Bushiri
Kolomnis
Wakaf merupakan ibadah sosial dalam Islam yang berkelanjutan dan berkontribusi besar dalam kesejahteraan umat. Sebagai instrumen filantropi, wakaf telah mendukung berbagai fasilitas umum, seperti tempat ibadah, pendidikan, dan layanan kesehatan, yang manfaatnya terus dirasakan masyarakat.
Secara tradisional, wakaf lebih dikenal dalam bentuk aset tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Banyak lembaga pendidikan, rumah sakit, dan masjid besar di dunia merupakan hasil wakaf dari individu maupun kelompok dermawan. Namun, seiring perkembangan zaman, konsep wakaf berkembang, salah satunya melalui wakaf uang, yang menjadi solusi bagi mereka yang ingin berwakaf tanpa memiliki aset tetap.
Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Positif
Baca Juga
Dalil Pensyariatan dan Keutamaan Wakaf
Wakaf uang merupakan salah satu bentuk wakaf benda bergerak yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi umat. Dalam hukum positif Indonesia, ketentuan mengenai wakaf uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan pelaksananya sebagai berikut:
- Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang telah ditunjuk.
- Wakaf uang dilakukan dengan pernyataan kehendak wakif secara tertulis.
- Wakaf uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat sebagai bukti sahnya penyerahan wakaf.
- Sertifikat wakaf uang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan Syariah dan disampaikan kepada wakif serta nazhir.
- Lembaga Keuangan Syariah mendaftarkan harta wakaf berupa uang kepada Menteri Agama dalam waktu tujuh hari kerja setelah sertifikat diterbitkan.
Untuk memperjelas mekanisme wakaf uang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf. Beberapa ketentuan yang diatur dalam peraturan ini mencakup:
- Wakaf uang yang dapat diwakafkan harus dalam mata uang rupiah.
- Jika uang yang akan diwakafkan berbentuk mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.
- Wakif diwajibkan untuk:
a. Hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendaknya secara langsung.
b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang diwakafkan.
c. Menyetorkan uang secara tunai ke LKS-PWU.
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakaf sebagai bukti sah perwakafan. - Jika wakif tidak dapat hadir langsung, ia dapat menunjuk wakil atau kuasa untuk melakukan proses wakaf uang.
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Uang dalam Undang-Undang
Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang harus dilakukan sesuai prinsip syariah dan regulasi yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 menegaskan bahwa pengelolaan wakaf uang hanya boleh dilakukan melalui investasi pada produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan/atau instrumen keuangan syariah. Beberapa ketentuan penting dalam pengelolaan wakaf uang meliputi:
- Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dilakukan melalui investasi pada produk keuangan syariah.
- Jika Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) menerima wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, maka nazhir hanya dapat mengelolanya di LKS tersebut.
- Pengelolaan wakaf uang dalam bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai regulasi.
- Jika wakaf uang diinvestasikan di luar bank syariah, maka harus diasuransikan dalam asuransi syariah.
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, Badan Wakaf Indonesia (BWI) menerbitkan Peraturan BWI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf. Peraturan ini menjadi acuan dalam memastikan bahwa wakaf uang dapat dikelola dengan optimal untuk kepentingan umat.
Dalam peraturan BWI tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dapat dilakukan dalam bentuk investasi di luar produk-produk Lembaga Keuangan Syariah atas persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia. Persetujuan tersebut diberikan setelah Badan Wakaf Syariah (BWI) melakukan kajian atas kelayakan investasi yang dimaksud. Sebaran investasi wakaf uang (portofolio wakaf uang) dapat dilakukan dengan ketentuan 60% investasi dalam instrumen LKS dan 40% investasi di luar LKS.
Wakaf Uang dalam Putusan NU
Pembahasan mengenai wakaf uang telah menjadi salah satu topik dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2002 yang diselenggarakan di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta. Dalam forum tersebut, para kiai menyepakati bahwa menurut jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, serta sebagian ulama Hanafi, wakaf dalam bentuk uang tunai tidak dianggap sah karena tidak memenuhi syarat-syarat wakaf.
Namun, terdapat pandangan berbeda dari sebagian ulama Hanafi yang memperbolehkan wakaf uang, asalkan pengelolaannya dilakukan dengan cara yang tetap menjaga nilai pokoknya (Ahkamul Fuqaha’, halaman 572-573.)
Syekh Nizamuddin al-Barnahaburi bersama sekelompok ulama India menjelaskan bahwa wakaf dalam bentuk mata uang tidak sah. Hal ini dikarenakan uang tidak memenuhi kriteria harta wakaf, yaitu harta yang dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghabiskan wujud fisiknya.
Dengan kata lain, uang yang digunakan akan habis dalam transaksi, berbeda dengan aset seperti tanah atau bangunan yang tetap lestari meskipun dimanfaatkan. Oleh karena itu, menurut pandangan mereka, wakaf uang tidak memenuhi syarat sahnya wakaf dalam hukum Islam.
وَأَمَّا وَقْفُ مَا لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِتْلاَفِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِيْ قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ. وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيْرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ
Artinya, “Adapun mewakafkan sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, seperti emas, perak, makanan, dan minuman, maka hukumnya tidak diperbolehkan menurut pendapat mayoritas ulama. Yang dimaksud dengan emas dan perak di sini adalah dirham, dinar, dan segala sesuatu yang bukan berupa perhiasan.” (Nizamuddin al-Barnahaburi dkk, Al-Fatawa Al-Hindiyyah, [Surabaya, Darul Ilmi: t.t.] jilid I, halaman 256)
Meskipun sebagian besar ulama menolak keabsahan wakaf uang, terdapat pandangan berbeda dari ulama mazhab Hanafi, salah satunya Syekh Ibnu Syihab az-Zuhri. Beliau berpendapat bahwa wakaf dengan uang diperbolehkan, sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Imam al-Bukhari.
وَقَدْ نُسِبَ الْقَوْلُ بِصِحَّةِ وَقْفِ الدَّنَانِيرِ إِلَى إبْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ فِيمَا نَقَلَهُ الْإِمَامُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسَمَاعِيلَ البُخَارِيُّ فِى صَحِيحِهِ حَيْثُ قَالَ: قَالَ الزُّهْرِيُّ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِينَارٍ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ فَيَتَّجِرُ وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ وَالْأَقْرَبِينَ
Artinya, “Pendapat tentang sahnya mewakafkan dinar (uang) telah dinisbatkan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Beliau (Al-Bukhari) berkata bahwa Az-Zuhri berpendapat tentang seseorang yang menginfakkan seribu dinar di jalan Allah, lalu menyerahkannya kepada seorang budaknya yang bekerja sebagai pedagang agar uang tersebut diputar dalam perdagangan. Ia menetapkan bahwa keuntungannya akan disedekahkan kepada fakir miskin dan kerabat dekat.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, Risalah fi Jawazi Waqf an-Nuqud, [Bairut, Darul Ibnu Hazm: 1997], halaman 20-21).
Bagi ulama yang membolehkan wakaf uang, pelaksanaannya dilakukan dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Dalam praktiknya, uang wakaf tidak langsung diberikan kepada penerima manfaat (mauquf ‘alaih), tetapi dikelola terlebih dahulu dalam bentuk investasi syariah, seperti mudharabah atau mekanisme lainnya yang memastikan nilai pokoknya tetap terjaga.
Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tersebut kemudian disalurkan kepada pihak yang berhak menerima manfaat sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan cara ini, wakaf uang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan, sekaligus menjaga nilai pokoknya agar tetap lestari.
وَقِيْلَ فِيْ مَوْضِعٍ تَعَارَفُوا ذَلِكَ يُفْتَى بِالْجَوَازِ. قِيْلَ كَيْفَ: قَالَ الدَّرَاهِمُ تُقْرَضُ لِلْفُقَرَاءِ ثُمَّ يَقْبِضُهَا أو تُدْفَعُ مُضَارَبَةً بِهِ وَيَتَصَدَّقُ بِالرِّبْحِ
Artinya, “Dikatakan bahwa di tempat di mana masyarakat telah terbiasa dengan praktik tersebut, maka fatwa yang diberikan adalah membolehkannya. Ketika ditanya bagaimana caranya, beliau berkata: Dirham (uang) tersebut dapat dipinjamkan kepada fakir miskin, lalu setelahnya dikembalikan. Bisa juga diserahkan sebagai modal mudharabah (kerja sama dagang), di mana keuntungannya disedekahkan.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, 20-21).
Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai wakaf uang, terlihat bahwa hukum Islam memberikan ruang bagi ijtihad dalam menyesuaikan praktik wakaf dengan kebutuhan umat.
Meskipun mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menolak keabsahan wakaf uang, pandangan ulama Hanafi yang memperbolehkan praktik ini dengan syarat pengelolaan yang menjaga nilai pokoknya memberikan alternatif bagi umat Islam dalam memanfaatkan instrumen keuangan modern.
Dalam konteks ekonomi Islam saat ini, wakaf uang memiliki potensi besar dalam memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan. Dengan pengelolaan yang sesuai prinsip syariah, wakaf uang dapat menjadi instrumen pemberdayaan sosial dan ekonomi, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.
Oleh karena itu, penting bagi lembaga pengelola wakaf untuk memastikan bahwa wakaf uang dikelola dengan amanah, profesional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah agar maslahatnya dapat terus lestari.
Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Perintah Membaca
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
3
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Turunnya Kitab Suci
4
PBNU Adakan Mudik Gratis Lebaran 2025, Berangkat 25 Maret dan Ada 39 Bus
5
Khutbah Jumat: Pengaruh Al-Qur’an dalam Kehidupan Manusia
6
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Peduli Lingkungan dan Sosial
Terkini
Lihat Semua