Memilih Pemimpin yang Bermasalah dengan Hukum
NU Online · Jumat, 27 September 2024 | 10:00 WIB
Muhamad Hanif Rahman
Kolomnis
Dalam waktu dekat, rakyat Indonesia kembali akan mempunyai hajat besar, yaitu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota tahun 2024. Agenda pemungutan suara oleh KPU akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024.
Banyak orang dari berbagai kalangan dan latar belakang mencalonkan diri dan siap berkompetisi untuk meraih jabatan-jabatan strategis tersebut. Mulai dari pendatang baru di dunia politik hingga politikus kawakan, bahkan petahana (inkumben).
Deklarasi dukungan kepada para calon datang dari berbagai unsur mulai dari organisasi masyarakat (ormas), tokoh masyarakat, hingga tokoh agama turut serta meramaikan kontestasi ini.
Di era digital seperti sekarang, mencari rekam jejak dan jejak digital para calon pemimpin menjadi hal yang mudah. Hal ini menjadi penting agar masyarakat tidak salah dalam memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan.
Baca Juga
Memilih Pemimpin Non Muslim, Bolehkah?
Sayangnya, banyak di antara mereka yang ambisinya meraih jabatan terlampau besar, tetapi tidak sebanding dengan komitmen untuk mengemban tugas dengan baik jika terpilih. Tidak sedikit pula yang kurang memiliki tekad mulia untuk menjadikan jabatan tersebut sebagai sarana untuk kemaslahatan rakyat.
Dalam kondisi seperti ini, semakin jarang ditemukan calon pemimpin yang benar-benar menyadari bahwa jabatan adalah amanah untuk kepentingan rakyat. Situasi ini sangat memprihatinkan, terutama ketika seseorang yang terbukti gagal dalam mengemban jabatan sebelumnya justru kembali dipilih.
Karena itu, masyarakat perlu waspada jika ada calon yang terindikasi akan cenderung menyelewengkan jabatan, mengabaikan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi, atau bahkan terlibat dalam korupsi, yang jelas-jelas merugikan masyarakat luas.
Lantas, bagaimana pandangan hukum Islam mengenai mencalonkan diri, mencalonkan, mendukung, dan memilih orang yang terbukti memiliki rekam jejak buruk, yakni telah gagal menjalankan tugas, sering mengabaikan kepentingan rakyat, menjadikan jabatannya untuk kepentingan pribadi, dan terbukti terlibat korupsi?
Pertanyaan ini dibahas secara tuntas dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU tahun 2012 di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon, pada 14-17 September 2012. Permasalahan tersebut dibahas dalam Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Waqi'iyah, yang merumuskan pandangan keagamaan terkait hal ini.
Adapun jawabannya sebagai berikut:
- Tidak boleh (haram) mencalonkan diri, bagi orang yang terkena satu di antara beberapa hal sebagai berikut:
a. Terbukti gagal dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan sebelumnya.
b. Terbukti sering mengabaikan berbagai kepentingan rakyat.
c. Terbukti sering menjadikan jabatan untuk kepentingan pribadi.
d. Terbukti sering melakukan korupsi. - Tidak boleh (haram) mencalonkan, mendukung dan/atau memilih orang yang terkena satu di antara beberapa hal sebagaimana di atas.
Hukum tidak boleh (haram) sebagaimana di atas (pada nomor 1 dan 2) karena beberapa hal tersebut menjadi bukti ia tidak memiliki keahlian, tidak jujur, tidak terpercaya, dan lebih cenderung berkhianat atas amanah kepemimpinan yang dipercayakan kepadanya.
Adapun dasar-dasar penetapan hukum dalam Munas NU selain berdasarkan Al-Qur'an dan hadits yang menjelaskan tentang kewajiban menjaga amanah, kejujuran, tanggung jawab, dan ancaman siksa di akhirat kelak bila melanggarnya, juga berdasarkan pendapat ulama yang otoritatif. Di antaranya kitab Raudhatut Thalibin karya Imam An-Nawawi.
Kitab ini memang tidak menjelaskan secara sharih (definitif) tentang hukum mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Namun ulama peserta Munas menyamakannya (ilhaq) dengan persoalan keharaman seseorang menerima dan meminta jabatan hakim sementara ia tidak mempunyai kompetensi di bidangnya. Imam An-Nawawi menyatakan:
ثُمَّ مَنْ لَا يَصْلُحُ لِلْقَضَاءِ تَحْرُمُ تَوْلِيَتُهُ، وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّوَلِّي وَالطَّلَبُ
Artinya, "Kemudian barang siapa yang tidak layak menjadi hakim, maka haram baginya untuk diangkat menjadi hakim, dan haram pula baginya menerima jabatan tersebut serta memintanya." (Raudhatut Thalibin, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1405 H], juz XI, halaman 92).
Syekh Muhammad bin Salim bin Said Bafadhal lebih lugas menerangkan, haram orang yang mengetahui dirinya tidak mampu mengemban tugas dengan baik, tidak amanah dan tidak jujur, akan berkhianat atau berniat berkhianat ketika nantinya menjabat, adalah haram meminta seluruh jabatan yang berkaitan dengan tanggung jawab kepemimpinan, termasuk juga jabatan pemerintahan. Berikut ulasannya:
ومنها التولى للإمامة العظمى أو الإمارة أو سائر الولايات كالتولي على مال يتيم أو على وقف أو مسجد أو على القضاء أو على نحو ذلك من كل ما فيه ولاية ولا يحرم ذلك فضلا عن كونه كبيرة إلا إذا صدر من شخص مع علمه من نفسه بالعجز عن القيام بتلك الوظيفة على ما هو عليه شرعا كأن علم من نفسه الخيانة فيه أو عزم عليها فيحرم عليه حينئذ سؤال ذلك وبذل المال عليه، اهـ
Artinya, "Termasuk di dalamnya adalah mengemban jabatan Imamatul Udzma, jabatan pemerintahan, atau jabatan-jabatan lainnya, seperti mengurus harta anak yatim, wakaf, masjid, peradilan, atau hal-hal lain yang berkaitan dengan tanggung jawab kepemimpinan.
Hal ini tidak diharamkan, apalagi dianggap sebagai dosa besar, kecuali jika dilakukan oleh seseorang yang mengetahui dirinya tidak mampu melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan ketentuan syariat. Misalnya, mengetahui dirinya akan berkhianat atau berniat untuk melakukannya, maka haram baginya untuk meminta jabatan tersebut dan menggelontorkan harta demi mendapatkannya." (Is'adu Rafiq, [Surabaya, Al-Hidayah: t.t], juz II, halaman 2).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami, seseorang yang tidak cakap dalam mengemban suatu jabatan dan tanggung jawab pemerintahan sesuai tuntunan syariat, yaitu berkeadilan dan bertanggung jawab, maka haram baginya untuk mencalonkan diri.
Demikian pula haram bagi siapapun untuk mencalonkan, mendukung, dan memilihnya. Terlebih lagi jika orang tersebut memiliki rekam jejak buruk sebelumnya. Ini menjadi bukti paling konkret bahwa ia memang tidak layak untuk dipilih dan menduduki jabatan tersebut. Kesengsaraan rakyat lima tahun ke depan adalah taruhannya. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
5
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
6
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
Terkini
Lihat Semua