Syariah

Pesan Mbah Maimoen untuk Hidupkan Malam Hari Raya dengan Ibadah

Sel, 9 April 2024 | 22:00 WIB

Pesan Mbah Maimoen untuk Hidupkan Malam Hari Raya dengan Ibadah

Ilustrasi Idul Fitri. (Foto: NU Online)

Tidak sengaja ketika penulis membuka kitab Najmul Wahhaj karya al-Damiri untuk keperluan referensi seputar takbiran hari raya, pertama kali membuka langsung bertepatan dengan keterangan tentang menghidupkan malam hari raya dan penulis langsung teringat dengan pesan Allah Yarham Syaikhana KH. Maimoen Zubair yang sering beliau sampaikan terkait hal itu.

 

Syaikhuna KH. Maimoen Zubair Sarang atau yang akrab disebut dengan Mbah Moen merupakan salah satu ulama Nusantara yang sangat kharismatik baik di mata masyarakat santri atau pun masyarakat majemuk bahkan beliau juga terkenal di kalangan ulama-ulama Timur Tengah.

 

Kedalaman ilmu dan kekuatan hubungan transendental disamping usia beliau yang sangat sepuh menjadi faktor kharismatik beliau yang membuat teduh untuk setiap mata yang memandang serta membawa energi positif untuk selalu mendengarkan dawuh beliau dan melaksanakannya.

 

Pesan Mbah Moen yang sering diputar dalam bentuk postingan audio di media sosial yang menepati momentum hari raya adalah untuk selalu menghidupkan malam hari raya dengan ibadah, bahkan amal ibadah ini bagi beliau pribadi sudah seperti hal yang wajib untuk dilakukan.

 

Penulis waktu masih nyantri kepada beliau baik ketika hari aktif atau ketika momentum pasanan beberapa kali mendengar dawuh itu dan beliau tidak bosan untuk menitahkan kepada para santri untuk melaksanakannya.

 

Mbah Moen ngendikan :

 

Senakal-nakalnya santri meskipun tidak pernah bertahajud atau bahkan tidak pernah shalat sunnah jangan sampai meninggalkan untuk menghidupkan malam dua hari raya dengan ibadah meskipun hanya dengan shalat sunnah bakdiyah isya dua rakaat dan satu rakaat shalat witir, dan shalat isya serta subuhnya berjamaah, agar nanti hatinya tidak mati di hari ketika hati akan mati, dan ini bagiku sudah seperti wajib” .

 

Dawuh Mbah Moen ini berdasarkan dawuh guru beliau yakni Mbah Abdul Karim Manab Lirboyo sewaktu beliau masih nyantri disana, dan tentunya dawuh itu berdasarkan catatan para ulama terdahulu dan catatan itu didasari oleh hadits Nabi Muhammad.

 

Al-Damiri mencatat hal itu sebagai berikut:

 

يُسْتَحَبُّ إِحْيَاءُ لَيْلَتَي العِيْدِ لِقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَي العِيْدِ أَحْيَا اللهُ قَلْبَهُ يَوْمَ تَمُوْتُ القُلُوْبُ.
 

Artinya: “Disunnahkan untuk menghidupkan malam dua hari raya (fitri dan adha) karena hadits Nabi Muhammad: Siapa yang menghidupkan malam dua hari raya maka Allah akan menghidupkan hatinya di hari ketika seluruh hati akan mati”. (Muhammad al-Damiri, Najmul Wahhaj, [Beirut: Darul Minhaj, 2019], juz II, hal. 556.).

 

Al-Jamal mencatat dalam hasyiyah-nya bahwa menghidupkan malam hari raya ini dilakukan dengan ritual peribadatan entah dengan shalat atau ibadah yang lain. Al-Jamal juga menjelaskan maksud dari matinya hati dalam redaksi hadits yang dikutip sebagai berikut:

 

وَالْمُرَادُ بِمَوْتِ الْقُلُوبِ شَغَفُهَا بِحُبِّ الدُّنْيَا أَخْذًا مِنْ خَبَرِ { لَا تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الْمَوْتَى قِيلَ مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْأَغْنِيَاءُ } وَقِيلَ الْكُفْرُ أَخْذًا مِنْ قَوْله تَعَالَى { أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ } أَيْ كَافِرًا فَهَدَيْنَاهُ وَقِيلَ الْفَزَعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَخْذًا مِنْ خَبَرِ { يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ أَوْ غَيْرُهَا وَاسَوْأَتَاه أَتَنْظُرُ الرِّجَالُ إلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَالنِّسَاءُ إلَى عَوْرَاتِ الرِّجَالِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ لَهُمْ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ شُغُلًا لَا يَعْرِفُ الرَّجُلُ أَنَّهُ رَجُلٌ وَلَا الْمَرْأَةُ أَنَّهَا امْرَأَةٌ }

 

Artinya: “Arti dari kematian hati adalah ketertarikan kuat untuk mencintai dunia berdasarkan Hadits “jangan kalian bersama mereka-mereka yang mati, siapakah mereka wahai Rasulullah, mereka adalah orang-orang kaya”, ada juga yang mengartikan kekufuran atas dasar surat al-An’am ayat 122 “Apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan”, yakni sudah kafir kemudian kami beri petunjuk, ada juga yang mengartikan ketakutan di hari kiamat atas dasar hadits “seluruh manusia akan dikumpulkan dalam padang Mahsyar di hari kiamat tidak beralas kaki dan tidak berbusana, dan tidak berkhitan, Ummu Salamah berkata atau yang lain (keraguan rawi), duhai kemaluan apa mereka tidak saling memandang aurat satu sama lain, Nabi menjawab mereka di hari itu sangat sibuk sampai tidak mengetahui jenis kelaminnya sendiri”. (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal alal Minhaj, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2013], juz III, hal. 63-64.).

 

al-Shawi memberikan penjelasan lebih detail tentang tidak matinya hati dalam redaksi hadits yang dikutip terkait hal ini sebagai berikut:

 

وَمَعْنَى عَدَمِ مَوْتِ قَلْبِهِ عَدَمُ تَحَيُّرِهِ عِنْدَ النَّزَعِ وَعِنْدَ سُؤَالِ الْمَلَكَيْنِ وَفِي الْقِيَامَةِ. بَلْ يَكُونُ مُطْمَئِنًّا ثَابِتًا فِي تِلْكَ الْمَوَاضِعِ. 

 

Artinya: “Arti dari tidak matinya hati adalah dia tidak mengalami kebingungan ketika naza’ (tercabutnya nyawa dari tubuh), dan ketika ditanya oleh Munkar dan Nakir, dan juga tidak bingung ketika di hari kiamat, akan tetapi dia selalu tenang tegar di fase-fase itu”. (Ahmad al-Shawi, Bulughatus Salik li Aqrabil Masalik, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1995], juz I, hal. 345-346).

 

Mbah Moen juga menganjurkan untuk berdoa di malam dua hari raya setelah melakukan shalat Tahajud atau setelah melakukan shalat sunnah karena malam itu termasuk malam terkabulkannya doa, sebagaimana kutipan al-Ramli terhadap riwayat Ibnu Abbas berikut:

 

نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (7/ 392)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ يَحْصُلُ إحْيَاؤُهُمَا بِصَلَاةِ الْعِشَاءِ جَمَاعَةً وَالْعَزْمُ عَلَى صَلَاةِ الصُّبْحِ جَمَاعَةً ، وَالدُّعَاءُ فِيهِمَا وَفِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَتَيْ أَوَّلِ رَجَبٍ وَنِصْفِ شَعْبَانَ مُسْتَجَابٌ فَيُسْتَحَب’

 

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, menghidupkan dua malam hari raya bisa dilakukan dengan shalat Isya berjamaah dan berniat akan melakukan shalat subuh berjamaah juga, dan berdoa disunnahkan di malam itu karena malam itu serta malam jumat, dua malam awal bulan Rajab, dan malam pertengahan bulan Sya’ban adalah malam terkabulnya doa”. (Muhammad al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut: Darul Hadits, 2017], juz II, hal. 183.).

 

Pesan Mbah Moen ini sangat penting untuk dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat santri terlebih santri atau yang pernah mengaji kepada beliau, karena Mbah Moen mengatakan peribadatan ini baginya pribadi sudah seperti wajib untuk dilakukan, bahkan ketika membaca redaksi Yauma Tamutul Qulub beliau tersedu dan meneteskan air mata. Semoga kita bisa mengamalkan dawuh beliau ini dengan baik dan ikhlas karena Allah ta’ala. Wallahu A’lam.

 

Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWC NU Tannggulangin  dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo