Syariah

Memahami dengan Bijak 'Suami Milik Ibunya'

Kam, 26 Oktober 2023 | 08:30 WIB

Memahami dengan Bijak 'Suami Milik Ibunya'

Suami istri (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Beberapa waktu lalu viral di media sosial seorang perempuan yang bercerai karena perintah dari orang tuanya. Peristiwa ini tentunya menimbulkan pertanyaan di benak warganet, apakah yang dilakukan si suami dari perempuan tersebut benar atau salah.


Tentu jawabannya yang tahu hanyalah si suami dan orangtuanya. Sebab sebagaimana sudah pernah dijelaskan melalui salah satu artikel NU Online dengan judul “Hukum Menceraikan Istri atas Perintah Orang Tua”, yaitu kembali kepada kondisinya. 


Apabila kondisinya si perempuan merupakan seorang istri yang shalihah dan memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, maka permintaan cerai dari orang tuanya tidak perlu dipenuhi. Al-Hafnawi berkata:


وفي هذه الحال لا يستجيب الابن لطلب التطليق وعليه أن يداريها ويتألفهما ويحاول إقناعهما بكلام طيب لين حتى يكفا عن هذا الطلب 


Artinya: “Dalam kondisi ini, anak tidak perlu memenuhi perintah cerai dari orang tuanya. Si anak harus membujuk dan berlaku ramah serta berusaha membuat orang tuanya membatalkan permintaan tersebut dengan perkataan yang baik. (M Ibrahim Al-Hafnawi, Fatawa Syar’iyyah Mu’ashirah, [Kairo, Darul Hadits, 2012 M/1433 H], halaman 504).


Namun yang jadi pertanyaan, benarkah perkataan para netizen bahwa “anak laki-laki adalah milik ibunya”?


Sumber perkataan setelah ditelusuri ternyata merupakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak-nya. Riwayatnya adalah:


عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟ قَالَ: زَوْجُهَا قُلْتُ: فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: أُمُّهُ


Artinya: “Dari ‘Aisyah ra, beliau bertanya pada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah saw, siapakah yang paling berhak atas seorang perempuan?’ Nabi saw menjawab, ‘Suaminya’, ‘Aisyah bertanya lagi, ‘Kemudian siapakah yang paling berhak atas seorang laki-laki?’ Nabi saw menjawab, ‘Ibunya’. (HR Al-Hakim).


Perlu dipahami, hadits dapat diamalkan apabila sudah teruji keshahihannya. Pada rantai sanad hadits ini, tidak ada komentar kecacatan dalam hadits kecuali hanya ada satu perawi yang bernama Abu ‘Utbah yang tidak seorang pun meriwayatkan darinya kecuali Mis’ar. (Al-Haitsami, Majma’ Zawaid, [Beirut: Dar al-Fikr, 1412], jilid IV, hal. 357).  


Apabila kita membaca sekilas hadits ini, maknanya bisa jadi dipahami yang memiliki hak atas perempuan adalah suaminya, sehingga isteri harus mematuhi suami. Kemudian yang paling berhak atas suami adalah ibunya, sehingga suami harus patuh dengan ibunya.


Pemaknaan seperti ini jika tidak diamalkan secara bijaksana akan menjadikan ibu dari si suami berbuat sewenang-wenang terhadap menantunya. Boleh jadi, atas dasar hadits tersebut dan hawa nafsunya, si ibu dari suami meminta anaknya menceraikan isterinya, padahal mereka sudah memiliki anak, sehingga isteri dan anaknya pun terlantar begitu saja.


Namun apabila kita memahaminya dari sisi bakti seorang anak laki-laki, kendati sudah menjadi suami, ia harus tetap berbakti kepada ibunya. Sedangkan seorang isteri apabila sudah berumah tangga maka mesti mendahulukan kepatuhan terhadap suami dibanding pada orangtuanya.


Atau dapat dipahami, apabila keadaan memaksa dan harus memilih berbuat patuh pada siapa, maka bagi seorang perempuan yang sudah berumah tangga, ia harus mendahulukan kepatuhan pada suami. Sedangkan bagi anak laki-laki, orang yang paling berhak ia patuhi adalah ibunya di antara bapak, isteri, kakak dan yang lainnya.


Memang tidak terdapat penjelasan ulama mengenai hadits ini secara detail, namun apabila kita melihat pada implikasi hukumnya, maka hadits tersebut menjadi dasar pendahuluan nafkah terhadap ibu dibanding ayah apabila seorang anak dalam kondisi wajib menafkahi orang tua jika ia tidak mampu melakukannya kecuali hanya pada salah satunya saja.


Lantas apakah atas dasar hadits tersebut, seorang suami sah mendahulukan nafkah terhadap ibunya dibanding istrinya, padahal uangnya tidak cukup kecuali apabila dinafkahkan pada salah satu di antara mereka saja?


Jawabannya, ketika harta yang dimiliki tidak dapat diberikan kecuali hanya untuk kebutuhan rumah tangga, maka nafkah pada istri dan anak lebih didahulukan dari pada ibu. Rasulullah saw pernah bersabda:


عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَعْتَقَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عُذْرَةَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَكَ مَالٌ غَيْرُهُ فَقَالَ لَا فَقَالَ مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي فَاشْتَرَاهُ نُعَيْمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْعَدَوِيُّ بِثَمَانِ مِائَةِ دِرْهَمٍ فَجَاءَ بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُولُ فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ 


Artinya: “Dari Jabir, ia berkata ‘Seorang laki-laki dari Bani Udzrah memerdekakan hamba sahayanya dengan tebusan. Berita itu sampai kepada Rasulullah saw, beliau bertanya kepada pemilik budak itu ‘Masih adakah hartamu selain budak itu?’ orang itu menjawab, ‘Tidak, wahai Rasulullah.’ Maka Rasulullah saw pun berkata, ‘Siapakah yang mau membeli budak itu daripadaku?’ Akhirnya budak itu pun dibeli oleh Nu'aim bin Abdullah Al Adawi, dengan harga delapan ratus dirham yang diserahkannya kepada Rasulullah saw, dan beliau meneruskannya kepada pemilik hamba sahaya itu. Kemudian beliau bersabda kepadanya, ‘Manfaatkanlah uang ini untuk dirimu sendiri, bila ada sisanya maka untuk keluargamu, jika masih tersisa, maka untuk kerabatmu, dan jika masih tersisa, maka untuk orang-orang di sekitarmu’.” (HR Muslim).


Dalam hadits lain disebutkan:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ أَوْ قَالَ زَوْجِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَبْصَرُ


Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Nabi saw memerintahkan untuk bersedekah. Kemudian seorang laki-laki berkata, ‘wahai Rasulullah, aku memiliki uang satu dinar. Kemudian beliau bersabda: ‘Sedekahkan kepada dirimu!’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain’. Beliau bersabda:, ‘Sedekahkan kepada anakmu!’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada istrimu!’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada pembantumu!’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain’. Beliau bersabda, ‘Engkau lebih tahu’.” (HR. Abu Dawud).


Al-Khatthabi menjelaskan, sebagaimana dikutip dalam ‘Awnul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud: “Urutan sedekah dalam hadits tersebut merupakan perintah untuk memberi nafkah pada yang lebih utama kemudian baru urutan-urutan setelahnya.”


Sedangkan al-Nawawi memberi jalan tengah dalam pembagian pemberian nafkah serta siapa yang seharusnya didahulukan oleh seorang suami. Beliau berkata dalam Rawdhatuth Thalibin [Beirut: al-Maktab al-Islami, 1405] jilid IX, hal. 93:


فإذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم نظر إن وفى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم وإن لم يفضل عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد قدم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب هذا أطبق عليه الأصحاب لأن نفقتها آكد فإنها لا تسقط بمضي الزمان ولا بالإعسار


Artinya: “Jika ada beberapa orang yang membutuhkan dan mereka berada dalam tanggung jawab satu orang, maka orang tersebut perlu mempertimbangkan: apabila penghasilannya cukup menafkahi semua, maka silakan nafkahi semuanya, baik kerabat jauh maupun dekat. Sedang apabila tidak cukup kecuali untuk dirinya dan satu orang lain, maka ia harus mendahulukan istrinya atas para kerabatnya. Pendapat inilah yang diterapkan para sahabat [al-Nawawi]. Sebab nafkah pada istri adalah hak paten, tidak gugur seiring berjalannya waktu, juga ketika di masa-masa sulit.”

 

Perlu dicatat, dalam kondisi harta suami terbatas hanya cukup untuk dirinya dan satu orang lagi,  nafkah istri diprioritaskan daripada nafkah ibu. Demikian ini karena nafkah istri menjadi wajib karena sebagai ganti ketaatannya terhadap suami (’iwadh atau ganti rugi atas ketaatannya) atau dominan sisi transaksional antarmanusia, sementara nafkah ibu menjadi wajib karena kepedulian (muwasa‘ah) atau dominanan sisi ibadahnya. Sementara dalam fiqih dikenal kaidah: Hak-hak manusia lebih didahulukan daripada hak-hak Allah, sebab hak manusia didasarkan pada prinsip yang ketat, sedangkan hak-hak Allah didasarkan pada prinsip yang longgar. (Al-Amidi, Al-Ihkam, Beirut, Darul Kitab Al-’Arabi: 1404 H), juz III, halaman 260).
 

As-Syirazi menjelaskan:
 

لأن نفقة القريب مواساة ونفقة الزوجة عوض فقدمت على المواساة ولأن نفقة الزوجة تجب لحاجته فقدمت على نفقة القريب كنفقة نفسه 
 

Artinya, “Karena nafkah kerabat (termasuk ibu) adalah kepedulian, sedangkan nafkah istri adalah ganti rugi; dan karena nafkah istri menjadi wajib sebab kebutuhan suami (terhadap ketaatan​​​​​​ istri) sehingga didahulukan daripada nafkah kerabat, sebagaimana nafkah dirinya sendiri (didahulukan daripada nafkah orang lain.” (As-Syirazi, Al-Muhaddzab, juz II, halaman 166).

 


Kesimpulannya, apabila si suami punya penghasilan yang lebih dari cukup untuk keluarga kecilnya, maka tidak apa-apa ia menafkahkannya pada orang tuanya, atau jika tidak cukup maka pada ibunya saja.  Apabila dirasa penghasilannya tidak cukup kecuali untuk dirinya, istri dan anaknya maka perlu mendahulukan mereka dalam hal pemberian nafkah.


Demikianlah penjelasan mengenai perkataan “anak laki-laki adalah milik ibunya” yang ternyata bersumber dari suatu hadits. Pengamalan suatu hadits dapat menjadi baik apabila didasarkan pada pemahaman yang benar, namun sebaliknya ia akan menjadi bumerang apabila diamalkan dengan sembarangan dan hawa nafsu. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Ilmu Hadits Darus-Sunnah