Syariah

Konsep Dasar Pembukaan Lahan Baru dalam Islam

Sen, 15 Agustus 2022 | 11:00 WIB

Konsep Dasar Pembukaan Lahan Baru dalam Islam

Pembukaan lahan harus disertai dengan semangat pengolahan lahan menjadi produktif dan semangat pemerataan

Syekh Ibn Asyur mengatakan dalam kitabnya, bahwa Bumi diciptakan oleh Allah SWT untuk manusia sebagai al-makanatu al-ula (tempat yang utama). Oleh karena itu, tanah menempati pondasi utama bagi terjadinya proses produksi. 


Sebelum adanya negara dan wilayah kekuasaan, setiap individu berhak untuk melakukan pembukaan lahan dan menguasainya. Islam mengakui akan hak ini lewat Sabda Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam:


الأرض أرض الله، والعباد عباد الله، من أحيا مواتا فهي له. «طب» عن فضالة بن عبيد (كنز العمال ٣/‏٨٩٠ — المتقي الهندي (ت ٩٧٥))


Artinya,“Tanah adalah milik Allah. Dan setiap hamba, adalah hamba Allah. Barang siapa menghidupkan bumi mati, maka baginya tanah itu.” (HR Thabrani dari Fadlalah ibn Ubaid. Termaktub dalam Kitab Kanzul Amal li al-Muttaqy al-Hindy, Juz 3, halaman 890)


Di dalam hadits yang lain, disebutkan bahwa:


عادي الأرض لله ولرسوله، ثم لكم من بعد، فمن أحيا شيئا من موتان الأرض فله رقبتها (الخراج ليحيى بن آدم ١/‏٨٢ — يحيى بن آدم القرشي (ت ٢٠٣))


Artinya,“Hak dasar tanah adalah milik Allah dan Rasulnya, kemudian milik kalian setelahnya. Barang siapa menghidupkan suatu bumi mati, maka baginya hak pemanfaatannya.” (Al-Kharraj li Yahya ibn Adam Al-Qarsy, Juz 1, halaman 82)


Sebenarnya masih banyak hadits yang lain dan memberi penegasan yang sama serta diakui secara ijma’ oleh para Imam Madzahib al-Arba’ah, bahwa:


(فمن أحياها) أي: الأرض الموات (ملكها) بإجماع العلماء القائلين بملك الأرض الموات بالإحياء (حاشية الروض المربع ٥/ ٤٧٥ - عبد الرحمن القاسم (١٣٩٢ هـ)


Artinya, "Barang siapa yang menghidupi bumi mati, maka ia berhak menguasainya dengan kesepakatan para ulama yang berpendapat bahwa bumi mati bisa dimiliki dengan jalan menghidupkannya.” (Hasyiyatu al-Raudl al-Murbi’ li Abdi al-Rahman al-Qasim , Juz 5, halaman 475)


Konsepsi dasar yang diakui sebagai ijma’ di sini, adalah:


(1) bahwa yang disebut sebagai bumi mati, adalah bumi yang belum diliputi oleh hak penguasaan.


(2) Oleh karena itu, maka pihak yang membuka dan menghidupinya, memiliki hak atas tanah yang dibuka.


وجه الدلالة: أن الأرض الميتة إنما سميت ميتة لعدم الملك والإحياء لها (موسوعة الإجماع في الفقه الإسلامي ٢/‏٨٨ — مجموعة من المؤلفين)


Artinya, “Arah penyimpulan dalil di sini adalah bahwasanya bumi itu disebut sebagai mati karena ketiadaan kepemilikan sebelumnya. Menghidupinya, adalah sama dengan memilikinya.” (Mausu’atu al-Ijma’ fi al-Fiqh al-Islamy, Juz 2, halaman 88)


Tidak ada satu ulama’ pun yang menentang terhadap konsep dasar ini, oleh karenanya status ijma’ itu diakui sebagai yang legal dan menjadi landasan dalil bagi perkembangan konsep berikutnya saat mulai terbit adanya wilayah kekuasaan. 


Ustadz Syamsudin, Pegiat Aswaja NU Jatim