Syariah

Penjelasan Lengkap Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam As-Syafi’i dan Hukum Mengamalkannya

Rab, 22 Februari 2023 | 08:00 WIB

Penjelasan Lengkap Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam As-Syafi’i dan Hukum Mengamalkannya

Ilustrasi: Imam As-Syafi’i (NU Online)

Bolehkah mengamalkan qaul qadim atau pendapat lama​​​​​ Imam As-Syafi’i yan​​​​​​​g telah dicabut?​​​
 

 

Biografi Singkat Imam As-Syafi'i​​​​​​​​​​​​​

Muhamad bin Idris atau yang dikenal dengan Imam As-Syafi’i adalah pendiri salah satu mazhab dari mazahibul arba’ah yang hingga kini masih terbukukan pendapat-pendapatnya. Beliau adalah pembaharu (mujaddid) Islam pada akhir abad kedua hijriah. Kurang lebih sekitar 120 kitab tentang hukum fikih telah disusunnya. 
 

Guru besar mazhab Syafi’i Madinah pada pertengahan abad ke-18 masehi, yaitu Syaikh Muhamad bin Sulaiman Al-Kurdi mengemukakan bahwa Imam As-Syafi’i adalah orang yang pertama kali menyusun ilmu Ushul Fiqih. Ia juga yang pertama kali mengodifikasikan permasalahan hajr atau pemberhentian kewenangan penasurufan harta, as-sabqu (perlombaan), dan ar-ramyu (memanah). (Muhamad bin Sulaiman Al-Kurdi, Al-Fawaidul Madaniyah, [Kairo, Darul Faruq: 2008], halaman 340). 
 

Tidak hanya itu, Imam An-Nawawi dalam mukadimah Syarhul Muhaddzab menuturkan bahwa Imam As-Syafi’i adalah ulama yang pertama kali menyusun bab qasaamah (peraturan tuduhan pembunuhan), jizyah (perpajakan), dan bughat (pemberontak pemerintahan). (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2011], juz I, halaman 9). 
 

 

Perubahan Fatwa Imam As-Syafi’i

Dalam perjalananya, Imam As-Syafi’i mengalami perubahan dinamika pemikiran. Ia mencabut sebagian besar pendapat fiqihnya dan mengganti dengan temuan hukum yang baru. Perubahan tersebut tidak lepas dari pengaruh berubahnya kondisi sosial masyarakat serta dalil-dalil yang ditemukan. Demikian sebagaimana yang dijelaskan Wahbah Az-Zuhaili dalam salah satu kitabnya yang bertemakan pembaharuan Islam.
 

Az-Zuhaili mengutip pernyataan Ibnu Abidin: 
 

“Banyak hukum syariat yang berubah disebabkan berubahnya adat dari masyarakat atau karena datangnya kondisi darurat. Perubahan tersebut terjadi sekira hukum ditetapkan sebagaimana asalnya, maka akan terjadi kesulitan (masyaqqah) dan bahaya bagi manusia. Sebab itu banyak ditemukan tokoh pembesar mazhab berbeda dengan nash yang disampaikan oleh imamnya dalam beberapa kasus. Hal itu terjadi karena zaman telah berbeda dengan masa dicetuskannya hukum oleh mujtahid. Perubahan tersebut andai para mujtahid hidup di masa yang dialami para pembesar mazhab, pasti akan berkata seperti yang dinyatakan pembesar mazhab karena tuntutan kaidah-kaidah mazhab.” (Waḥbah az- Zuḥaili dan Athiyah, Tajdīdul Fiqhil Islami, [Damaskus, Darul Fikr: 2000], halaman 180-181).
 

Melihat keterangan di atas, maka sangat wajar seorang mujtahid seperti Imam As-Syafi’i mencabut fatwa dan mengubahnya dengan hukum baru. Perubahan fatwa inilah yang selanjutnya oleh pengikut mazhab Syafi’i dinamai dengan istilah qaul qadim dan qaul jadid Imam As-Syafi’i. 
 

Lalu bagaimana hukum mengikuti pendapat Imam As-Syafi’i yang telah dicabut seperti qaul qadimnya? Apakah diperbolehkan berfatwa dengan landasan qaul qadim Imam As-Syafi’i?
 

 

Tiga Fase Pemb​​​​​​​en​​​​​​​tukan Mazhab ​​​​​​​Imam As-Syafi’i

Setelah menelaah beberapa literatur kitab salaf perihal qaul qadim dan qaul jadid, setidaknya dapat disimpulkan ada tiga fase perjalanan berdirinya mazhab Syafi’i.
 

  1. Fase saat Imam As-Syafi’i tinggal di Irak, tepatnya kota Bagdad.
  2. Fase setelah keluar dari Bagdad, namun belum memasuki kota Mesir.
  3. Fase saat beliau berada di Mesir hingga wafatnya. 
     

Dari ketiga fase tersebut, hanya dua fase yang disepakati para ulama terkait statusnya. Dua fase itu ialah saat beliau berada di Bagdad dan di Mesir. Sedangkan fase di antara keberangkatan Imam As-Syafi’i dari Bagdad menuju Mesir, ulama berbeda pendapat mengenai statusnya. 
 

 

Fase Bagdad 

Setelah mengenyam banyak ilmu hadits dari Imam Malik, Imam As-Syafi’i hijrah ke daerah Bagdad, tepatnya pada tahun 195 H. Di sinilah awal mula Imam As-Syafi’i mendirikan mazhab. Tidak butuh waktu lama, keilmuan Imam As-Syafi’i tersebar secara luas ke berbagai penjuru kota Bagdad. Kepiawaiannya dalam bidang hadits membuat kagum para pembesar ulama Bagdad seperti Imam Muhamad bin Hasan Al-Hanafi, sehingga mereka menjuluki Imam As-Syafi’i dengan sebutan Nashirus Sunnah atau Pembela Hadis Nabi.
 

Hal itu sebagaimana keterangan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj

 

ثُمَّ رَحَلَ لِمَالِكٍ فَأَقَامَ عِنْدَهُ مُدَّةً ثُمَّ لِبَغْدَادَ وَلُقِّبَ نَاصِرَ السُّنَّةِ لَمَّا نَاظَرَ أَكَابِرَهَا وَظَفِرَ عَلَيْهِمْ كَمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ 
 

Artinya: “Kemudian Imam As-Syafi’i berangkat menuju Imam Malik dan menetap di sana beberapa tahun. Lalu pindah ke kota Bagdad dan mendapatkan julukan Nashirus Sunnah setelah mengungguli para pembesar ulama Bagdad dalam berbagai diskusi.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2011], juz I, halaman 53).
 

Pakar fiqih terkemuka Imam Khatib As-Syirbini menyebutkan, sejak kedatangan Imam As-Syafi’i di Bagdad banyak ulama keluar dari mazhabnya dan berpindah mengikuti mazhab Imam As-Syafi’i.
 

قَدِمَ بَغْدَادَ سَنَةَ خَمْسٍ وَتِسْعِينَ وَمِائَةٍ فَأَقَامَ بِهَا سَنَتَيْنِ وَاجْتَمَعَ عَلَيْهِ عُلَمَاؤُهَا، وَرَجَعَ كَثِيرٌ مِنْهُمْ عَنْ مَذَاهِبَ كَانُوا عَلَيْهَا إلَى مَذْهَبِهِ
 

Artinya: “Pada tahun 195 H., Imam As-Syafi’i tiba di kota Bagdad dan menetap di sana sekitar dua tahun lamanya. Syahdan, ulama di kota tersebut berkumpul mendatangi Imam As-Syafi’i dan banyak dari mereka yang meninggalkan mazhab lamanya berpindah mengikuti mazhab Imam As-Syafi’i.” (Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2011], juz I, halaman 107). 

 

Di kota ini, selain berfatwa di berbagai halaqah, ia juga mengabadikan berbagai pendapat fiqihnya dalam sebuah karya kitab yang bernama Al-Hujjah. Hukum-hukum fiqih yang tertuang dalam kitab inilah—selain fatwa-fatwanya di berbagai kesempatan—yang kemudian disebut qaul qadim mazhab Syafi’i. Kitab tersebut diriwayatkan kepada generasi setelahnya oleh murid-murid Imam As-Syafi’i di daerah Irak.
 

Di antara banyak perawi qaul qadim, hanya ada empat ulama yang terkenal. Yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Az-Za’farani, Imam Al-Karabisi, dan Abu Tsaur. Selain kitab fiqih, di Baghdad ia juga mengarang kitab Ar-Risalah tentang ushul fiqih.

 

Fase Antara Bagdad dan Mesir

Setelah dua tahun di Bagdad, Imam As-Syafi’i pergi ke Makkah dan tinggal di sana kurang lebih sekitar satu tahun. Di Makkah ia juga memberi fatwa berbagai hukum fiqih. Bahkan menurut riwayat Imam Al-Khawarizmi, wallahu a'lam, ia sempat menyusun kitab Al-Imla’ dan Al-Umm di kota ini.
 

Pendapat fiqih Imam As-Syafi’i pada fase inilah yang statusnya diperselisihkan oleh ulama. Ada yang men​​​​​​g​atakan pendapatnya di kota Makkah ini adalah qaul qadim, karena memandang pendapat tersebut muncul sebelum Imam As-Syafi’i memasuki kota Mesir. Sebagian lain menyatakan bahwa pendapat Imam As-Syafi’i di antara Bagdad dan Mesir tidak bisa langsung distatuskan sebagai qaul qadim, melainkan harus diperinci. Yaitu jika ditemukan dua pendapat Imam As-Syafi’i yang berbeda, maka pendapat pertama adalah qaul qadim dan yang terakhir adalah pendapat terbarunya atau qaul jadid.

 

Fase Mesir

Fase terakhir, yakni ketika Imam As-Syafi’i memasuki kota Mesir. Pada fase ini ulama sepakat bahwa semua hukum fikih yang disampaikan Imam As-Syafi’i baik berupa fatwa maupun tulisan kitab adalah qaul jadid Imam As-Syafi’i.  
 

الْجَدِيدُ مَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ بِمِصْرَ تَصْنِيفًا أَوْ إفْتَاءً
 

Artinya; “Qaul jadid adalah hukum yang dikemukakan Imam As-Syafi’i di kota Mesir, baik berupa karangan kitab atau fatwa-fatwanya.” (As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, juz I, halaman 108). 
 

Perawi mazhab jadid ini adalah murid-murid Imam As-Syafi’i yang berada di Mesir. Setidaknya ada tujuh ulama besar yang meriwayatkan qaul jadid ini. Yaitu Al-Buwaithi, Al-Muzani, Ar-Rabi’ Al-Muradi, Ar-Rabi’ Al-Jizi, Harmalah, Abdullah bin Zubair Al-Makki, dan Muhamad bin Abdul Hakam.
 

Qaul jadid Imam As-Syafi’i terkodifikasi dalam berbagai kitab. Antara lain, Al-Umm, Muhtashar Al-Buwaithi, Muhtashar Al-Muzani, Al-Imla’ dan Al-Amali.
 

Dari ulasan panjang di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Qaul qadim adalah hukum fiqih yang disampaikan Imam As-Syafi’i di kota Bahgdad yang tertuang dalam kitabnya Al-Hujjah atau berupa fatwa-fatwanya.
  2. Qaul jadid adalah pendapat fiqih yang disampaikan setelah Imam As-Syafi’i memasuki kota Mesir. 
  3. Sedangkan pendapat Imam As-Syafi’i yang muncul di antara perjalanan hijrah dari Baghdad menuju Mesir, ulama berbeda pendapat sebagaimana telah disinggung sebelumnya.


 

Bolehkah Mengamalkan Qaul Qadim Imam As-Syafi’i?

Sejatinya tidak semua hukum fiqih yang difatwakan Imam As-Syafi’i di Mesir berbeda dengan qaul qadimnya. Terkadang Imam As-Syafi’i menjelaskan permasalahan dalam qaul jadid sesuai keputusan qaul qadim. Terkadang pula ia menyinggung suatu permasalahan dalam qaul qadim, namun tidak mengulangi penjelasannya di qaul jadid. Dalam kondisi seperti ini maka sangat jelas bahwa qaul qadim Imam As-Syafi’i bisa digunakan untuk diri sendiri atau berfatwa kepada orang lain, sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’

 

واعلم أن قولهم القديم ليس مذهبا للشافعي أو مرجوعا عنه أو لا فتوى عليه المراد به قديم نص في الجديد على خلافه أما قديم لم يخالفه في الجديد أو لم يتعرض لتلك المسألة في الجديد فهو مذهب الشافعي واعتقاده ويعمل به ويفتى عليه فإنه قاله ولم يرجع عنه
 

Artinya: “Ungkapan ulama yang menyatakan, “Qaul qadim Imam As-Syafi’i telah dicabut dan tidak bisa dijadikan acuan fatwa”, maka yang dimaksud dari ungkapan tersebut adalah qaul qadim yang bertentangan dengan penjelasan Imam As-Syafi’i di dalam qaul jadidnya. Adapun qaul qadim yang tidak bertentangan dengan qaul jadid, atau Imam As-Syafi’i tidak menyinggung permasalahan terebut dalam qaul jadid, maka qaul qadim tersebut adalah pendapat Imam As-Syafi’i yang bisa diamalkan dan difatwakan.” (An-Nawawi, Al-Majmu’, juz I, halaman 68). 
 

Permasalahan muncul ketika qaul jadid yang disampaikan Imam As-Syafi’i berbeda dengan qaul qadim. Dalam hal ini mayoritas ulama menyatakan bahwa qaul qadim sudah tidak bisa diamalkan lagi. Karena dengan pendapat baru itu, artinya Imam As-Syafi’i telah mencabut pendapat lamanya. 
 

كل مسألة فيها قولان للشافعي رحمه الله قديم وجديد فالجديد هو الصحيح وعليه العمل لأن القديم مرجوع عنه

 

Artinya: “Setiap masalah yang di dalamnya terdapat dua pendapat Imam As-Syafi’i, yaitu qaul qadim dan qaul jadid, maka pendapat yang sahih dan bisa diamalkan adalah qaul jadid. Karena qaul qadim telah dicabut.” (An-Nawawi, Al-Majmu’, juz I, halaman 66). 
 

Argumen ini dikuatkan langsung oleh statemen Imam As-Syafi’i sendiri yang melarang pendapat qadim untuk diriwayatkan.
 

فإنه غسل تلك الكتب ثم قال :لَيْسَ فِي حِلٍّ مَنْ رَوَى عَنِّي القَدِيمَ
 

Artinya: “Sesungguhnya Imam As-Syafi’i telah menghapus kitab lamanya, kemudian mengatakan, “Tidak boleh bagi siapapun meriwayatkan qaul qadim dariku.” (Al-Isnawi, Al-Muhimmat fi Syarhir Ar-Raudhah war Rafi’i, [Beirut, Dar Ibn Hazm: 1430 H/2009 M], juz IX, halaman 224). 
 

Berbeda dengan Imam An-Nawawi, Syekh Izzuddin bin Abdissalam, salah satu pakar fikih ternama menyatakan kebolehan mengikuti qaul qadim meski telah dicabut oleh Imam As-Syafi’i.
 

عن الشيخ الصالح الفقيه الأصولي أبي محمد عبد الحميد بن أبي الدنيا أنه قال: سألت الفقيه الـعـالم عــز الـديـن بـن عبـد السلام: هل يجوز الأخذُ بالقول الأول الذي رجع عنه الإمام المقلد أو لا؟ فقال لي: ذلك جائز
 

Artinya: “Diriwayatkan dari Syekh Salih Abi Muhamad bin Abi Dunya, ia berkata; "Saya bertanya kepada Imam Izzuddin bin Abdissalam, apakah boleh mengambil pendapat imam yang telah mencabut pendapatnya? Beliau menjawab, hal tersebut diperbolehkan.” (Muhamad bin Sulaiman Al-Kurdi, Al-Fawaidul Madaniyah, [Kairo, Darul Faruq: 2008], halaman 337). 
 

Sayid Samhudi memberikan alasan logis terkait hal tersebut. Ia menyatakan bahwa pencabutan mujtahid pada pendapat lamanya tidak bisa diartikan menghapus ijtihad lamanya itu. Hal itu hanya menunjukkan status pendapat yang terakhir itu lebih unggul, tapi tidak menafikan pendapat pertama:
 

ووجهه أن الرجوع عنه إنما هو الأرجحية الثاني عليه، وكونُ الأَوَّلِ مرجوحا لا يمنع من جواز تقليده عنده، والرجوع لا يرفع الخلاف السابق
 

Artinya: “Sesungguhnya mencabut pendapat pertama hanya menunjukan keunggulan pendapat yang kedua (qaul jadid). Adanya status pen​​​​​​dapat pertama yang lemah (marjuh) tidak menghalangi kebolehan mengikuti pendapat tersebut." (Al-Kurdi, Al-Fawaidul Madaniyah, halaman 337). 
 

Pandangan Syekh Izzuddin tersebut senada dengan Imam Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Khadim yang menjelaskan pencabutan mujtahid pada ijtihadn​​​​​​ya tidak bisa merusak ijtihadnya itu.
 

في أوائل الخادم ...  لو حكم القاضي باجتهادٍ ثم تَغيَّر اجتهاده فإنه لا يَنقُض الأوَّل

 

Artinya: “Apabila hakim memutuskan permasalahan dengan berijtihad, kemudian ijtihadnya berubah, maka sesungguhnya perubahan tersebut tidak merusak ijtihad yang pertama.” (Al-Kurdi, Al-Fawaidul Madaniyah, halaman 337).
 

 

Simpulan

Para ulama berbeda pendapat terkait kebolehan mengamalkan qaul qadim Imam As-Syafi’i. Pendapat mayoritas mengatakan tidak boleh mengikuti qaul qadim Imam As-Syafi’i karena telah dicabut. Sedangkan ulama lain seperti Syekh Izzuddin bin Abdussalam, Imam Az-Zarkasyi dan semisalnya, memperbolehkan mengikuti qaul qadim Imam As-Syafi’i sekalipun telah dicabut. Karena status qaul qadim dan qaul jadid seperti halnya perbedaan dua pendapat ulama yang keduanya bisa diamalkan. 
 

Dengan demikian, hendaknya perbedaan pendapat mengenai qaul qadim ini bisa disikapi dengan bijak. Tidak menggunakann​​​​​​​ya untuk menuruti kesenangan hawa nafsu saja. Tapi lebih pada pertimbangan maslahat dan madharatnya. Wallahu a’lam.

 


Ustadz M Intihaul Fudola Toha, Pengurus LBM Pondok Pesantren Lirboyo Kota Kediri.