Syariah

Mengukur Kemuliaan Manusia dari Garis Nasab

Sab, 13 Mei 2023 | 19:00 WIB

Mengukur Kemuliaan Manusia dari Garis Nasab

Ilustrasi: kemuliaan manusia (NU Online)

Sayyid Alwi bin Ahmad As-Segaf dalam karyanya, ‘Ilajul Amradhir Radiyyah bi Syarhil Washiyyatil Haddadiyyah, mengingatkan bahaya orang-orang yang mengangungkan nasabnya tanpa berbuat amal saleh dan tanpa memperbaiki diri melalui akhlak yang terpuji.

 

Sayyid Alwi bin Ahmad As-Segaf mengingatkan masyarakat agar tidak mengikuti orang-orang bodoh yang sombong dan membanggakan diri dengan bangganya mengatakan:
 

“Aku alim, aku pembaca Al-Qur’an, aku orang wara, aku ahli ibadah. Adakan yang lebih alim dariku, lebih rajin membaca Al-Qur’an dariku, lebih wara dariku, lebih rajin ibadah dariku. Aku fulan bin fulan. Dan kamu hai fulan lebih rendah dariku baik ilmu, kemuliaan, harta, maupun nasab.”

 

واحذر وإياك من قول الجهول أنا وأنت دوني في فضل وفي نسب فقد تأخر أقوام وما قصدوا نيل المكارم واستغنوا بكان أبي

 

Artinya, “Waspadalah dan hati-hatilah terhadap perkataan orang bodoh, ‘’Aku (lebih mulia),’ sementara kamu lebih lebih rendah dari segi keutamaan dan dari segi nasab.’ Sekelompok orang itu tertinggal. Mereka tidak mengejar kemuliaan, tetapi mencukupkan diri dengan ‘Ayahku (kakekku) adalah …,’” (Alwi bin Ahmad As-Segaf, ‘Ilajul Amradhir Radiyyah bi Syarhil Washiyyatil Haddadiyyah pada hamisy Majmu‘ati Sab‘ati Kutub Mufidah, [Surabaya, Al-Hidayah: tanpa tahun], halaman 93).

 

Menurut Sayyid Alwi bin Ahmad As-Segaf, banyak orang dungu terpedaya dengan kebanggaan seperti ini. Mereka tidak lagi mengejar kebaikan, mengapai derajat tinggi, dan berakhlak dengan akhlak luhur terpuji. Mereka merasa cukup dengan membanggakan nasabnya, “Ayahku adalah fulan bin fulan…” mereka tidak meneladani kebaikan dan kesalehan ayah dan kakek mereka baik amal saleh, akhlak, dan perilaku luhur terpuji.

 

“Semua itu merupakan tindakan bodoh tercela, kedunguan yang keji, kekeliruan yang jelas dan nyata, kesombongan yang mengakar, ujub, dan ghurur.”

 

فالتزكية للنفس مذمومة وإن كان صادقا ولو أن الإنسان كان أتقى الناس وأعلمهم وأعبدهم ثم تكبر عليهم وافتخر لأحبط الله تقواه وأبطل عبادته فكيف بالجاهل المخلط الذي يتكبر على الناس بتقوى غيره من آبائه وأجداده

 

Artinya, “Menyucikan diri itu tercela meski benar. Andai ada seseorang paling bertakwa, paling rajin ibadah, lalu menjadi sombong dan membanggakan diri, niscaya Allah akan mengugurkan nilai ketakwaannya dan membatalkan ibadahnya. Lalu bagaimana dengan ucapan orang bodoh lagi berinteraksi yang menyombongkan ketakwaan orang lain, yaitu ayah dan kakeknya, di hadapan publik,’” (As-Segaf, 94).

 

Sayyid Alwi bin Ahmad As-Segaf mengutip hadits riwayat At-Thabarani dan Al-Bazzar perihal orang di tengah umat Islam yang akan mengaku-aku lebih baik dan lebih mulia dari yang lain.

 

يَظْهَرُ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، يَقُولُونَ مَنْ أَقْرَأُ مِنَّا؟ مَنْ أَعْلَمُ مِنَّا؟ مَنْ أَفْقَهُ مِنَّا؟ ثُمَّ قَالَ لِأَصْحَابِهِ هَلْ فِي أُولَئِكَ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ أُولَئِكَ مِنْكُمْ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ أُولَئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ

 

Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Akan muncul sekelompok orang yang gemar membaca Al-Qur’an, mereka lalu berkata dengan sombongnya, ‘Siapakah yang lebih rajin membaca dari kami? Siapa yang lebih alim dari kami? Siapa yang lebih alim dari kami?’ lalu Rasulullah bertanya kepada sahabat, ‘Apakah terdapat kebaikan pada mereka?’ sahabat menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih tahu.’ Rasul menjawab, ‘Mereka itu ada di tengah kalian, dari umat ini. Mereka bahan bakar api neraka,’” (HR At-Thabarani dan Al-Bazzar).

 

Sayyid Alwi bin Ahmad As-Segaf dalam membahas ini juga mengutip hadits riwayat At-Tirmidzi terkait orang-orang yang mengukur kemuliaan dari garis nasab. Hadits ini menyebut pengagungan terhadap nasab sebagai bagian dari kesombongan masyarakat Jahiliyah. Sementara semua manusia kedudukannya sama saja. Manusia berasal dari Nabi Adam as. Nabi Adam berasal dari tanah.

 

عَن أَبِي عَن أَبِي هُرَيْرَةَ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءَ بِأَنْفِهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ النَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ

 

Artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda, ‘Sungguh akan sampai zamannya nanti kelompok orang yang membanggakan orang tua mereka yang telah wafat. Mereka itu arang neraka Jahannam, dan sungguh mereka lebih rendah di sisi Allah daripada kumbang yang menggulirkan kotoran dengan hidungnya. Sungguh Allah telah menghilangkan kesombongan dan kebanggaan Jahiliyah terhadap nenek moyang. Sungguh seseorang beriman dan bertakwa, berdosa dan celaka. Manusia itu (berkedudukan sama) seluruhnya anak Adam. Adam diciptakan dari tanah,’” (HR At-Tirmidzi).

 

Sayyid Alwi bin Ahmad As-Segaf mengatakan, sumber dari pengagungan terhadap nasab dan pengakuan-pengakuan kemuliaan atau feodalistik seperti ini berangkat dari hawa nafsu dan tenggelam di dalam mengikuti dorongan nafsu tersebut. Wallahu a’lam

 

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Redaktur Keislaman NU Online