Syariah

Penjelasan Haram, Makruh Tahrim, Khilaful Aula, dan Makruh Tanzih

Jum, 27 Juli 2018 | 02:00 WIB

Kita sering mendengar kata “haram”. Kita juga sering mendengar kata “makruh”. Tetapi kita sesekali menemukan kata makruh tahrim atau karahatut tahrim, makruh tanzih atau karahatut tanzih, dan khilaful aula dalam literatur fiqih. Apa yang dimaksud oleh ulama fiqih dengan semua istilah ini?

Secara umum, semua istilah ini merujuk pada perbuatan yang dilarang dalam agama Islam. Syekh Ibrahim Al-Baijuri menerangkan tiga istilah ini yang dimulai dari makruh tahrim dan makruh tanzih:

والفرق بين كراهة التحريم وكراهة التنزيه أن الأولى تقتضي الإثم والثانية لا تقتضيه

Artinya, “Perbedaan antara karahatut (makruh) tahrim dan karahatut (makruh) tanzih, adalah yang pertama perbuatan (makruh tahrim) meniscayakan dosa dan yang kedua (makruh tanzih) tidak meniscayakan dosa,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Syarah Allamah ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], cetakan pertama, halaman 197).

Syekh Ibrahim Al-Baijuri juga menyebutkan bahwa perbuatan makruh tanzih juga perbuatan terlarang yang menyebabkan pelakunya berdosa.

وإنما أثم هنا حتى على القول بأن الكراهة للتنزيه للتلبس بالعبادة الفاسدة

Artinya, “Hanya seseorang berdosa di sini–meskipun menurut salah satu pendapat ulama–karena makruh tanzih menyerupai ibadah yang rusak,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Syarah Allamah ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], cetakan pertama, halaman 197).

Perbuatan yang hukumnya makruh tanzih adalah perbuatan terlarang tanpa dosa yang menyalahi adab, yaitu memulai sesuatu dengan sesuatu serba kiri, minum sambil berdiri, mengipasi makanan yang masih panas, atau meninggalkan amalan yang dianjurkan, untuk menyebut sejumlah contoh perbuatan makruh tanzih.

Perbuatan makruh tanzih atau karahah tanzih ini yang juga kemudian diistilahkan oleh ulama fiqih sebagai perbuatan khilaful aula, sebuah perbuatan menyalahi yang utama atau yang afdhal.

Sedangkan makruh tahrim adalah perbuatan terlarang yang ditetapkan oleh dalil yang mengandung multitafsir. Syekh Ibrahim Al-Baijuri menyebut shalat sunnah mutlak setelah shalat Subuh dan Shalat Ashar sebagai contoh makruh tahrim atau karahah tahrim.

Al-Baijuri menyebut riwayat Imam Muslim yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW melarang sejumlah shahabatnya untuk shalat di tiga waktu, salah satunya adalah shalat setelah shalat Subuh.

لما رواه مسلم عن عقبة بن عامر رضي الله عنه قال ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن أو نقبر فيهن موتانا حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تميل الشمس وحين تضيف الشمس للغروب

Artinya, “Seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Uqbah bin Amir RA, ia berkata, ‘Terdapat tiga waktu di mana Rasulullah SAW melarang kami shalat atau memakamkan jenazah kami di dalamnya, yaitu ketika matahari terbit hingga naik, ketika unta berdiri (karena panas atau istiwa) hingga matahari sedikit miring, dan ketika matahari miring hingga terbenam,’” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Syarah Allamah ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], cetakan pertama, halaman 197).

Jadi, shalat sunnah mutlak, yaitu shalat sunnah atau shalat tanpa sebab tertentu setelah shalat Subuh atau shalat Ashar termasuk ke dalam kategori makruh tahrim sebagaimana riwayat Imam Muslim. Pandangan ini dipegang oleh Madzhab Syafi’i.

Al-Baijuri terakhir menjelaskan perbedaan makruh tahrim dan haram. Ketika menemukan kata “makruh tahrim” dan kata “haram”, maka kita perlu mengingat bahwa orang yang melakukan perbuatan makruh tahrim dan perbuatan haram akan terkena dosa.

والفرق بين كراهة التحريم والحرام مع أن كلا يقتضي الإثم أن كراهة التحريم ما ثبتت بدليل يحتمل التأويل والحرام ما ثبت بدليل قطعي لا يحتمل التأويل من كتاب أو سنة أو إجماع أو قياس

Artinya, “Perbedaan antara makruh tahrim dan haram–sekalipun keduanya menuntut dosa–adalah makruh tahrim adalah perbuatan terlarang yang didasarkan pada dalil yang mengandung ta’wil. Sedangkan haram adalah perbuatan terlarang yang didasarkan pada dalil qath‘i yang tidak mengandung kemungkinan penakwilan baik dalil Al-Qur‘an, sunnah, ijmak, atau qiyas,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatul Baijuri ala Syarah Allamah ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], cetakan pertama, halaman 197).

Dari penjelasan Al-Baijuri, kita dapat menarik simpulan bahwa pembeda antara makruh tahrim dan haram adalah karakter sumber dalilnya.

Kalau larangan atas sebuah perbuatan datang dari dalil yang memungkinkan takwil, maka perbuatan terlarang itu termasuk makruh tahrim. Tetapi ketika larangan atas sebuah perbuatan datang dari dalil qath’i yang tidak dapat ditakwil, maka perbuatan terlarang itu termasuk haram.

Contoh perbuatan haram sebagaimana dimaklum adalah minum khamar, perjudian, perzinaan, praktik riba, pembunuhan, dan perbuatan lain dengan karakter dalil yang serupa. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)