Syariah

Penggalang Donasi Menyalurkan Makanan dari Dagangannya Sendiri, Bolehkah?

Jum, 22 Januari 2021 | 15:45 WIB

Penggalang Donasi Menyalurkan Makanan dari Dagangannya Sendiri, Bolehkah?

Bolehkah bagi panitia itu juga mengambil keuntungan dari setiap porsi menu makanan itu yang biasanya ia ambil dari pelanggan yang lain?

Ada beberapa aktivitas masyarakat yang ditujukan untuk membantu orang lain, walaupun erkadang dianggap “remeh-temeh” dan sporadis karena sekedar berbagi makanan kepada pengguna jalan tertentu, atau dalam acara tertentu. Dalam aksi tersebut, donasi diperoleh dari sokongan masyarakat lain dalam bentuk iuran sukarela atau bahkan mungkin sumbangan sukarela.

 

Setelah donasi diterima, pihak panitia harus bertugas menyiapkan acara tersebut agar terlaksana dengan lancar. Mulailah pembagian tugas. Kebetulan, salah satu tugas penyiapan makanan dibebankan kepada salah satu panitia yang memiliki bisnis di bidang makanan. Bolehkah, membebankan tugas itu kepada salah satu panitia tersebut? Bolehkah bagi panitia itu menyiapkan makanan dari warung atau usahanya sendiri? Bolehkah bagi panitia itu juga mengambil keuntungan dari setiap porsi menu makanan itu yang biasanya ia ambil dari pelanggan yang lain? Di sinilah tulisan ini akan kita fokuskan pada kesempatan tulisan kali ini, yang secara khusus sebenarnya untuk menjawab beberapa permasalahan warganet yang disampaikan kepada penulis di media sosial.

 

Kita awali kajian kita dari seputar akad penyerahan donasi, kemudian tugas wakil donatur (sukarelawan atau lembaga donasi), dan selanjutnya muamalah yang dilakukan wakil donatur.

 

Akad Penyerahan Donasi

Bagaimanapun juga, penyerahan suatu barang atau dana, kepada pihak lain tanpa disertai harapan kembalinya dana tersebut ke pihak pemberi (semata karena Allah SWT/berbuat kebaikan (tabarru’), termasuk penyerahan jenis sedekah.

 

Jika penyerahan ini digantikan oleh pihak lain yang disuruh melakukannya, sebelum pihak pertama yang menyerahkan meninggal dunia, maka akad penyerahan ini termasuk jenis akad wakalah.

 

Dan bila acara/pihak yang akan menerima barang itu sifatnya sudah ditentukan oleh pihak pertama yang menyerahkan (muwakkil), maka akadnya dinamakan dengan istilah wakalah muqayyadah (perwakilan terbatas dengan objek yang juga terbatas). Dalam kasus ini, terbatas pada peruntukan bagi-bagi makanan.

 

Jadi, apa akad melakukan penggalangan dana untuk kepentingan program berbagi makanan tersebut? Jawabnya, kita sudah mengetahuinya, yaitu termasuk kategori akad wakalah muqayyadah.

 

Tugas Sukarelawan Berbagi Makanan

Seiring program yang diselenggarakan termasuk kategori wakalah muqayyadah, dengan tujuan utama terselenggaranya wujud kegiatan berbagi makanan, maka mengerahkan segala daya upaya agar terselenggaranya tujuan itu hukumnya adalah menjadi wajib dilakukan oleh para sukarelawan seiring basis akad wakalah adalah penyampaian amanah donatur. Menjadi wakil hukumnya memang sunnah. Namun, tugas menyampaikan amanah hukumnya wajib disebabkan relasi amanah itu. Tidak melaksanakan tanggung jawab sesuai amanah termasuk bagian dari sifat nifaq yang sangat dibenci oleh syariat.

 

Bermuamalahnya Sukarelawan dengan Donasi yang Terkumpul

Pada dasarnya, perintah mengerjakan suatu amanah adalah juga perintah menyediakan terhadap akses guna mencapai tujuan penyampaian amanah. Kaidah yang berlaku dalam hal ini adalah al-amru bi al-syai’ amrun bi wasailihi, yaitu perintah atas sesuatu adalah termasuk perintah melaksanakan wasilah (prasyarat) mewujudkan sesuatu itu.

 

Alhasil, berangkat dari kaidah ini tercermin bahwa di balik perintah mengerjakan sesuatu yang bersifat khusus, ada sesuatu yang lebih khusus lagi yang harus ditunaikan. Logikanya begini:

 

Penyaluran donasi ke program berbagi makanan menduduki peran wajib yang bersifat khusus (khash). Artinya, donasi itu tidak boleh disalurkan ke selain program tersebut. Namun, agar sukses program itu, maka diperlukan melakukan sesuatu yang lebih khusus lagi, yaitu menyediakan makanan. Jadi, kedudukan penyediaan makanan, menempati derajat syarat bagi terlaksanannya program berbagi makanan. Ketidakterpenuhinya syarat, menjadikan program itu batal secara syara. Sebaliknya, terkumpulnya syarat dan rukun bagi terlaksananya program, menjadikan program itu sahih secara syara’.”

 

Sampai di sini, menyediakan makanan adalah menempati derajat syarat dan merupakan ‘urf yang masyhur (umum diketahui). Kaidah yang berlaku adalah al-ma’rufu ‘urfan, ka al-masyruthi syarthan (sesuatu yang sudah dikenal sebagai urf, menduduki posisi syarat).

 

Imbas dari penggunaan kaidah ini adalah untuk tersedianya makanan yang bisa disajikan, maka salah satunya harus melakukan akad muamalah, yaitu jual beli makanan atau produk makanan, atau menyewa tukang masak. Mengapa? Sebab adalah sebuah hal yang sulit (masyaqqah) bagi pihak penyelenggara even, kemudian harus juga melakukan aktivitas masak. Oleh karenanya, masyaqqah ini menghendaki adanya kemudahan sebagaimana kaidah yang berlaku adalah al-masyaqqatu tajlibu al-taysir (kesulitan menghendaki kemudahan).

 

Hal yang paling mudah untuk dilakukan oleh para sukarelawan, agar program berbagi makanan itu lancar dalam pelaksanaannya, maka pihak penyedia makanan adalah dibebankan pada salah satu pihak yang mudah diakses dan bertanggung jawab terhadap tujuan program berbagi makanan.

 

Dan pihak yang bisa memerankan semacam ini, pada dasarnya bisa saja diambilkan dari pihak lain selain kalangan relawan, misalnya dengan memesankan makanan pada warung tertentu dan diambil pada waktu yang ditentukan. Namun, ada juga risikonya, yaitu makanan menjadi beragam sehingga tidak sesuai dengan pesanan. Kualitas makanan pun juga menjadi beragam. Kadang lauk pauknya tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Alhasil, kondisi semacam ini seringkali menimbulkan kekecewaan.

 

Bagaimana bila usaha penyediaan itu dibebankan saja pada salah satu panitia (sukarelawan) yang kebetulan juga punya bisnis buka warung makanan?

 

Jika hal ini yang dirasa lebih maslahat bagi kelancaran dan terselenggaranya acara berbagi makanan tersebut, maka sudah barang tentu hal yang lebih maslahat adalah yang diutamakan. Sebagaimana hal ini sesuai dengan penerapan kaidah al-muhafadhatu ‘ala al-qadim shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid ashlah (menjaga penerapan pendapat lama yang baik, dan mengambil pendapat baru yang lebih maslahah). Mafsadah yang dihindari adalah kekecewaan anggota sukarelawan yang lain disebabkan karena menu yang tidak terkontrol. Kemaslahatan yang hendak diambil adalah terkontrol dan kepastian tersedianya menu makanan yang siap dibagikan.

 

Bagaimana menyikapi pendapat seorang ustadz di media sosial yang menyatakan bahwa program berbagi makanan dalam hal sedemikian ini termasuk terlarang karena adanya akad ganda yaitu peran sukarelawan selaku wakil donatur dan sekaligus sebagai pebisnis?

 

Dalam fiqih Syafi’iyah, sebenarnya keberadaan akad murakkab (ganda) semacam ini bisa saja didekati dengan melakukan tafriq al-shafqah, yaitu perincian akad. Antara akad wakalahnya donatur dengan akad muamalahnya sukarelawan merupakan sesuatu yang bisa dipisahkan rinciannya.

 

Suatu misal: untuk menu bahan makanan dengan kategori tertentu, umumnya sukarelawan itu menjualnya dengan harga 20 ribu (misalnya), maka dalam konteks semacam ini, harga itulah yang harus diterapkan. Artinya, menu makanan itu harus bersifat sudah diketahui terlebih dulu secara pasti pada saat akad pemesanan, dan diketahui secara bersama-sama oleh panitia sehingga tidak terjadi gharar.

 

Jika harga ini sudah berlaku sebagai keumuman sukarelawan itu menjual, maka boleh bagi pihak panitia memesan makanan untuk program berbagi tersebut kepada sukarelawan yang berprofesi bisnis makanan. Kecuali, bila ada kasus harga baru terhadap menu yang akan disajikan atau harganya tidak jelas dalam rincian awalnya, baik secara barang atau secara borongan, maka hal ini bisa menarik pada timbulnya praktik gharar (ketidakjelasan). Alhasil, hukumnya tidak boleh disebabkan karena gharar tersebut, yang secara tidak langsung merupakan ekses dari adanya akad ganda yang bathil dalam syara’. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim