Syariah

Wasiat Al-Qur’an dalam Berbangsa dan Bernegara

Ahad, 12 Februari 2023 | 17:00 WIB

Wasiat Al-Qur’an dalam Berbangsa dan Bernegara

Islam dan Kebangsaan (Ilustrasi: Ilustrasi/NU Online)

Peradaban telah berkembang sangat cepat. Hubungan antarwarga negara di negara islam tidak lagi dibedakan menjadi kafir dzimmi dan muslim. Hari ini kita merasakan hubungan yang sangat erat diantara sesama warga negara. Kesamaan hak dan kewajiban adalah hal yang lumrah di banyak negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.


Bila kita menilik pembukaan piagam Madinah maka kita akan melihat bahwa konsep negara bangsa telah dicetuskan oleh Rasulullah. Pembukaan Piagam Madinah ini berbunyi


هذا كتاب من محمد النبي رسول الله صلى الله عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش وأهل يثرب ومن تبعهم فلحق بهم فحل معهم وجاهد معهم أنهم أمة واحدة من دون الناس


Artinya, “Ini adalah kitab dari nabi Muhammad Rasulullah diantara orang beriman dan muslim dari suku Quraisy dan penduduk kota Yatsrib (Madinah) serta orang-orang yang mengikutinya maka disamakan dengannya. Mereka hidup bersama serta berjihad bersama, sungguh mereka (umat islam, penduduk kota Madinah dan yang mengikutinya) adalah umat yang tunggal dari semua manusia”.(Ibnu Zanjawih, al-Amwal [KSA: Markaz Malik Faishal,2000] juz II, halaman 466).


Dalam piagam Madinah ini Rasulullah menetapkan kesatuan dan persatuan sebagai umat yang tunggal baik bagi muslim maupun nonmuslim. Rasulullah juga mewasiatkan agar saling menyayangi tidak hanya kepada sesama muslim tetapi juga kepada seluruh manusia tanpa melihat perbedaan suku, bangsa maupun agama. 


Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah:


عن أبي موسى الأشعري قال رسول الله والذي نفسي بيده لا تدخلوا الجنة حتى تراحموا قالو يا رسول الله كلنا رحيم قال إنه ليس برحمة أحدكم ولكن رحمة العامة رحمة العامة


Artinya, “Diceritakan dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda ‘Demi Zat yang jiwaku ada digenggamannya, kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian saling menyayangi.’ Para sahabat menjawab ‘Wahai Rasulullah, kami semua saling menyayangi.’ Rasulullah bersabda ‘Jangan hanya (sebatas) menyayangi salah satu diantara kalian tetapi juga kasih sayang (yang bersifat) umum, kasih sayang (yang bersifat) umum,’” (HR An-Nasa’i).


Selain itu, al-Qur’an juga telah mewasiatkan untuk menjaga kesetaraan di antara muslim dan nonmuslim dalam menjaga perdamaian dunia. Di antaranya yaitu:


Pertama, al-Qur’an mewasiatkan bahwa semua manusia berasal dari leluhur moyang yang sama yaitu nabi Adam  dan Hawa. Tidak ada alasan bagi kelompok tertentu ataupun suku bangsa tertentu untuk merasa lebih unggul, lebih digdaya serta lebih mulia dari yang lainnya. 


Hal ini dikuatkan dengan firman Allah:


يأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير


Artinya, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui Maha Teliti,’” (Qs.Al-Hujurat ayat 13).


Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam ayat ini terdapat tiga nilai etika berbangsa, yaitu:


1. Kesetaraan, manusia sejatinya adalah setara bagaikan jari-jemari sisir, dilahirkan dari leluhur yang sama. Mereka setara dalam hak dan kewajiban syariat. Inilah hakikat dasar sistem demokrasi.  Allah telah menjelaskan bahwa manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama. Seandainya Allah tidak menghendaki kesetaraan pada sesama manusia niscaya Allah akan ciptakan setiap manusia dari beragam jenis asal penciptaan yang berbeda-beda.


2. Saling mengenal, Allah menciptakan manusia dengan garis nasab dan kekeluargaan yang sambung-menyambung, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia saling menyambung persaudaraan serta tolong-menolong, bukan untuk saling membenci, saling bermusuhan serta saling membanggakan nasab masing-masing.


3. Ketakwaan, Allah menetapkan ketakwaan sebagai tolak ukur keutamaan diantara sesama manusia. Manusia yang paling mulia dan luhur derajatnya di dunia dan akhirat adalah manusia yang paling bertakwa kepada Allah dalam mentaati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.(Az-Zuhaili Wahbah, Tafsir al-Munir [Damaskus: Darul Fikr al-Mu’ashir,2018) juz.26 hal.265)


Kedua, al-Qur’an mewasiatkan untuk berbuat baik kepada sesama manusia meskipun berbeda golongan maupun keyakinan selama mereka menjunjung tinggi perdamaian. Allah mencintai orang-orang beriman yang berbuat baik serta membalas kebaikan orang lain meskipun berbeda keyakinan maupun golongan.


Hal ini dikuatkan dengan firman Allah:


لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ


Artinya, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.(Qs.Al-Mumtahanah ayat 8)


Menurut imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, makna ayat ini adalah anjuran untuk berbuat baik, menyambung silaturahmi serta berbuat adil kepada orang lain meskipun berbeda keyakinan dan agama. Hal ini dengan syarat mereka tidak mengusir umat islam serta tidak memerangi umat islam. Selain itu, ayat ini juga menegaskan bahwa Allah mencintai orang yang bersikap bijaksana, membalas kebaikan dengan kebaikan, serta berbuat adil kepada sesama manusia. (Ath-Thabari Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan ‘an Takwil al-Qur’an [Kairo: Dar Hajar, 2003], juz XXII, halaman 573).


Sejarah menceritakan bahwa Rasulullah juga tetap berlaku baik kepada orang-orang Quraisy yang memusuhinya di waktu datangnya bencana. Padahal, kaum Quraisy jelas ingin membunuh dan menghancurkan umat islam ketika itu. Rasulullah mengajarkan kita untuk peduli dengan sesama  manusia khususnya ketika terjadi bencana dan musibah meskipun kepada nonmuslim yang memusuhi umat islam.


Hal sebagaimana kisah yang diceritakan oleh Ibnu Hibban:


وبلغ رسول الله أن قريشا أصابتهم شدة حتى أكلوا الرمة فبعث رسول الله بشيء من الذهب إليهم مع عمرو بن أمية وسلمة بن أسلم بن حريش


Artinya, “Telah sampai berita kepada Rasulullah bahwa kaum Quraisy mengalami bencana sehingga mereka (terpaksa) memakan tulang belulang. Maka, Rasulullah mengirimkan sebagian dari (harta) emas kepada mereka (suku Quraisy) bersama Amr bin Umayyah dan Salamah bin Aslam bin Huraisy,” (Ibnu Hibban, Ats-Tsiqat [Kairo: Darul Ma’arif, 1973] juz I, halaman 262).


Ketiga, al-Qur’an mewasiatkan untuk menjaga kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Islam tidak mengajarkan untuk memaksa nonmuslim untuk masuk islam. Islam membebaskan setiap pemeluk agama lain untuk beribadah sesuai dengan ajaran agamanya tanpa paksaan untuk masuk ke dalam agama islam.


Hal ini dikuatkan dengan firman Allah:


لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي


Artinya, “Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat…”.(Qs.Al-Baqarah ayat 256).


Menurut imam Fakhruddin Ar-Razi, makna ayat ini adalah islam tidak memerintahkan untuk beriman dengan paksaan serta kekerasan. Tetapi, islam mengajak beriman dengan pilihan hati nurani serta kemantapan. Islam juga tidak membolehkan seorang muslim untuk mengancam nonmuslim dengan ucapan “Berimanlah, bila tidak maka akan aku bunuh” dan sejenisnya.(Ar-Razi Fakhruddin, Mafatih Al-Ghaib [Beirut: Dar Ihya’ Turats al-Arabi, 2003] juz VII, halaman 15).


Simpulan di sini adalah Islam mengajak kita semua untuk menebarkan kasih sayang kepada semua makhluk Allah khususnya kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan suku, bangsa maupun agama sebagaimana sabda Rasulullah


قال رسول الله من لا يرحم لا يرحم


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi,’” (HR Bukhari).


Ibnu Batthal menyatakan, hadits ini adalah imbauan agar berlaku kasih sayang kepada seluruh makhluk hidup termasuk kepada orang yang kafir, orang yang beriman maupun kepada hewan ternak serta berlaku lembut kepada mereka. (Ibnu Batthal, Syarh Shahih Bukhari li Ibn Batthal [KSA: Maktabah Ar-Rusyd, 2003] juz IX, halaman 219).


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo.