Syariah

Swasembada dan Ketahanan Pangan dalam Perspektif Islam

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB

Swasembada dan Ketahanan Pangan dalam Perspektif Islam

Ilustrasi menanam. (Foto: NU Online/Freepik)

Islam mengajarkan pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan, sehingga swasembada dan ketahanan pangan menjadi topik krusial yang perlu dibahas dalam perspektif Islam. Ketercukupan pangan diperlukan untuk menjalankan syariat, baik dalam hubungan dengan sesama (hablun minannas) maupun dengan Allah (hablun minallah). Dengan demikian, syariat dapat terlaksana secara vertikal maupun horizontal.

 

Sebagaimana disebutkan dalam buku Islam dan Ketahanan Pangan oleh Syaparuddin dan A. Nuzul (Yogyakarta, TrustMedia Publishing, 2021:25), ketahanan pangan menurut definisi PBB adalah ketersediaan pangan yang cukup untuk menghindari kekurangan pangan, terutama dalam situasi krisis atau bencana.

 

Selanjutnya, swasembada pangan sendiri merujuk pada kemampuan suatu negara untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri, tanpa mengandalkan impor dari negara lain. Konsep ini menekankan pada kemandirian dalam penyediaan pangan, dengan tujuan memastikan kebutuhan dasar seperti beras, jagung, kedelai, daging, dan komoditas pangan lainnya dapat dipenuhi melalui produksi domestik.

 

Swasembada pangan tidak hanya berfokus pada jumlah pangan yang cukup, tetapi juga pada kualitas dan keberlanjutannya. Dengan demikian, pangan yang dihasilkan harus memiliki kualitas yang baik, aman untuk dikonsumsi, dan diproduksi dengan metode yang menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

 

Di Indonesia, terdapat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengatur berbagai aspek terkait penyelenggaraan pangan di Indonesia dengan tujuan untuk menciptakan ketersediaan pangan yang cukup, bergizi, aman, merata, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat.

 

UU ini menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengelola sistem pangan secara terpadu, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, serta mendorong ketahanan pangan yang berbasis pada potensi lokal.

 

Ketahanan Pangan dalam Islam

Dalam Islam, konsep ketahanan pangan tidak hanya terbatas pada ketersediaan, tetapi juga mencakup distribusi yang adil dan pemanfaatan yang seimbang. Pangan tidak hanya dipandang sebagai sumber pemenuhan fisik, tetapi juga sebagai bagian dari hak setiap individu untuk hidup sehat dan sejahtera.

 

Menurut definisi FAO (2021: 27), ketahanan pangan mencakup empat pilar utama, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan, dan stabilitas.

 

Meirison dalam artikelnya “al-Amnul Ghidzai fi Dhaw`il Qur’an was Sunnah” yang diterbitkan pada Jurnal Ulunnuha (2014: 48-62) menyebutkan terdapat dua ayat yang berkaitan dengan konsep ketahanan pangan, yaitu:

 

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ، اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ، فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ، الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ۙ وَاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍۖ

 

Artinya, “Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan), maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah), yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.”

 

Korelasi ketahanan pangan dalam surat Quraisy di atas secara tekstual didapatkan dari praktik suku tersebut di musim dingin dan panas supaya kecukupan pangan dan finansial dapat terpenuhi. Sedangkan menurut penjelasan Syekh Wahbah az-Zuhayli dalam Tafsirul Munir Jilid XXX (Beirut: Darul Fikr, 1418: 419), Surat Quraisy merupakan teguran bagi suku Quraisy untuk mengingat nikmat Allah yang telah diberikan kepada mereka, seperti keselamatan dari serangan tentara bergajah dan kemudahan dalam berdagang di musim dingin dan panas. Allah mengingatkan mereka agar mensyukuri nikmat tersebut dengan beriman kepada-Nya dan menyembah Tuhan pemilik rumah Ka'bah.

 

Kemudian ayat yang kedua adalah surat An-Nahl ayat 112, yaitu:

 

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ ۝١١٢

 

Artinya, “Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulu aman lagi tenteram yang rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari setiap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan karena apa yang selalu mereka perbuat.”

 

Ayat di atas seakan menjelaskan bahwa bencana kelaparan akan melanda suatu negeri tatkala penduduknya mengingkari nikmat Tuhan. Tentu saja pengingkaran nikmat beragam bentuknya. Selain tidak mengakui Allah dan rasul-Nya, pengingkaran terhadap nikmat juga diwujudkan dalam sikap kita yang tidak memelihara alam, menjaga kedaulatan pangan, dan sumber daya alam yang berkelanjutan, semua itu bersumber dari anugerah Allah.

 

Dalam Tafsirul Munir jilid XIV halaman 253, Syekh Wahbah menjelaskan ayat di atas mengajarkan bahwa Allah mengingatkan penduduk suatu negeri yang sebelumnya hidup dalam keamanan, ketenangan, dan kelimpahan rezeki untuk mensyukuri nikmat-Nya.

 

Namun, mereka mengingkari nikmat tersebut, termasuk mengingkari kerasulan yang dibawa oleh para rasul-Nya. Akibatnya, Allah menimpakan azab berupa kelaparan, ketakutan, dan penderitaan, menggantikan keamanan dan kemakmuran yang mereka nikmati sebelumnya.

 

Melihat penafsiran Syekh Wahbah di atas, artinya ada kaitan antara ketahanan pangan dengan tingkat religiusitas suatu negeri. Jika nilai-nilai agama, baik yang bersifat ubudiyah, maupun norma-norma general seperti perintah berbuat adil, menghindari korupsi, dan menjaga amanah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan tercipta tatanan masyarakat yang sejahtera dan adil.

 

Nilai-nilai agama yang mengajarkan pentingnya bekerja keras, jujur, dan berbagi akan mendukung tercapainya ketahanan sosial dan ekonomi yang stabil. Dalam konteks ketahanan pangan, misalnya, jika setiap individu dan pemerintah menjalankan amanahnya untuk mengelola sumber daya alam dengan bijaksana, memastikan distribusi pangan yang adil, dan menghindari pemborosan, maka masalah kelaparan dan kekurangan pangan dapat diatasi.

 

Selain itu, penerapan prinsip-prinsip moral yang mendalam dalam agama juga akan mendorong setiap pihak untuk menjaga keberlanjutan dan keberagaman pangan, memastikan bahwa tidak hanya kebutuhan individu yang terpenuhi, tetapi juga kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

 

Tentu saja, kedua ayat di atas merupakan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pemimpin dan juga rakyat dalam suatu negara. Sistem yang mapan untuk mengaplikasikan ketahanan pangan tentunya harus didukung oleh pemerintah dan para pemimpin negeri.

 

Ketahanan pangan hanyalah angan-angan tanpa adanya sistem yang terstruktur dari negara. Pemerintah memiliki peran penting dalam membangun sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan. Negara bertanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang mendukung produksi, distribusi, dan akses pangan yang merata bagi seluruh rakyatnya.

 

Selain itu, pemerintah juga berperan dalam menggerakkan masyarakat adat dalam menjaga kelestarian sumber daya alam yang menjadi basis ketahanan pangan. Masyarakat adat, dengan struktur sosialnya yang unik, sering kali memiliki tradisi dan pengetahuan lokal yang mampu menjaga keseimbangan ekosistem serta mendukung keberlanjutan pangan. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat adat diperlukan untuk memastikan bahwa nilai-nilai lokal tidak tergeser oleh industrialisasi yang berlebihan.

 

Dalam Islam, peran pemimpin dalam memastikan kesejahteraan rakyat sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

 

فالإمام راعٍ ومسئولٌ عن رعيته

 

Artinya, “Pemimpin adalah pengurus, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Selanjutnya, ayat Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya berbagi hasil bumi secara adil dan menjaga kesejahteraan bersama, seperti firman Allah dalam Surah Al-Hasyr ayat 7:

 

كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ

 

Artinya: “...Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu...”

 

Ash-Shabuni dalam Shafwatut Tafasir Jilid III (hlm. 331) menjelaskan, maksud ayat di atas adalah supaya harta ini (konteksnya harta rampasan perang) tidak hanya dimanfaatkan dan dikuasai oleh orang-orang kaya di antara mereka, sementara orang-orang miskin sangat membutuhkan harta tersebut.

 

Al-Qurthubi, sebagaimana dikutip Ash-Shabuni, menjelaskan relasi ayat ini dengan konteks pola pembagian rampasan di masa jahiliah. Jika mereka memperoleh rampasan perang di masa jahiliah, para pemimpin mengambil seperempatnya untuk dirinya sendiri (disebut murbâ‘), dan memilah milih sendiri apa pun yang diinginkan dari rampasan tersebut.

 

Para mufassir menyebutkan bahwa ayat ini turun di saat Rasulullah membagikan harta rampasan perang milik Bani Nadhir kepada kaum Muhajirin, karena pada waktu itu mereka adalah kaum yang miskin, sementara kaum Anshar tidak diberi bagian dari harta tersebut, sebab mereka adalah golongan hartawan. Lalu sebagian dari kaum Anshar memprotes, “Kami memiliki bagian kami dari harta ini!” Maka turunlah ayat ini (hlm. 331).

 

Jika kita tarik nilai-nilai pemerataan dan keadilan yang dilakukan oleh Rasulullah ke dalam konteks ketahanan pangan, maka pemerintah bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya secara adil dan merata untuk memastikan kesejahteraan seluruh rakyat, tanpa memandang status sosial atau golongan.

 

Pemerintah harus memastikan bahwa akses terhadap pangan tidak hanya dinikmati oleh golongan kaya atau penguasa saja, tetapi juga menjangkau masyarakat miskin dan kelompok rentan. Dalam hal ini, kebijakan yang pro-rakyat dan berpihak kepada keadilan sosial menjadi kunci utama untuk menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat harus saling mendukung untuk memastikan ketersediaan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat.

 

Walhasil, Islam mendorong umatnya untuk mengelola pangan secara efisien dan tidak membuang-buang sumber daya. Tingkat religiusitas kita harus diiringi dengan semangat bekerja, memelihara alam sebagai sumber kehidupan manusia, dan menegakkan keadilan, serta memberantas korupsi agar ketahanan pangan dan penyalurannya tetap stabil dan berada dalam koridor amanah nan terpercaya. Wallahu a’lam

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta