi sah, sebagaimana halnya dalam akad-akad lain yang menggunakan lafal kinayah.
Sebagaimana tiga rukun sebelumnya, sighat juga memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar wakaf bisa sah. Setidaknya ada empat syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama, wakaf harus dinyatakan dengan ucapan yang jelas dari orang yang mampu berbicara, sehingga maksudnya dapat dipahami dengan jelas pula. Namun jika ia bisu, maka ia dapat menyatakan wakaf melalui tulisan yang jelas dan menunjukkan maksudnya secara tegas.
Kedua, lafal wakaf harus bersifat selamanya, dan tidak untuk jangka waktu tertentu. Ketiga, harus ada kejelasan mengenai pihak yang menerima manfaat dari wakaf tersebut. Jika seseorang hanya berkata, “Saya wakafkan harta ini,” atau “Saya sedekahkan harta ini,” tanpa menyebut pihak penerima, maka wakaf tersebut tidak sah, karena tidak jelas siapa yang akan mendapat manfaatnya;
Keempat, wakaf harus berlaku seketika, tanpa bergantung pada syarat tertentu. Jika seseorang mengatakan, “Saya wakafkan rumah ini jika anak saya menikah,” maka wakaf tersebut tidak sah, karena akad wakaf menuntut kepastian kepemilikan dimulai saat diucapkan; dan Kelima, wakaf harus bersifat pasti dan tidak boleh memiliki opsi pembatalan. (al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid V, halaman 17-20).
Demikian penjelasan tentang ketentuan dasar wakaf yang meliputi definisi, rukun, dan syarat wakaf. Semoga menjadi tambahan landasan dan pedoman dalam mengamalkan dan mengaplikasikan prinsip-prinsip wakaf. Wallahu a’lam.
Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan alumnus Program Kepenulisan Turots Ilmiah Maroko.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Perintah Membaca
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Turunnya Kitab Suci
4
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
5
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
6
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Peduli Lingkungan dan Sosial
Terkini
Lihat Semua