Syariah

Norma Dasar Negara Bangsa Modern menurut Islam

Sen, 13 Februari 2023 | 19:00 WIB

Norma Dasar Negara Bangsa Modern menurut Islam

Umat Islam di era ini mendiskusikan fondasi atau norma dasar negara bangsa modern dari sudut pandang kajian Islam, fikih siyasah lebih spesifiknya. (Foto Ilustrasi: NU Online/Freepik)

Di era modern, umat beragama di dunia tidak terkecuali umat Islam dihadapkan pada realitas baru yaitu model negara bangsa modern. Umat Islam yang tersebar di berbagai belahan dunia memasuki peralihan dari model negara teokrasi, warisan abad pertengahan, ke model negara modern berdasarkan identitas kebangsaan atau nasionalisme.


Umat Islam di era ini mendiskusikan fondasi atau norma dasar negara bangsa modern dari sudut pandang kajian Islam, fikih siyasah lebih spesifiknya. Oleh karena itu, diskusi fondasi atau norma dasar negara hampir tidak ditemukan secara khusus pada bab atau subbab tertentu (meski bukan berarti tidak ada secara substansi) pada literatur fikih siyasah klasik, yaitu Al-Imamah was Siyasah karya Al-Imam Ibnu Qutaibah, Al-Ahkamus Sulthaniyyah karya Al-Imam Al-Mawardi, Ghiyatsul Umam karya Imamul Haramain, atau Tarikhul Khulafa karya Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi.


*


Syekh Abdul Wahhab Al-Khallaf, penulis Kitab Ilmu Ushulil Fiqh (referensi kontemporer kajian ushul fiqh di pesantren dan terutama di kampus-kampus Islam), menulis Kitab As-Siyasatus Syar’iyyah au Nizhamud Daulah Al-Islamiyyah sebagai kajian fikih siyasah pengantar.


Pada karya fikih siyasahnya itu, Syekh Abdul Wahhab Al-Khallaf menyebut tiga norma dasar negara bangsa modern sebagai acuan universal dalam membentuk regulasi turunannya yang menaungi heterogenitas setiap kelompok atau anak bangsa yang ada di bawah naungannya.


Syekh Abdul Wahhab Al-Khallaf menggali tiga norma dasar negara bangsa modern sebagai acuan hidup bersama yang universal dari Al-Qur’an. Oleh karenanya, tiga norma dasar negara ini bersifat syar’i atau didasarkan pada sumber syariat Islam.


ففي نظام الحكم لم يفصل القرآن الكريم نظاما لشكل الحكومة ولا لتنظيم سلطانها ولا لاختيار أولى الحل والعقد فيها. وإنما اكتفى بالنص على الدعائم الثابتة التي ينبغي أن تعتمد عليها نظم كل حكومة عادلة ولا تختلف فيها أمة عن أمة فقرر العدل في قوله سبحانه وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ والشورى في قوله عز شأنه وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ والمساواة في قوله سبحانه اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ


Artinya, “Dalam sistem pemerintahan, Al-Qur’an tidak menyebutkan spesifik sistem tertentu perihal bentuk negara, sistem kepemimpinan, dan pemilihan ahlul halli wal aqdinya, tetapi cukup dengan nash fondasi-fondasi tetap yang seharusnya menjadi pijakan bagi setiap sistem pemerintahan yang adil, yaitu sebuah pijakan atau norma universal yang mana setiap kelompok tidak berbeda satu sama lain. Al-Qur’an menetapkan prinsip keadilan  dalam firman-Nya ‘Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil,’ (An-Nisa ayat 58), prinsip musyawarah (demokrasi) dalam firman-Nya ‘Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu,’ (Ali Imran ayat 159), dan nilai dasar kesetaraan dalam firman-Nya, ‘Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,’ (Al-Hujurat ayat 10),” (Syekh Abdul Wahhab Al-Khallaf, As-Siyasatus Syar’iyyah au Nizhamud Daulah Al-Islamiyyah, [Beirut, Books-Publisher: 2016 M/1437 H], halaman 19).


Islam, tulis Syekh Abdul Wahhab Al-Khallaf, hanya menyebut prinsip universal yang seharusnya menjadi dasar universal acuan bernegara atau nilai dasar negara (orang Indonesia mengenalnya sebagai sila).


Islam tidak mengatur sistem, bentuk, dan undang-undang secara detail untuk memberikan kelonggaran bagi masyarakat memilih sistem dan bentuk negara yang pas dengan kondisi sosial politik dan semangat zamannya masing-masing.


أما ما عدا هذه الأسس من النظم التفصيلية فقد سكت عنها ليتسع لأولى الأمر أن يضعوا نظمهم ويشكلوا حكومتهم ويكوّنوا مجالسهم بما يلائم حالهم ويتفق ومصالحهم غير متجاوزين حدود العدل والشورى والمساواة


Artinya, “Adapun norma-norma partikular selain tiga prinsip universal tersebut tidak disebutkan secara spesifik oleh Al-Qur’an agar ulil amri/pemerintah memiliki ruang gerak untuk memilih model tata negara, menentukan bentuk negara, dan membentuk susunan kabinet yang sesuai dan cocok dengan (kekhasan) kondisi (sosial-politik) mereka dan kemaslahatan mereka tanpa melanggar batas keadilan, musyawarah (demokrasi), dan kesetaraan,” (Al-Khallaf, 2016 M/1437 H: 20).


Diskusi NU tentang Pancasila sebagai Dasar Negara

NU sendiri sebagai ormas Islam di abad modern tentu terlibat dalam diskusi intensif perihal dasar negara bangsa modern. KH Achmad Siddiq (1926-1991 M) mengatakan, penggunaan nama Pancasila bagi dasar negara Republik Indonesia tidak tertulis dalam undang-undang Dasar 1945, baik pada pembukaannya, batang tubuhnya, maupun pada penjelasannya. (Lihat KH Achmad Siddiq (ed Choirul Anam), Pemikiran KH Achmad Siddiq, [Jakarta, Duta Aksara Mulia: 2010 M], halaman 69).


Sesungguhnya perumusan nilai-nilai luhur yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia sudah tuntas dengan diundangkannya Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945). Semua pihak harus hanya memahami (memiliki persepsi tentang) dasar negara menurut bunyi dan maknanya yang terkandung pada UUD 1945 (pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya) itu.


Umat Islam Indonesia (bersama-sama dengan seluruh bangsa Indonesia) juga memikul kewajiban memenuhi kesepakatan bersama itu. (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 70).


Kalau kaum muslimin Indonesia (termasuk kaum nahdliyin) menerima dasar negara Republik Indonesia itu, maka dasarnya bukanlah sekadar taktik tetapi berdasar prinsip: (a) Bahwa kaum muslimin Indonesia (melalui para pemimpinnya) ikut aktif dalam perumusan dan kesepakatan tentang dasar negara itu. (b) Bahwa nilai-nilai luhur yang dirumuskan menjadi dasar negara itu dapat disepakati dan dibenarkan menurut pandangan Islam.” (KH Achmad Siddiq, 2010 M: 70/71).


Pemerintah pada 1983 melalui Tap MPR No. II MPR/1983 menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik/Golkar saat itu. Meski Tap MPR tentang Garis Besar Haluan Negara itu hanya menentukan asas tunggal untuk parpol/Golkar, pemerintah menyerukan dengan sangat agar ormas mencantumkan asas tunggal Pancasila dalam anggaran dasar mereka.


KH Ahmad Siddiq mengatakan bahwa seruan dan ajakan pemerintah ini patut dipertimbangkan dengan wajar, pikiran jernih, dan keseriusan berdasarkan kaidah agama Islam. Kiai Ahmad Siddiq kemudian menyiapkan makalah yang menjadi bahan Munas Alim Ulama NU pada 21 Desember 1983 di Situbondo.


Makalah ini didiskusikan oleh para kiai di lingkungan Syuriyah PBNU di kediaman KH Masykur di Jalan Imam Bonjol nomor 22, Jakarta, pada 9 Rabiul Awwal 1404 H/13 Desember 1983. KH Ahmad Siddiq yang kemudian diangkat sebagai Rais Aam PBNU pada Muktamar NU pada satu tahun kemudian, 1984 di Situbondo, mengatakan:


"Nahdlatul Ulama menanggapi ajakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah dengan pertimbangan: (a) bahwa pemerintah–dengan ajakannya itu–tidak berarti mengajak Nahdlatul Ulama menerima asas tunggal Pancasila dengan sekaligus mengesampingkan Islam. (b) bahwa Nahdlatul Ulama menerima Pancasila berdasarkan pandangan syariah, bukan semata-mata berdasarkan pandangan politik. (c) bahwa Nahdlatul Ulama tetap berpegang sepenuhnya kepada ajaran aqidah dan syariah Islam. (Lihat KH Ahmad Siddiq, Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926 dalam Pemikiran KH Ahmad Siddiq, [Jakarta, Duta Aksara Mulia: 2010 M], halaman 76).


Nahdlatul Ulama dapat dibenarkan untuk memenuhi ajakan pemerintah tentang asas tunggal Pancasila, dengan pengertian bahwa hal itu tidak berarti Nahdlatul Ulama mengesampingkan Islam.” (Lihat KH Ahmad Siddiq, 2010 M: 78).


Diskusi penerimaan asas tunggal Pancasila di lingkungan kiai Nahdlatul Ulama pada akhirnya melahirkan sebuah putusan penting, yaitu Deklarasi Pancasila pada Munas Alim-Ulama NU pada 21 Desember 1983 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo. Berikut Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam:


Bismillahirrahmanirrahim 

  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945–yang menjiwai sila-sila yang lain–mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
  4. Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.


Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404 H (21 Desember 1983). (Lihat Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, [Jakarta, Setjen PBNU-NU Online: 2011]).


Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU