Syariah

Mengenal 5 Dam Wajib dalam Haji dan Teknis Pelaksanaannya

Kam, 7 September 2023 | 17:00 WIB

Mengenal 5 Dam Wajib dalam Haji dan Teknis Pelaksanaannya

Mengenal 5 Dam Wajib dalam Haji dan Teknis Pelaksanaannya. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Dalam waktu dekat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar Munas dan Konbes NU 2023. Banyak permasalahan aktual yang akan dibahas di dalamnya di antaranya adalah optimalisasi tata kelola dam dan manfaat dam haji yang akan dibahas di dalam forum bahtsul masail Komisi Waqi’iyah.
 

Berkaitan hal itu, tulisan ini hadir mengenalkan 5 macam dam wajib dalam haji dan teknis pelaksanaannya, yang menjadi salah satu kajian dasar permasalahan dam tersebut.
 

Dam secara bahasa bermakna darah. Sedangkan dalam istilah operasional fuqaha maka kata dam digunakan untuk menunjukkan banyak makna. Untuk menunjukkan makna darah (termasuk pula darah haid, nifas, istihadhah), hukuman qishash, dan hadyu, dan berbagai macam darah wanita. (Mausu’h Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Mesir, Darus Shafawah], juz XXI, halaman 25).
 

Dalam konteks haji, maksud dam adalah hadyu, yaitu hewan berupa kambing, sapi atau onta yang sah digunakan berkurban, yang dihadiahkan ke tanah haram. Demikian pula istilah dam juga mencakup memberi makan orang-orang miskin dan puasa sebagai ganti dari hewan hadyu.
 

Secara umum, dam wajib ditunaikan ketika orang yang ihram haji atau umrah melakukan pelanggaran, baik karena melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban nusuk (ritual ihram haji dan umrah).
 

Dalam mazhab Syafi’i, merujuk kitab At-Taqrib, Fathul Qarib, Tausyikh dan Hasyiyyah Al-Bajuri, secara ringkas terdapat 5 macam dam wajib yaitu:
 

Pertama, dam karena meninggalkan ibadah yang diperintahkan dalam ihram. Dam ini meliputi dam tamattu’, dam qiran, dam fawat, dam karena meninggalkan ibadah yang telah dinazarkan, dam karena tidak mabit di muzdalifah dan di mina, dam karena tidak melempar jumrah, dan tidak melakukan thawaf wada’.
 

Dam macam pertama ini wajib bersifat tartib (berurutan) dan taqdir (sesuai ukuran syariat). Karena itu, pelaksanaan dam ini harus berurutan dan terukur sebagaimana berikut:

  1. Pertama kali harus ditunaikan dengan menyembelih kambing, 1/7 onta atau 1/7 sapi;
  2. Bila tidak menemukannya sama sekali atau menemukannya tapi di atas harga normal, maka baru boleh diganti dengan puasa 10 hari. Tiga hari dilakukan saat masih ihram, dan tujuh hari dilakukan setelah sampai di negeri tempat tinggalnya.
     

Kedua, dam yang wajib ditunaikan karena mencukur rambut dan taraffuh (mengambil kenyamanan) seperti memakai wewangian, minyak rambut dan semisalnya, memakai pakaian berjahit, memotong kuku, jimak kedua (setelah pelanggaran jimak pertama), jimak di antara dua tahallul, dan persentuhan kulit lelaki perempuan secara sengaja dan disertai syahwat..


Dam macam kedua ini bersifat takhyir (opsional) dan taqdir. Karenanya, pelaksanaan dam ini tidak harus secara berurutan, boleh memilih opsi dam yang ada, tapi tetap terukur sesuai ukuran syariat, sebagaimana berikut:

  1. menyembelih kambing, 1/7 onta atau 1/7 sapi;
  2. puasa tiga hari meskipun tidak berturut-turut dan dilakukan di mana saja; atau
  3. sedekah makanan pokok yang cukup digunakan untuk membayar fitrah sejumlah 3 mud (satu mud kurang lebih 7 ons) dan dibagikan kepada enam orang fakir miskin. Tiap orang 1/2 mud.


Ketiga, dam yang wajib ditunaikan karena ihshar atau terhalang dari semua jalan menyempurnakan nusuk sampai selesai. Sebab terhalang menyempurnakan nusuk ini ada enam, yaitu: (1) dihalangi untuk pergi menuju Makkah, (2) dipenjara secara zalim, (3) berstatus budak yang pergi haji tanpa izin sayidnya lalu dilarang menyempurnakan ihram olehnya, (4) berstatus sebagai istri yang dilarang menyempurnakan ihram oleh suaminya, (4) berstatus sebagai anak yang dilarang orang tua menyempurnakan ihramnya, (6) punya utang yang jatuh tempo dan oleh pemberi utang dilarang berangkat ihram.
 

Dam macam ketiga ini dilakukan tiga langkah:

  1. bertahallul di tempat orang bersangkutan tercegah untuk berangkat atau menyempurnakan nusuknya dengan niat keluar dari ihram karena faktor ihshar. Baik tempat tersebut adalah tanah halal maupun tanah haram;
  2. menyembelih kambing atau hewan penggantinya dan membagikan dagingnya di tempat tersebut; lalu
  3. mencukur rambut.

 
Keempat, dam yang wajib karena membunuh atau melumpuhkan hewan buruan dan karena memotong pohon tanah haram Makkah. 
 

Dam wajib macam keempat ini bersifat takhyir (opsional) dan ta’dil (dari menyembelih hewan berpindah pada mengeluarkan makanan pokok seharga hewan padanannya).


Untuk dam karena membunuh atau melumpuhkan hewan, maka hukumnya diperinci antara hewan yang punya padanan, dari sisi rupa dan bentuknya, dan tidak. (1) Untuk hewan yang mempunyai padanan (lahu mitslun), maka penunaian dam dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga hal, yaitu:

  1. menyembelih hewan padanannya, semisal menyembelih sapi karena membunuh sapi liar dan menyembelih kambing karena membunuh rusa, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin tanah haram;
  2. mentaqwim atau menilai harga hewan tersebut dengan harga dan mata uang tanah haram yang berlaku saat itu, lalu membelikannya makanan pokok yang cukup untuk zakat fitrah dan menyedekahkannya kepada fakir miskin tanah haram; atau
  3. berpuasa masing-masing sehari untuk setiap mud (kurang lebih 7 ons) sejumlah makanan pokok tersebut sehari puasa.


Sementara (2) untuk hewan yang tidak punya padanan (ma laisa lahu mitslun), maka penunaian damnya dengan memilih antara dua hal, yaitu:

  1. mengeluarkan dam dengan harga hewan tersebut, membelikannya makanan pokok yang cukup untuk zakat fitrah dan menyedekahkannya kepada fakir miskin tanah haram; atau
  2. berpuasa masing-masing sehari untuk setiap mud sejumlah makanan pokok tersebut.


Untuk dam karena memotong pohon tanah haram Makkah, maka dilakukan dengan salah satu dari tiga hal, yaitu:

  1. menyembelih sapi untuk dam pemotongan pohon yang besar, dan menyembelih kambing untuk dam pemotongan pohon kecil yang ukurannya mendekati 1/7 pohon besar;
  2. mengeluarkan dam dengan nilai harga pohon yang dipotong, lalu membelikannya makanan pokok yang cukup untuk zakat fitrah dan menyedekahkannya kepada fakir miskin tanah haram; atau
  3. berpuasa masing-masing sehari untuk setiap mud sejumlah makanan pokok tersebut.


Kelima, dam yang wajib karena melakukan jimak di tengah-tengah ihram. Yaitu Jimak yang dilakukan dalam kondisi berakal, sengaja, mengetahui keharamannya dan atas kehendak sendiri tanpa paksaan.


Dam macam kelima ini bersifat tartib, yaitu harus dilakukan secara berurutan sebagaimana berikut:

  1. menyembelih onta yang sah untuk kurban,
  2. bila tidak menemukannya, maka menyembelih sapi yang cukup untuk kurban,
  3. bila tidak menemukannya, maka menyembelih tujuh kambing yang cukup untuk kurban, lalu
  4. bila tidak menemukannya, maka (a) mentaqwim atau menilai harga onta tersebut dengan harga dan mata uang tanah haram yang berlaku saat itu, (b) membelikannya makanan pokok yang cukup untuk zakat fitrah, (c) lalu menyedekahkannya kepada fakir miskin tanah haram; atau
  5. bila tidak menemukannya, maka berpuasa masing-masing sehari untuk setiap mud sejumlah makanan pokok. (Nawawi Al-Bantani, Tausyikh ’ala Ibni Qasim, [Surabaya, Al-Hidayah), halaman 126-129; dan Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Ibrahim Al-Bajuri, [Semarang, Toha Putra], juz I, halaman 330-336).


Untuk diketahui, lima macam dam wajib dalam haji ini juga berlaku dalam umrah.


Demikian lima macam dam wajib dalam haji dan teknis pelaksanaanya. Untuk lebih detailnya dapat dibaca lebih lanjut dalam kitab-kitab mazhab Syafi’i yang menjadi rujukan dalam tulisan atau lainnya. Wallahu a’lam.
 

Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online