Syariah

Kotoran di Bawah Kuku, Apakah Menghalangi Sahnya Wudhu?

Sabtu, 23 Februari 2019 | 12:00 WIB

Kotoran di Bawah Kuku, Apakah Menghalangi Sahnya Wudhu?

Ilustrasi (via wired.com)

Salah satu syarat sahnya wudhu adalah tidak adanya benda-benda yang melekat dalam kulit yang wajib dibasuh. Syarat ini dimaksudkan agar seluruh anggota wudhu dapat terbasuh dengan air.  Jadi, ketika terdapat benda atau kotoran yang melekat pada kulit seseorang, lalu ia wudhu tanpa menghilangkan benda dan kotoran tersebut, maka wudhu yang dilakukan olehnya dihukumi tidak sah. 

Namun, apakah ketentuan tersebut juga berlaku pada kotoran-kotoran yang terdapat pada kuku, mengingat hal tersebut sering sekali terjadi?

Dalam menjelaskan status kotoran yang terdapat di bawah kuku, para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam tiga pandangan.

Pertama, status kotoran di bawah kuku sama seperti kotoran-kotoran lain yang dianggap sebagai benda yang menghalangi sampainya air pada kulit di bawah kuku, maka wujudnya kotoran ini dianggap sebagai hal yang menghalangi sahnya wudhu. Pendapat ini dijadikan pijakan oleh banyak ulama Syafi’iyah.

Kedua, status kotoran di bawah kuku bukan sebagai penghalang sahnya wudhu, sebab kotoran-kotoran ini merupakan hal yang sering terjadi (‘umum al-balwa) pada banyak orang dan sulit untuk menghilangkannya pada setiap akan memulai wudhu. Kotoran kuku yang dimaksud  mengecualikan terhadap kotoran-kotoran yang jarang melekat dalam kuku, seperti kotoran yang muncul dari adonan roti, tepung, mentega dan hal sesamanya, maka dalam jenis kotoran demikian wajib bagi seseorang untuk menghilangkannya. Pendapat demikian merupakan pandangan Imam al-Ghazali, az-Zarkasyi dan ulama lainnya.

Ketiga, kotoran di bawah kuku yang ditoleransi (ma’fu) hanya terbatas pada kotoran yang berasal dari tubuh, misalnya seperti keringat yang muncul dari kulit lalu melekat dalam bawah kuku, maka kotoran jenis demikian tetap tidak berpengaruh dalam keabsahan wudhu. Sedangkan kotoran yang berasal dari benda lain, seperti dari debu, tanah dan semacamnya maka dapat mencegah sahnya wudhu. Klasifikasi tersebut tidak hanya berlaku pada kotoran di bawah kuku, tapi juga berlaku pada kotoran-kotoran lain yang melekat dalam anggota wudhu. Pendapat ini merupakan pandangan Imam al-Baghawi. 

Ketiga pendapat di atas dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:

وكذا يشترط على ما جزم به كثيرون أن لا يكون وسخ تحت ظفر يمنع وصول الماء لما تحته خلافا لجمع منهم الغزالي والزركشي وغيرهما وأطالوا في ترجيحه وصرحوا بالمسامحة عما تحتها من الوسخ دون نحو العجين 
 وأشار الأذرعي وغيره إلى ضعف مقالتهم 
 وقد صرح في التتمة وغيرها بما في الروضة وغيرها من عدم المسامحة بشيء مما تحتها حيث منع وصول الماء بمحله 
 وأفتى البغوي في وسخ حصل من غبار بأنه يمنع صحة الوضوء بخلاف ما نشأ من بدنه وهو العرق المتجمد 

“Begitu juga disyaratkan (dalam keabsahan wudhu) seperti yang diyakini oleh banyak ulama bahwa tidak diperbolehkan wujudnya kotoran di bawah kuku yang dapat menghalangi sampainya air pada bagian kulit di bawah kuku. Hukum tersebut berbeda menurut sekumpulan ulama diantaranya imam al-Ghazali, Imam az-Zarkasyi dan imam-imam lainnya. Mereka memberi penjelasan yang panjang dalam mengunggulkan pendapat ini dan menegaskan bahwa kotoran yang berada di bawah kuku adalah hal yang ditolelir dalam keabsahan wudhu kecuali kotoran tersebut berupa kotoran-kotoran sejenis adonan roti. 

Sedangkan Imam al-Adzra’i mengisyaratkan lemahnya pendapat mereka dan menjelaskan dalam kitab at-Tatimmah dan kitab lainnya dengan berpijak pada penjelasan dalam kitab ar-Rawdhah dan kitab lainnya bahwa kotoran di bawah kuku tidak dapat ditolelir, sekiranya kotoran tersebut mencegah sampainya air pada tempat di bawah kuku. Sedangkan Imam al-Baghawi memfatwakan bahwa  kotoran yang berasal dari debu dapat mencegah sahnya wudhu berbeda hukumnya ketika kotoran berasal dari hal yang muncul dari badan seseorang yaitu keringat yang mengeras (lalu menjadi kotoran)”  (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, Hal. 35)

Dari ketiga pendapat di atas, pendapat yang dianggap ringan dan tidak sulit untuk diamalkan adalah pendapat kedua, terlebih ketika diterapkan bagi orang awam. Sebab dengan berpijak pada pendapat tersebut, kotoran kuku yang berasal dari debu dan semacamnya dianggap bukan sebagai penghalang sahnya wudhu, selama jenis kotoran bukan berasal dari benda yang langka atau jarang melekat dalam bagian bawah kuku, karena jenis kotoran ini mudah untuk menghilangkannya. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab Hawasyi Asy-Syarwani wa al-‘Ubadi:

ـ (أو جرم كثيف) كدهن جامد وكوسخ تحت الاظفار نهاية زاد شرح بافضل خلاف للغزالي اه قال الكردي عليه قال الزيادي في شرح المحرر وهذه المسألة مما تعم بها البلوى فقل من يسلم من وسخ تحت أظفار يديه أو رجليه فليتفطن لذلك انتهى وقال الشارح في حاشية التحفة وفي زيادات العبادي وسخ الاظفار لا يمنع جواز الطهارة لانه تشق إزالته بخلاف نحو العجين تجب إزالته قطعا لانه نادر ولا يشق الاحتراز عنه واختار في الاحياء والذخائر هذا فقال يعفى عنه وإن منع وصول الماء ما تحته

“Benda yang tebal -pada kulit- (dapat mencegah sahnya wudhu) seperti minyak yang mengeras dan seperti halnya kotoran yang berada di bawah kuku, berbeda halnya menurut pendapat Imam al-ghazali. Imam al-Kurdi berkata “Berkata Imam az-Zayadi dalam Syarh al-Muharrar “permasalahan ini merupakan sebagian dari hal yang umum terjadi, sedikit orang yang terhindar dari kotoran di bawah kuku kedua tangannya atau kakinya, hendaknya engkau mengerti hal tersebut” Asy-Syarih berkata dalam kitab Hasyiyah at-Tuhfah dan dalam Ziyadat al-‘Ubadi bahwa kotoran kuku tidak mencegah keabsahan bersuci sebab kotoran tersebut sulit untuk dihilangkan, berbeda halnya benda seperti adonan roti, maka wajib untuk menghilangkannya karena dianggap sangat langka dan tidak sulit untuk menghindarinya” pendapat tersebut dipilih dalam kitab al-Ihya’ dan ad-Dakhair, lalu beliau berkata “kotoran dibawah kuku merupakan hal yang di ma’fu meskipun sampai mencegah sampainya air terhadap bagian kulit dibawah kuku” (Abdul Hamid al-Makki asy-Syarwani dan Ahmad bin Qasim al-‘Ubadi, Hawasyi asy-Syarwani wa al-‘Ubadi, Juz 1, Hal. 187). 

Ketiga pendapat di atas sama-sama dapat diamalkan, sebab berasal dari para ulama Syafi’iyah yang dapat dipertanggungjawabkan. Tinggal pendapat mana yang menurut kita lebih baik untuk diamalkan dan sesuai dengan pilihan kemantapan hati kita. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)