Justru talfîq semacam ini lebih selaras dengan prinsip atau asas kemudahan dalam beragama (mabda’ au asas al-yusr/at-taisîr, QS. 2: 185) dan menghilangkan kesulitan atas masyarakat (raf‘ al-haraj) serta toleran (as-samâhah)
Ahmad Ali MD
Kolomnis
Pada dasarnya dalam mazhab fiqih, hukum zakat fitrah menggunakan uang (qîmah) ada dua pendapat: Syafi’iyah dan Jumhur (mayoritas ulama) tidak membolehkan dan tidak mengesahkan, sementara Hanafiyah membolehkan dan mengesahkan (Ket: Kitâb al-Majmû‘, t.t., Juz 6, hlm. 94, Juz 5 hlm. 401, Ibn Qudâmah, al-Mughnî, 1997, Juz IV, hlm. 295-296, dan al-Jazâirî, al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah, 2005, Juz I, hlm. 504-506).
Dalam konteks kontemporer saat ini, khususnya di Indonesia, hukum zakat fitrah menggunakan uang terdapat setidaknya 4 (empat) pendapat/pandangan. Pertama, tidak boleh (tidak sah) zakat fitrah menggunakan uang (qîmah), berpegang secara konsisten pada mazhab Syafi’iyah, yang mewajibkan zakat fitrah dengan makanan pokok, seperti beras bagi orang Indonesia, dengan kadar 1 sha’ beras sebesar 2,75 kg atau 2,5 kg atau 3,5 liter.
Pendapat pertama ini merupakan pendapat Jumhur Ulama, dan masih sangat banyak diikuti oleh masyarakat umum. Ini juga terkait Keputusan Muktamar NU ke-4 tahun 1929 yang tidak membolehkan zakat penghasilan tanah dengan uang, --termasuk juga zakat fitrah (Lihat Ahkâm al-Fuqahâ’, 2011, hlm. 63-64).
Kedua, boleh zakat fitrah menggunakan uang dengan mengikuti pendapat yang membolehkan, seperti pendapat al-Tsaurî, dan mazhab Hanafiyah, tetapi harus konsisten bermazab Hanafiyah secara total. Termasuk dalam kelompok ini, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta tentang Hukum dan Pedoman Pelaksanaan Zakat Fitrah dengan Uang, tanggal 9 Juni 2018, dan Surat Edaran Bersama Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur dan Surat Edaran Lazisnu Jawa Timur tanggal 13 Mei 2020, tentang Pedoman dan Kadar Zakat Fitrah.
Menurut MUI Jakarta, perhitungan zakat dalam bentuk uang harus mengikuti Hanafiyah, yaitu 1/2 shâ‘ gandum (burr/hinthah) termasuk tepungnya (sawiq), dan dzabîb (kismis), atau 1 shâ‘ kurma (tamr), sya‘îr (jelai) dan keju, senilai 3,2615 kg (3,3 kg). Dalam Surat Edaran Bersama LBMNU Jawa Timur disebutkan lebih rinci ketentuan tata cara pembayaran menggunakan uang, harus mengikuti mazhab Hanafi secara total, dengan uang senilai 3,8 kg kurma yang berkualitas, bahkan diperinci kadarnya satu sha’ 3,8 kg sesuai salah satu pilihan takaran harga, misalnya harga terbesar untuk kurma ajwa (Rp1.140.000,-), dan gandum (½ sha’ Rp 63.000,-).
Bila tetap mengikuti mazhab Syafi’iyah, maka zakat fitrahnya wajib menggunakan beras, dapat dilakukan dengan cara panitia zakat menyiapkan beras 2,7 kg, kemudian beras tersebut dibeli oleh calon muzakki, dan beras tersebut diserahkan sebagai zakatnya.
Ketiga, boleh zakat fitrah menggunakan uang mengikuti pendapat Imam ar-Rûyânî (415 H), ulama mazhab Syafiiyah, meskipun lemah, yang membolehkan zakat fitrah dengan uang, dipandang lebih baik daripada berpindah mazhab atau mengikuti mazhab lainnya (intiqâl al-mazhab/talfîq), dengan zakatnya 2,5 kg atau 3,5 liter beras. Ini misalnya Keputusan BM LBM PWNU Provinsi Banten tentang Sahnya Zakat Fitrah dengan Uang dalam mazhab Syafi’i, tanggal 18 Mei 2020, dengan berpijak pada kitab Thabaqât al-Fuqahâ’ al-Syâfi‘iyîn karya ‘Imâd ad-Dîn Ibn Katsîr, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1971, Juz II, hlm. 24.
Keempat, boleh zakat fitrah dengan menggunakan uang mengikuti pendapat Hanafiyah dan Syekh Ibn Qasim, seorang ulama Malikiyah, dengan mengikuti mazhab Syafiiyah dalam menggunakan nominal harga beras sesuai kualitas layak konsumsi masyarakat sebesar 2,75 kg atau 3,5 liter beras atau versi lain 2,5 kg. Tentang besaran zakatnya tersebut mengikuti mazhab Syafiiyah, tidak mengikuti pendapat Hanafiyah, yang bila dibandingkan nominalnya justru lebih besar/berat daripada ukuran Syafiiyah, terlebih menggunakan nominal selain beras (apalagi kurma).
Pendapat ini merupakan hasil bahtsul masail LBM PBNU tentang Pembayaran Zakat Fitrah dengan Uang, tertanggal 18 Mei 2020, dengan mengunakan model intiqâl al-mazhab fî ba‘dh al-masâ’il (berpindah mazhab dalam sebagian masalah/tidak secara utuh).
Pandangan ini merujuk pada keterangan dalam kitab Syekh Nawawi al-Bantani, al-Tsimâr al-Yâni‘ah Syarh Riyâdh al-Badî‘ah (Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, t.t., hlm. 13), tentang model intiqâl (merangkai pelaksanaan suatu perbuatan hukum dengan cara melompat dari satu pendapat ke pendapat lain) ada tiga pendapat: dilarang mutlak; dibolehkan mutlak; dan tafshîl (diperinci), boleh bila tidak tidak menyalahi ijma’, tetapi tidak boleh bila menyalahi ijma’, seperti nikah tanpa mahar, tanpa wali dan sekaligus tanpa saksi, karena ini tidak ada ulama yang membolehkan.
Talfîq dan Memilih Pendapat Hukum yang Ringan sebagai Solusi
Model yang keempat tersebut diterapkan pula dalam fatwa Dâr al-Iftâ’ Mesir, membolehkan uang sebesar, £15 (15 EGP, Poun Mesir, sekitar 15.000,- IDR), sebagai ukuran nilai terkecil untuk gandum, sebagai makanan pokok negara tersebut.
Penulis lebih cenderung pada pendapat yang lebih selaras dengan fiqih yang bersifat dinamis dan maslahat, sebagaimana paradigma penulis, Meneguhkan fiqih yang Dinamis dan Maslahat (1-6), dalam NU Online (April-Mei 2020).
Model memilih pendapat a-Rûyanî, yang dinilai lemah tersebut, merupakan model al-akhdz aw al-ikhtiyâr bi-aisar al-madzâhib, yakni mengambil/memilih pendapat yang paling ringan di antara mazhab, yang di dalamnya lebih mengandung kemaslahatan (al-Fiqh al-Islâmî, Juz I, hlm. 84-85).
Taqlîd kepada pendapat ulama yang tidak lebih utama (taqlîd al-mafdhûl), ada tiga pendapat, di antaranya membolehkan dan diunggulkan oleh Ibnu Hâjib, karena terjadi pada masa sahabat dan selainnya secara nyata dan tanpa diingkari. (Lihat al-Bannânî, Hâsyiyat al-‘Allâmah al-Bannânî, 2003, Juz II, hlm. 396, dan al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1996, hlm. 356-357).
Ini merupakan bentuk talfîq yang diperbolehkan oleh para ulama, di antaranya al-Kamâl ibn al-Humâm, dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili (1932-2015). Talfîq semacam itu diperbolehkan karena tidak termasuk dalam kategori talfîq mamnû‘ (dilarang) karena batal demi hukum (bâthil li-dzâtih) atau karena faktor eksternal (al-‘awârdh), yang mengakibatkan penentangan terhadap ijma‘ atau rusaknya tatanan hukum (az-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa-Adillatuh, Beirut: Dâr al-Fikr, 2009, Juz I, hlm. 98-99).
Justru talfîq semacam ini lebih selaras dengan prinsip atau asas kemudahan dalam beragama (mabda’ au asas al-yusr/at-taisîr, QS. 2: 185) dan menghilangkan kesulitan atas masyarakat (raf‘ al-haraj) serta toleran (as-samâhah) yang merupakan tujuan dan substansi hukum Islam (maqâshid al-syarî‘ah) dalam rangka memberikan perlindungan dan kemaslahatan bagi manusia (mashâlih al-'ibâd).
Talfîq dan memilih pendapat hukum yang ringan (al-akhdz au al-ikhtiyâr bi-aisar al-madzâhib), merupakan model hukum dengan paradigma at-taysîr, memberikan kemudahan (bukan tasydîd, memberatkan), menjadi solusi hukum, karena lebih sejalan dengan tujuan dan substansi hukum Islam, dan telah diterapkan di berbagai negara di belahan benua: Afrika, Eropa, Amerika, Australia dan Asia.
Menolak talfîq ataupun mengambil pendapat yang lemah atau ringan yang lebih dinamis dan maslahat merupakan bentuk kekakuan atau kebekuan (jumûd) dalam beragama yang justru menyusahkan manusia itu sendiri, karena tidak selaras dengan prinsip dan asas Islam, yakni memberikan kemudahan, kemaslahatan dan kerahmatan. Wallâhu A‘lam bish-shâwwâb.
Ahmad Ali MD, Penulis Keislaman, Anggota Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
Terpopuler
1
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
2
Prabowo Undang Sejumlah Tokoh sebagai Calon Menteri
3
Hari Santri, Ikuti Lomba Menulis Khutbah Jumat LDNU Tangsel, Ini Persyaratannya
4
Kemenag Adakan 6 Lomba Hari Santri 2024, Terbuka untuk Umum
5
Kemenag Pastikan Tidak Ada Larangan Menikah pada Hari Libur
6
Biografi KH Abdul Wahab Hasbullah Diluncurkan
Terkini
Lihat Semua