Syariah

Mengurai Sengkarut Kasus Agraria Perkebunan Sawit di Sumatera Utara Perspektif Fiqih Muamalah

Ahad, 28 Agustus 2022 | 23:30 WIB

Mengurai Sengkarut Kasus Agraria Perkebunan Sawit di Sumatera Utara Perspektif Fiqih Muamalah

Sengkarut kasus agraria perkebunan sawit.

Hutan merupakan kawasan mayoritas yang ada di luar peta wilayah pertanian yang terbit di tahun 1960, di mana saat itu, kawasan pertanian masyarakat hanya mencakup 30% saja dari seluruh luas daratan Indonesia. Selain hutan, kawasan lain yang masuk di luar pertanian dan perkebunan rakyat, adalah kawasan PTPN.

 

Baik hutan maupun tanah PTPN, secara otomatis keduanya merupakan obyek pembukaan lahan pasca UUPA 1960 tersebut. Namun, apa yang terjadi?

 

Kawasan pertanian tidak bertambah luas hingga tahun 1978. Bahkan, nilai angka penguasaan lahan pertanian disinyalir terus mengalami penurunan, hingga tahun 2021, berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Padahal, seiring berlakunya hukum mawaris di Indonesia, maka tanah-tanah yang sejak awal dikuasai oleh rakyat akan otomatis mengalami penyusutan akibat pembagian yang terjadi di kalangan ahli waris.

 

Jadi, bagaimana dengan janji penyerahan hak pemerataan tanah oleh negara kepada rakyatnya lewat kebijakan landreform UUPA 1960? Apakah rakyat Indonesia hanya disiapkan sebagai kelas pekerja bagi perusahaan-perusahaan yang diberikan lahan konsesi, sehingga mereka tidak perlu diberi hak perluasan lahan produktif perkebunan dan pertanian? 

 

Ataukah seharusnya hak pembukaan hutan itu diserahkan kepada rakyat, sementara perusahaan-perusahaan cukup bergerak dalam industri pengolahan saja?


Setidaknya, bisa ditarik kesimpulan bahwa kebijakan landreform pasca UUPA 1960 belum menyentuh akar masalah, yaitu tanah eigendom (tanah hak milik) untuk rakyat. 

 

Maksud dari “tanah untuk rakyat” ini sudah barang tentu adalah pengubahan status tanah dari dikuasai negara menjadi hak milik rakyat (SHM), bukan sekedar Hak Pemanfaatan atau Hak Guna Usaha (HGU). Dengan kata lain ada penyerahan lewat akad hibah.

 

Hutan yang merupakan obyek pembukaan landreform untuk rakyat, belum berkurang zonanya. Memang ada yang berubah menjadi perkebunan, akan tetapi pihak yang mengelola adalah perusahaan perkebunan swasta dan perusahaan pertambangan. Ketika perusahaan pertambahan hengkang, sisa-sisa tanah yang sudah kehilangan top soilnya itu yang kemudian dibagikan kepada rakyat dan dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi - Ma’ruf Amin selama beberapa waktu terakhir. Itupun belum berlaku optimal dikarenakan banyak kendala yang dihadapi.

 

Terkait pembukaan hutan untuk perkebunan dan pengelolaan hasil hutan, semenjak tahun 1978 hanya berkutat pada pemberian konsesi terhadap para konglomerat dan pengusaha saja. Alhasil, kebijakan itu hanya menyasar pada kalangan kelas tertentu. Sementara rakyat yang dijanjikan, justru tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru menjadi kelas pekerja di sejumlah perusahaan tersebut.

 

Contoh nyata, kasus perkebunan sawit di Lampung, Jambi, dan Riau. Rakyat yang semula dijadikan kelas pekerja, lambat laun mereka diarahkan untuk membuka lahan perkebunan sendiri oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Alhasil, terjadilah pembukaan hutan secara mandiri oleh rakyat dan berada di sekitar kawasan konsesi sehingga sampai merambah ke kawasan konservasi. 

 

Seiring mata pencaharian mereka tumbuh dan bergantung pada kawasan itu, maka mereka mendirikan pemukiman-pemukiman yang kemudian lambat laun, menjadi satu perkampungan.

 

Mereka menahbiskan diri dengan berani mendirikan bangunan, dan berbagai fasilitas umum. Uniknya, aparat tidak langsung menindaknya. Mereka justru dibolehkan untuk membuka kawasan perkebunan baru, melalui transaksi jual beli berbekal kwitansi. 

 

Meski demikian, pasca jual beli ini, tidak ada sertifikat hak milik yang diberikan kepada mereka, seiring kawasan yang dibuka, adalah kawasan hutan. Karena merasa dibolehkan, maka pihak pembeli semakin berani untuk menahbiskan diri dengan jalan mendirikan pemukiman yang terus berkembang menjadi satu wilayah administratif yang diakui secara hukum negara.

 

Ketidakberanian aparat setempat untuk memberikan sertifikat hak milik, sebab secara legal formal hukum negara, tindakan masyarakat tersebut dianggap telah menyerobot kawasan hutan konservasi. Ketidakberanian aparat sudah barang tentu juga karena kekhawatiran mereka ditindak oleh aparat penegak hukum lainnya. Namun, fakta pemukiman itu telah berlangsung lama dan tidak ada tindakan yang berarti untuk mencegah mereka. Alhasil, berbagai fasilitas umum masyarakat juga sudah terlanjur didirikan di tempat tersebut. 

 

Kasus seperti ini merupakan realita yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti Kepulauan Riau, Lampung, dan Jambi. 

 

Sampai di sini, apakah mereka akan tetap dianggap sebagai masyarakat perambah hutan yang telah menyerobot hutan konservasi? Atau sebaliknya, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan landreform yang selama ini dijanjikan namun tidak kunjung diserahkan kepada masyarakat sehingga masyarakat dengan terpaksa harus mengambil haknya sendiri dengan jalan merambah hutan? 

 

Jika mengikut pada cara pandang pada kasus terakhir ini, maka penyerobotan masyarakat terhadap kawasan hutan yang secara legal formal merupakan amanat dari UU Reforma Agraria, tidak bisa disebut lagi sebagai tindakan penyerobatan. Tindakan mereka seolah menyerupai tindakan orang yang memiliki hak namun diingkari oleh pemilik kewajiban yang harus mengembalikan.

 

ومَن) لَهُ حَقٌّ عَلى آخَرَ وأنْكَرَهُ، ولَمْ يَجِدْ بَيِّنَةً أوْ سَرَقَ مِنهُ شَيْئًا أوْ غَصَبَهُ ولَمْ يَقْدِرْ  عَلى خَلاصِهِ مِنهُ بِحاكِمٍ و(قَدَرَ عَلى) أخْذِ (حَقِّهِ) باطِنًا بِسَرِقَةٍ ونَحْوِها (فَلَهُ أخْذُهُ)
 بِشُرُوطٍ ثَلاثَةٍ 

 

Artinya, “Barangsiapa memiliki hak atas orang lain, namun ia mengingkari penyerahan hak tersebut, sementara tidak didapati adanya saksi atau bukti, atau ada seseorang mencuri dari pihak munkir menurut kadar hak yang dimilikinya, atau harta yang dighashabnya, dan masalah itu tidak bisa dicarikan solusinya oleh hakim, dan pihak pengambil tersebut hanya sekedar mengambilnya menurut kadar setimbang dengan haknya dengan jalan mencuri dan semisalnya, maka boleh baginya mengambil dengan cara itu.” (Ahmad as-Shawi, Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Syarh al-Shaghir: Balaghatu al-Salik li Aqrab al-Masalik, [Beirut: Darul Ma’arif], juz IV, halaman 310).

 

Menurut pendapat Ahmad as-Shawi al-Maliki (wafat 1241 H), syarat kebolehan mengambil hak secara paksa ini ada 3, antara lain:

 

إنْ أمِنَ فِتْنَةً، أيْ وُقُوعَ فِتْنَةٍ مِن ضَرْبٍ أوْ جُرْحٍ أوْ حَبْسٍ ونَحْوِ ذَلِكَ. (و) أمِنَ (رَذِيلَةً) تُنْسَبُ إلَيْهِ مِن سَرِقَةٍ أوْ غَصْبٍ. (وكانَ) الحَقُّ (غَيْرَ عُقُوبَةٍ) فَإنْ كانَ عُقُوبَةً فَلا يَسْتَوْفِيها بِنَفْسِهِ بَلْ لا بُدَّ مِن الحاكِمِ، فَلا يَضْرِبُ مَن ضَرَبَهُ ولا يَجْرَحُ مَن جَرَحَهُ ولا يَسُبُّ مَن سَبَّهُ

 

Artinya: "(1) Jika aman dari fitnah, yakni dituduh melakukan pemukulan, melukai, atau dipenjara dan sejenisnya, (2) Jika aman dari kehinaan yang disematkan kepadanya seperti mencuri atau mengghashab, (3) hak yang diambil bukan termasuk hak memberikan sanksi. Apabila hak yang diambil dari kategori pemberian sanksi, maka hal tersebut tidak boleh ditunaikan sendiri, akan tetapi wajib lewat hakim. Karenanya, tidak boleh memukul orang yang telah memukulnya, melukai orang yang telah melukainya dan mengumpat orang yang telah mengumpatnya.” (As-Shawi, Hasyiyah al-Shawi ‘ala al-Syarh al-Shaghir, juz IV, halaman 310).


Ditinjau dari ketiga syarat ini, masyarakat perambah hutan konservasi di 3 propinsi di atas, nampaknya sudah include di dalamnya. Indikasinya, adalah:


Pertama, mereka sudah tinggal lama, bahkan sejak tahun 1930. Kedua, sejauh ini, tidak ada pelarangan dari aparat setempat sehingga berbagai fasilitas umum juga sudah “terlanjur” didirikan di situ. 

 

Alhasil, perizinan pendirian fasilitas umum tersebut seolah menempati derajat kerelaan aparat penegak hukum. 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag., Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim