Syariah

Maulid Nabi menurut Syekh Ali Jum’ah

Rab, 4 Oktober 2023 | 18:30 WIB

Maulid Nabi menurut Syekh Ali Jum’ah

Foto ilustrasi (NU Online/Freepik)

Syekh Ali Jum’ah yang pernah menjabat sebagai mufti (ahli fatwa) agung di Mesir, pernah ditanya perihal hukum merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Bentuk pertanyaannya adalah sebagai berikut, “Umat Islam di semua penjuru dunia merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad di setiap tahunnya. Sebagian ada yang menilai perayaan ini bid’ah dan ada juga yang tidak, lantas bagaimana hukum sebenarnya dari perayaan maulid nabi?


Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu Syekh Ali Jum’ah menjelaskan kemuliaan dan keluhuran nabi. Ia menjelaskan bahwa perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad pada dasarnya adalah untuk memperlihatkan dan berbahagia atas karunia dan nikmat terbesar dari Allah swt kepada alam semesta, karena itu Allah mengutus nabi sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).


Merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad merupakan ekspresi senang dan bahagia atas nikmat yang telah Allah berikan kepada umat Islam. Hal ini merupakan salah satu perbuatan ibadah yang paling disenangi oleh Allah swt. Dengan kata lain, merayakan maulid nabi merupakan ibadah yang paling disenangi oleh Allah karena hal itu menunjukkan ekspresi cinta dan senang dengan kelahiran nabi. Sedangkan mencintai nabi merupakan salah satu pokok keimanan setiap orang.


اَلْاِحْتِفَالُ بِذِكْرَى مَوْلِدِهِ مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ وِأَعْظَمِ الْقُرْبَاتِ، لِأَنَّهُ تَعْبِيْرٌ عَنِ الْفَرْحِ وَالْحُبِّ لَهُ. وَمَحَبَّةُ النَّبِي أَصْلٌ مِنْ أُصُوْلِ الْاِيْمَانِ


Artinya: “Merayakan peringatan maulid nabi merupakan salah satu paling utamanya ibadah dan paling agungnya perbuatan sunnah, karena ia merupakan ekspresi cinta dan senang kepadanya. Sedangkan cinta kepada nabi merupakan pokok dari keimanan.”


Pendapat Syekh Ali Jum’ah ini berdasarkan salah satu hadits nabi, yang menegaskan bahwa kesempurnaan iman setiap orang adalah ketika mereka benar-benar cinta kepada nabinya melebihi cintanya kepada anak, orang tua dan semua manusia. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah bersabda:


لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

 
Artinya: “Tidak seorang pun di antara kalian yang beriman (dengan iman yang sempurna) sampai aku (Nabi Muhammad) lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya dan semua manusia.” (HR Bukhari).


Tidak hanya itu, menurut Mufti Agung Mesir itu, merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad yang di dalamnya adalah bentuk pemuliaan dan pengagungan kepada Rasulullah merupakan sesuatu yang tidak perlu dibahas kembali. Sebab, memuliakan dan mengagungkan nabi merupakan anjuran dari syariat Islam tanpa perbedaan pendapat antara ulama. Maka mengingkari perayaan tersebut sama halnya dengan mengingkari penghormatan kepada nabi,


اَلْاِحْتِفَالُ بِمَوْلِدِهِ هُوَ الْاِحْتِفَاءُ بِهِ. وَالْاِحْتِفَاءُ بِهِ أَمْرٌ مَقْطُوْعٌ بِمَشْرُوْعِيَّتِهِ


Artinya: “Merayakan hari kelahiran nabi merupakan bentuk pemuliaan kepadanya. Memuliakannya merupakan suatu anjuran dari syariat yang sudah pasti (tanpa diperselisihkan).”


Lebih tegas, menurut ulama kontemporer abad 14 Hijriah ini, perayaan maulid nabi dengan seremonial yang terjadi saat ini pada hakikatnya bukanlah perayaan baru yang ada saat ini saja, namun sudah ada sejak abad keempat atau kelima Hijriah.


Pada abad itu, para ulama salafus shalih menghidupi malam-malam kelahiran nabi, yaitu tanggal 12 Rabiul Awal dengan beragam macam ibadah-ibadah sunnah, mulai dari menyedekahkan makanan, membaca Al-Qur’an dan dzikir-dzikir, bershalawat, menyanyikan syair-syair dan pujian-pujian kepada nabi, sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam saat ini.


Setelah menjelaskan pandangan pribadi Syekh Ali Jum’ah, ia kemudian mengutip beberapa pendapat ulama yang membolehkan merayakan maulid nabi. Di antaranya adalah pendapat Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, yaitu:


أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَة الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِي وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ ثُمَّ يَمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلىَ ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَافِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِي وَإِظْهَارِ الفَرْحِ وَالْاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ


Artinya: “Hukum asal pelaksanaan maulid nabi, yang mana perayaan ini adalah berkumpulnya manusia, membaca Al-Qur’an, membaca kisah-kisah Nabi Muhammad pada permulaan perintah nabi, serta kejadian-kejadian luar biasa saat beliau dilahirkan, kemudian mereka menikmati hidangan yang disajikan dan kembali pulang ke rumah masing-masing tanpa ada tambahan lainnya merupakan perbuatan baru (bid’ah) yang dinilai baik (hasanah). Orang yang merayakannya akan mendapatkan pahala, karena di dalamnya terdapat pemuliaan terhadap keagungan nabi dan menunjukkan kebahagiaan atas kelahirannya yang mulia.” (Imam as-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi fil Fiqh wa ‘Ulumit Tafsir wal Hadits wal Ushul wa Sairil Funun, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2000], juz I, halaman 181).


Selain mengutip pendapat as-Suyuthi ini, Syekh Ali Jum’ah juga mengutip pendapat Imam Syamsuddin al-Jazairi. Ia mengatakan dalam kitabnya bahwa Allah swt meringankan siksa kepada Abu Lahab setiap hari Senin. Hal itu lantaran ia sangat bahagia atas kelahiran keponakannya Nabi Muhammad, kemudian saking bahagianya ia memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah. Dengan perantara itu, kemudian Allah memberikan keringanan siksa setiap hari Senin kepadanya, di mana pada hari tersebut bertepatan dengan hari dilahirkannya nabi.


Melihat kisah ini, kemudian Imam Syamsuddin Ibnu al-Jazari berkomentar, jika orang yang tidak percaya pada ajaran Nabi Muhammad saja Allah ringankan siksanya karena bahagia atas kelahiran nabi, lantas bagaimana dengan umat Islam yang beriman kepadanya dan berbahagia atas kelahirannya? Tentu balasannya adalah masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan.


Selain dua pendapat ini, Syekh Ali Jum’ah juga mengutip banyak pendapat para ulama kalangan Ahlussunnah wal Jamaah yang membolehkan perayaan maulid nabi, seperti Imam Ibnu Katsir, Ibnul Jauzi, al-Hafiz Ibnu Dahiyah al-Andalusi, al-Hafiz Ibnu Hajar, dan ulama lainnya.


Kesimpulannya, hukum merayakan maulid nabi menurut Syekh Ali Jum’ah merupakan perbuatan sunnah, karena sudah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para ulama dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Namun, ia juga memberikan catatan penting, bahwa dalam perayaan ini tidak boleh terdapat hal-hal yang bisa mencederai kesakralan maulid nabi, seperti terjadinya kemaksiatan-kemaksiatan dan kemungkaran. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.