Syariah

Anjuran Islam Terhadap Ketahanan Pangan

Jum, 27 Oktober 2023 | 20:00 WIB

Anjuran Islam Terhadap Ketahanan Pangan

Petani Indonesia (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Definisi ketahanan pangan menurut Perserikatan Bangsa Bangsa [PBB] dan FAO pada dasarnya sama, yaitu kondisi di mana semua orang setiap saat memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan pangan.


Dalam buku Islam dan Ketahanan Pangan karya Syaparuddin dan D. Nuzul, halaman 42 dijelaskan bahwa ketahanan pangan mengalami perubahan dan perkembangan sejak adanya Conference of Food and Agriculture pada tahun 1943. Pada awalnya, ketahanan pangan hanya diartikan sebagai ketersediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Namun, seiring berjalannya waktu, definisi ketahanan pangan semakin berkembang untuk mencakup aspek-aspek lain, seperti akses, keamanan, dan gizi.


Pemaknaan ketahanan pangan yang bervariasi ini disebabkan oleh faktor-faktor, seperti perbedaan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya antar negara dan antar wilayah. Meskipun demikian, pada dasarnya, ketahanan pangan memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk hidup sehat dan produktif.


Dalam Islam sendiri, ketahanan pangan merupakan suatu kondisi dimana umat Islam memiliki akses yang aman dan berkelanjutan terhadap pangan yang cukup, bergizi, dan terjangkau. Islam memandang bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu maqashid syariah (tujuan syariat), yaitu menjaga jiwa (hifz al-nafs). Ketahanan pangan merupakan hal yang penting untuk menjaga kehidupan dan kesehatan umat manusia.


Lebih lanjut, Ketahanan pangan ditekankan sebagai suatu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Hal ini karena pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tanpa pangan, manusia tidak akan dapat bertahan hidup dan menjalankan kehidupannya secara normal.


Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang menyebutkan tentang pentingnya pangan bagi kehidupan manusia. Misalnya, dalam surat al-Baqarah [2] ayat 141, Allah SWT berfirman;


وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَ جَنّٰتٍ مَّعْرُوْشٰتٍ وَّغَيْرَ مَعْرُوْشٰتٍ وَّالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا اُكُلُهٗ وَالزَّيْتُوْنَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَّغَيْرَ مُتَشَابِهٍۗ كُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖٓ اِذَآ اَثْمَرَ وَاٰتُوْا حَقَّهٗ يَوْمَ حَصَادِهٖۖ وَلَا تُسْرِفُوْا ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَۙ


Artinya: "Dialah yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, serta zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya. Akan tetapi, janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."


Dengan demikian,  firman Allah dalam QS. Al-An'am ayat 141 tersebut menjelaskan tentang penciptaan buah-buahan oleh Allah swt. Allah menciptakan berbagai macam buah-buahan, baik yang dikenal maupun tidak dikenal, baik yang rasanya sama maupun berbeda. Buah-buahan tersebut diciptakan untuk dinikmati oleh manusia dan makhluk hidup lainnya.


Lebih lanjut, ayat tersebut juga menjelaskan tentang perintah Allah kepada manusia untuk memakan buah-buahan tersebut ketika telah matang. Selain itu, manusia juga diperintahkan untuk memberikan haknya kepada buah-buahan tersebut, yaitu untuk dipungut dan dikumpulkan pada saat panen. Hal ini dimaksudkan agar buah-buahan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik dan tidak dibiarkan membusuk. Dalam kitab Jami' al Bayan, jilid XII, halaman 155;


قال أبو جعفر: وهذا إعلام من الله تعالى ذكره ما أنعم به عليهم من فضله، وتنبيهٌ منه لهم على موضع إحسانه، وتعريفٌ منه لهم ما أحلَّ وحرَّم وقسم في أموالهم من الحقوق لمن قسم له فيها حقًّا


Artinya: "Abu Ja'far berkata, "Ini adalah pemberitahuan dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung tentang apa yang telah Dia karuniakan kepada mereka dari karunia-Nya, peringatan dari-Nya kepada mereka tentang tempat kebaikan-Nya, dan pengenalan dari-Nya kepada mereka tentang apa yang Dia halalkan dan haramkan, dan pembagian dalam harta mereka dari hak-hak bagi siapa yang telah Dia berikan hak di dalamnya."


Di sisi lain, dalam hadits Rasulullah disebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan tanggung jawab bersama, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun individu. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pangan yang cukup dan terjangkau bagi masyarakat. Untuk itu manusia memiliki tanggung jawab untuk memanfaatkan sumber daya pangan yang ada secara bijak dan tidak menyia-nyiakan makanan. 


مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْساً إلاَّ كانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لهُ صَدَقَةً، وَمَا سُرِقَ مِنْه لَه صدقَةً، وَلاَ يرْزؤه أَحَدٌ إلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً رواه مسلم


Artinya: "Tidak ada seorang Muslim pun yang menanam pohon, kecuali apa yang dimakan darinya adalah sedekah baginya, dan apa yang dicuri darinya adalah sedekah baginya, dan tidak ada burung pun yang memakannya kecuali itu adalah sedekah baginya, dan jika dia kehilangan sesuatu darinya, maka itu adalah sedekah baginya." (HR Muslim)


Sejatinya, menanam pohon dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan. Pohon dapat menghasilkan pangan secara berkelanjutan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, pohon dapat menghasilkan buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan yang dapat dikonsumsi. Secara tidak langsung, pohon dapat meningkatkan kesuburan tanah, sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman pangan.


Selain itu, menanam pohon juga dapat menjaga kelestarian lingkungan. Pohon dapat menyerap karbon dioksida dan melepaskan oksigen, sehingga dapat membantu mengurangi efek rumah kaca. Pohon juga dapat mencegah erosi dan banjir, sehingga dapat melindungi lahan pertanian. Oleh karena itu, penanaman pohon merupakan salah satu upaya penting untuk meningkatkan ketahanan pangan, baik secara langsung maupun tidak langsung.