Perlindungan Konsumen dalam Sistem Jual Beli menurut Islam
NU Online · Ahad, 22 November 2020 | 13:30 WIB
Muhammad Syamsudin
Kolomnis
Ketika kita berbicara mengenai konsumen maka kita berbicara mengenai pihak yang menjadi objek akibat suatu introduksi produk atau jasa. Untuk kasus jual beli (bai’) maka kita bicara soal pembelinya (musytari). Untuk kasus akad sewa jasa (ijarah) maka kita seolah berbicara mengenai perlindungan terhadap penyewa atau pengguna jasa (musta’jir). Dan jika kita berbicara soal kasus investasi (istitsmar) maka kita berbicara mengenai perlindungan terhadap investor.
Dari ketiga sektor bidang usaha di atas, yakni jual beli, jasa, dan investasi, tentu saja objek yang menjadi landasan perlindungan konsumen dalam Islam secara berturut--turut, terletak pada (1) mabi’ (barang yang diniagakan), (2) manfaat sewa dan objek sewa, dan (3) sektor investasi.
Dari ketiga objek inilah, selanjutnya, kajian tentang perlindungan konsumen dalam Islam itu memiliki cabang-cabang yang sangat kompleks bila dihadapkan pada kondisi di lapangan. Kali ini kita hadirkan terlebih dulu paradigma perlindungan konsumen jual beli produk riil dalam Islam.
Sebagaimana kita tahu bahwa jual beli merupakan sektor yang pelik untuk dibahas, mengingat jual beli dalam Islam itu ada empat pola; 2 di antaranya sah yaitu jual beli barang fisik secara tatap muka atau pemesanan (salam) (ain musyahadah dan syaiin maushuf fi al-dzimmah), dan 1 di antaranya diperselisihkan hukumnya yaitu pada praktik pesan sesuatu yang bisa diwujudkan dalam tempo tertentu (syaiin maushuf fi al-dzimmah ma’a al-imkan al-ijad), dan terakhir adalah jual beli barang gaib yang bersifat ma’dum (fiktif) yang disepakati berhukum haram.
Dari setiap mekanisme jual beli itu, tujuan utama dari perlindungan konsumen dalam Islam adalah demi menjaga terbitnya rasa thayyibi al-anfus (bagusnya psiko penerimaan) yang ditengarai oleh rasa saling ridla (‘an taradlin).
Itulah sebabnya, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits, beliau bersabda bahwa sesungguhnya jual beli itu hendaknya menerbitkan rasa saling ridla (innama al-bai’u ‘an taradlin).
Karena tidak semua mekanisme jual beli dilakukan dalam wadah satu majelis maka ditetapkan adanya khiyar (opsi memilih melanjutkan atau membatalkan akad).
Dilihat dari sisi majelisnya, khiyar ini bisa dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: (1) ada khiyar majelis, (2) khiyar syarat, (3) khiyar aib.
Khiyar majelis ditengarai oleh penentuan oleh pembeli terhadap barang yang dibeli sebelum berpisah dengan pembeli dari majelis akad atau majelis transaksi. Tujuan dari khiyar ini adalah untuk menjaga agar tidak terjadi praktik gharar (ketidakpastian) yang merugikan konsumen (pembeli barang).
Khiyar syarat ditengarai oleh pilihan terhadap barang yang dijualbelikan beserta ketentuan yang berlaku dan disepakati oleh penjual dan pembeli. Suatu misal, untuk kasus jual beli dengan sistem online, atau sistem salam. Umumnya disyaratkan, bahwa transaksi baru dianggap sebagai deal (terjadi dan sah) bilamana barang sudah diterima oleh pembeli, lengkap dengan ketentuannya.
Suatu misal, setelah satu minggu barang diterima, ada problem atau tidak pada barang, dan pembeli ridla atau tidak. Nah, dalam kasus semacam ini, bilamana pembeli kemudian merasa keberatan dengan produk yang diberikan kepadanya maka hak baginya adalah melakukan klaim atas barang dan pembatalan akad. Atau justru sebaliknya, yaitu menerima apa adanya terhadap barang tanpa protes terhadap kekurangan yang ditemuinya.
Praktik khiyar syarat semacam ini adalah bagian dari upaya perlindungan terhadap konsumen, bahwa ia harus mendapatkan barang sesuai dengan yang dikehendakinya, tanpa adanya hal yang membuatnya tidak bisa menerima terhadap kekurangan yang mungkin ada pada barang. Dan syariat melegitimasi khiyar syarat ini, sebab adanya illat dlarurat li hajati al-nas (darurat karena kebutuhan manusia). Buktinya?
Tidak semua penjual dan pembeli sebagai yang bisa bertemu langsung dengan penjual di majelis akad. Demikian halnya, barang yang dijualbelikan, terkadang juga tidak bisa diketahui cacatnya secara langsung di majelis akad, melainkan meniscayakan harus dipergunakan dulu.
Itulah sebabnya muncul sistem “garansi” dalam kasus transaksi modern, yang jika dirunut asal muasal dari sistem ini, adalah perkembangan dari khiyar syarat dan khiyar aib (cacat). Dan, masyarakat sangat membutuhkan adanya toleransi syariat di wilayah tersebut. Akhirnya, muncul yang hasil-hasil ijtihad dari para ulama madzhab perihal khiyar setelah mempertimbangkan ‘urf (adat), situasi dan kondisi masyarakat.
Kesimpulan
Penetapan syarat dan rukun jual beli dalam Islam, hakikatnya juga bisa dimaknai sebagai kepentingan perlindungan konsumen (pembeli) sekaligus terhadap pedagang. Namun, yang paling pokok adalah kepada konsumen selaku masyarakat luas. Apa buktinya? Bukti yang paling urgen adalah dibolehkannya akad jual beli dengan sistem salam, adalah karena faktor dlarurat karena kebutuhan manusia.
Adapun mekanisme yang harus dipenuhi pada praktik jual beli dalam Islam adalah terbitnya rasa saling ridla. Untuk menerbitkan rasa itu maka hadir yang dinamakan sistem khiyar.
Tujuan dari diterapkannya khiyar, adalah menghilangkan unsur ketidaktahuan pembeli, ketidakpastian dalam jual beli (gharar), kecurangan, dan lain sebagainya.
Inilah indahnya syariat Islam yang sudah mengantisipasi semua kebutuhan umat manusia, sehingga bisa terjalin perilaku kehidupan yang adil dan tidak menindas antara satu sama lain sebab hak masing-masing penjual dan pembeli dijaga oleh Islam. Wallahu a’lam bish shawab
Muhammad Syamsudin, M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
5
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
6
Buka Workshop Jurnalistik Filantropi, Savic Ali Ajak Jurnalis Muda Teladani KH Mahfudz Siddiq
Terkini
Lihat Semua