Syariah

Paksakan Diri Berangkat Haji atau Beri Nafkah Keluarga?

Jum, 9 Juni 2023 | 12:00 WIB

Paksakan Diri Berangkat Haji atau Beri Nafkah Keluarga?

Paksakan Diri Berangkat Haji atau Beri Nafkah Keluarga?

Salah satu hal penting yang tidak boleh diabaikan dan dianggap sepele oleh semua calon jamaah haji adalah nafkah untuk orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Para jamaah yang hendak melaksanakan ibadah haji wajib hukumnya untuk memberikan nafkah yang cukup kepada keluarga yang ditinggalkannya, terhitung sejak berangkat hingga datang kembali.


Karenanya, kewajiban menunaikan ibadah haji dalam Islam hanya berlaku bagi orang-orang yang mampu (istitha’ah) saja, sedangkan mereka yang tidak mampu tidak memiliki kewajiban untuk menunaikannya.


Gambaran mampu dalam hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman dalam salah satu karyanya, yaitu memiliki bekal dan ongkos yang cukup, dan lebih dari kebutuhan pokoknya. Selain itu juga harus lebih dari nafkah orang-orang yang wajib untuk dinafkahinya,


اَلْاِسْتِطَاعَةُ هِيَ الْقُدْرَةُ عَلىَ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ، بِشَرْطٍ أَنْ يَكُوْنَا زَائِدَيْنِ عَلىَ الْحَاجَةِ الْأَصْلِيَّةِ، وَأَنْ يَكُوْنَ زَائِدَيْنِ عَلَى نَفقَةِ عِيَالِهِ مُدَّةَ غِيَابِهِ اِلىَ أَنْ يَعُوْدَ


Artinya, “Mampu (istitha’ah) adalah memiliki bekal dan kendaraan, dengan syarat harus lebih dari kebutuhan pokoknya (sandang pangan dan papan), dan juga harus lebih dari nafkah keluarganya, terhitung sejak berangkat hingga kembalinya.” (Syekh Abdurrahman, Taisirul Fiqh Asy-Syafi’i lit Thalib was Sa’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 132).


Berdasarkan penjelasan ini, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang sudah dianggap mampu untuk menunaikan haji adalah mereka yang semua tanggungjawabnya sudah benar-benar selesai dan terurus dengan benar, seperti adanya ongkos dan bekal yang cukup selama perjalanan, kebutuhan pokoknya sudah selesai, seperti pakaian, dan rumah (jika sudah berkeluarga), dan sudah melunaskan utang-utangnya. Selain itu, orang-orang yang wajib dinafkahinya juga sudah mendapatkan jatah yang cukup selama ditinggal menunaikan ibadah haji.


Dengan demikian, orang-orang yang hanya memiliki ongkos cukup untuk menunaikan ibadah haji, namun tidak ada sisa yang cukup untuk menafkahi keluarga yang ditinggalkannya, maka mereka tidak memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah rukun Islam yang kelima tersebut. Pasalnya mereka termasuk pada golongan orang-orang yang tidak mampu.


Hanya saja, saat ini banyak orang-orang yang nekat memaksakan diri untuk berangkat menunaikan ibadah haji dibanding nafkah sandang pangan dan papan. Bahkan ada yang menilai bahwa kewajiban haji harus didahulukan dari yang lainnya. Lantas, bagaimana Islam menyikapi hal ini? Mari kita bahas.


Memaksakan Diri Berangkat Haji

Imam Abul Hasan al-Mawardi (wafat 450 H) dalam al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhabil Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak seharusnya orang yang memiliki tanggungjawab untuk menafkahi keluarganya memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji, sementara keluarganya ditinggalkan tanpa nafkah yang cukup selama berangkat hingga pulangnya. Hal ini berdasarkan salah satu haditsnya Rasulullah, yaitu:


كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ


Artinya, “Cukuplah bagi seseorang dianggap berdosa, apabila dia mengabaikan orang makan dan minumnya menjadi tanggungannya.” (HR Abu Daud).


Berdasarkan hadits ini, Imam al-Mawardi menegaskan bahwa yang lebih baik dan lebih utama bagi setiap orang yang tidak memiliki nafkah cukup untuk diberikan kepada keluarganya jika menunaikan ibadah haji adalah tidak menunaikan ibadah tersebut dan lebih memprioritaskan sandang pangan dan papan keluarganya,


فَكَانَ الْمُقَامُ عَلَى الْعِيَالِ وَالْإِنْفَاقُ عَلَيْهِمْ أَوْلَى مِنَ الْحَجِّ


Artinya, “Maka tentu sandang pangan dan papan atas keluarga dan memberi nafkah kepada mereka lebih utama daripada haji.” (Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhabil Imam asy-Syafi’i [Beirut, Darul Fikr: 1999], juz IV, halaman 27).


Senada dengan pendapat ini, Syekh Sulaiman bin Umar al-Bujairami (wafat 1221 H) mengatakan, bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk pergi menunaikan ibadah haji jika tidak memiliki bekal yang lebih untuk diberikan kepada keluarganya yang ditinggalkan,


إذَا لَمْ تَفْضُلْ عِنْدَ ذَلِكَ كَانَ مُضَيَّعًا لَهُمْ فَلَا يَجُوزُ لَهُ السَّفَرُ بِدُونِ دَفْعِ ذَلِكَ لَهُمْ


Artinya, “Jika tidak memiliki bekal yang cukup ketika itu (saat hendak berangkat menunaikan ibadah haji), maka ia telah mengabaikan mereka (keluarganya), sehingga tidak boleh baginya untuk pergi tanpa memberikan nafkah yang cukup pada mereka.” (Syekh al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz VII, halaman 92).


Sementara itu, Syekh Sulaiman al-Jamal (wafat 1204 H) dengan tegas tidak membolehkan (baca: haram) berangkat haji, sementara keluarganya ditinggalkan tanpa nafkah yang cukup sejak ia berangkat hingga kembali,


وَيَحْرُمُ الْحَجُّ عَلىَ مَنْ لَا يَقْدِرُ عَلىَ ذَلِكَ


Artinya, “Dan haram menunaikan ibadah haji bagi orang yang tidak mampu untuk hal itu (memberi nafkah bagi keluarga yang ditinggalkannya).” (Syekh al-Jamal, Hasyiyatul Jamal ‘alal Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 551).


Kendati demikian, status ibadah haji yang dilakukan oleh orang-orang yang dinilai tidak mampu dalam syariat Islam, sebagaimana dalam pembahasan ini hukumnya tetap sah sepanjang memenuhi beberapa syarat dan rukun ibadah haji. Hanya saja, hukumnya haram (berdosa) karena telah mengabaikan kewajiban yang lebih penting, yaitu menafkahi keluarganya. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur